visitaaponce.com

Kerugian Ekologis dalam Kasus Timah Dinilai Perlu Dibuktikan Lebih Jauh

Kerugian Ekologis dalam Kasus Timah Dinilai Perlu Dibuktikan Lebih Jauh
Ilustruasi foto udara tambang batu bara(ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)

PAKAR hukum pidana Universitas Mataram, Ufran Trisa menilai kerugian ekologis dan kerugian negara sebesar Rp300 triliun dalam dalam kasus timah perlu dibuktikan lebih jauh. Ufran menilai sejauh ini kejaksaan gagal membuktikan kerugian tersebut hingga akhir persidangan. Ia menilai klaim kerugian sejak awal cenderung tendensius dan diragukan kebenarannya.  

"Jaksa kukuh dengan praduganya, tetapi sayangnya praduga ini tidak didukung alat bukti yang membenarkan nilai kerugian negara sebanyak itu," ujar Ufran, melalui keterangannya, Minggu (5/1).

Ufran mengatakan pembuktian kerugian negara tak terpenuhi dari sejumlah terdakwa yang sudah divonis, Kejaksaan kemudian menyasar 5 korporasi yang diduga berkontribusi pada kerugian negara. Kelima korporasi itu meliputi PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP). Adapun PT RBT dianggap membuat kerugian negara sekira Rp38,5 triliun, PT SBS sebesar Rp23,6 triliun, PT SIP senilai Rp24,3 triliun, CV VIP sekira Rp42 triliun, dan PT TIN sebesar Rp23,6 triliun.

Lebih jauh, Ufran menyoroti perihal penghitungan kerugian negara dalam kasus ini yang didasarkan pada kerugian ekologis, dengan mengacu pada Laporan Hasil Kajian (LHK) Nomor VII Tahun 2014.  Menurutnya, hingga saat ini belum ada argumentasi yang kuat untuk menyatakan bahwa kerugian ekologis termasuk sebagai kerugian keuangan negara. 

“Kerugian ekologis lebih merupakan pencemaran atau kerusakan lingkungan, yang tidak bisa langsung ditarik sebagai akibat adanya korupsi," katanya.  

Ia mengatakan penghitungan kerugian negara semestinya menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diamanatkan oleh konstitusi. Adapun, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2012 kewenangan ini terdesentralisasi ke berbagai lembaga, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).  

“Hanya saja sering kali hasil audit BPK yang dibentuk berdasarkan konstitusi justru dikesampingkan oleh audit BPKP, yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Ini sangat janggal secara konstitusional," jelasnya.  

Ia menegaskan bahwa dalam banyak kasus, perbedaan versi penghitungan kerugian negara dari kedua lembaga ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini diperparah dengan upaya penegak hukum menggunakan hasil audit yang dianggap paling sesuai dengan konstruksi kasus yang dibangun, tanpa mempertimbangkan legitimasi lembaga pengaudit. (Faj/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat