visitaaponce.com

Keterbatasan Ekonomi bukan Hambatan untuk Sekolah Tinggi

Keterbatasan Ekonomi bukan Hambatan untuk Sekolah Tinggi
Alfin Dwi Novemyanto.(MI/AGUNG WIBOWO)

TERLAHIR dari keluarga kurang mampu tidak membuat semangat Alfin Dwi Novemyanto, 24, untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya terkubur. Alfin yang hidup dan dibesarkan dari keluarga pemulung membuktikan mampu bersekolah tinggi dengan keterbatasan ekonomi yang dimiliki.

Dalam program Kick Andy episode Terbang Tinggi Meraih Mimpi yang tayang di Metro TV pada Minggu (25/8), Alfin bercerita tentang perjalanannya menempuh pendidikan tinggi. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Terbuka dengan predikat mahasiswa terbaik dan mendapat IPK 3,98. Kini, ia sedang menempuh pendidikan S-2 di Universitas Gadjah Mada.

“Tahun 2017 Alfin lulus SMA. Setelah lulus, Alfin kerja satu tahun. Di 2018, Alfin dipantau sama guru SMA dan ditanya, ‘Alfin, kamu nggak kuliah, ya?’ dan beliau menyayangkan. Kemudian saya dipanggil beliau, diinformasikan sekolahnya mendapat surat undangan adanya beasiswa Bidik Misi di Universitas Terbuka. Itulah mulanya saya bisa bergabung di prodi hukum pada universitas tersebut," kata Alfin.

Baca juga : Berdayakan Perempuan Desa lewat Pertanian

Tentu ia tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Alfin terus bekerja keras dan menjaga semangat untuk mampu mengubah nasib dengan bekal pendidikan. Sepanjang menempuh pendidikan di Universitas Terbuka ragam prestasi ditorehkan, termasuk pernah menempuh short course di Harvard University dan Tsing Hua University, masing-masing selama satu semester.

Jika menengok latar belakang sebagai anak seorang pemulung, Alfin mengaku tidak pernah berpikir bakal memiliki kesempatan yang luar biasa ini. Pria kelahiran 2000 itu mengatakan tak tahu apa yang terjadi jika tidak menerima tawaran untuk melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka.

“Mungkin Alfin hanya akan menjadi seorang anak pemulung yang hanya bekerja biasa saja,” ucapnya.

Baca juga : Mengemudikan Helikopter di Area Perhutanan

Bagi Alfin, memiliki seorang ibu yang berprofesi sebagai pemulung bukanlah aib. Ia tak pernah malu mengakui profesi sang ibu, bahkan selalu lantang saat menyebut pekerjaan tersebut.

“Tidak (malu) karena beliau adalah wanita cantik yang membangun kekuatan dari masalah, tumbuh kuat dengan doa, dan tersenyum selalu dalam tekanan,” ungkap Alfin.

 

Baca juga : Belajar Toleransi dari Ayah

Perjuangan ibu

Selain bicara tentang dirinya yang menempuh pendidikan tinggi meski berasal dari kalangan ekonomi bawah, Alfin menuturkan perjuangan sang ibu untuk bisa menghidupi ketiga anaknya seorang diri. Ibunda Alfin merupakan single parent yang telah bercerai dari suami sejak 2011. Untuk bisa mencukupi kehidupan sehari-hari, Warsiti, nama Ibu Alfin, bekerja sebagai pemulung.

“Jadi kalau untuk profesi Ibu itu, beliau dari pukul 1 pagi sampai pukul 7 pagi mencari sampah rongsok seperti botol atau kardus yang bisa dikelola. Pada jam selanjutnya ibu istirahat balik ke rumah. Setelah itu kembali bekerja memilah-milah sampah yang sudah terkumpul sampai sore untuk dijual ke pengepul,” tutur Alfin.

Baca juga : Rencanakan Strategi Belajar guna Gapai Cita

Perlakuan tidak menyenangkan pun kerap dihadapi Alfin bersama keluarganya selama ini. Karena berprofesi sebagai pemulung, tentu sang ibu selalu membawa pulang sampah. Hal itu lantas menyulut amarah dari lingkungan sekitar. Alfin dan keluarga kerap diusir dari indekos tempat tinggalnya.

Sampai akhirnya, karena sudah berulang kali diusir, ibu Alfin memilih untuk membangun gubuk di kawasan pinggir rel dan tinggal sendirian di sana. Sementara itu, ketiga anaknya tinggal di indekos. Karena tinggal di kawasan ilegal, tak jarang ibunda Alfin mengalami penggusuran.

“Tapi kini Ibu memutuskan untuk menyewa tempat yang bisa membuatnya membawa sampah-sampahnya. Jadi, Ibu setiap hari tidurnya di tempat tersebut. Kalau aku pikir, tempatnya itu tidak layak untuk dipakai karena banyak sekali kecoa, tikus, bahkan serangga-serangga lain,” ungkap Alfin.

Ketika hadir dalam program Kick Andy, Warsiti mengaku sampai saat ini masih beraktivitas sebagai pemulung. Hal itu masih dia lakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Saya kalau nggak nyari rongsok, nggak mulung, itu nggak makan. Nanti kalau dapat, kita kumpulkan buat beli beras,” kata Warsiti.

Setelah melihat Alfin yang berhasil menempuh pendidikan tinggi hingga S-2, Warsiti bangga. Dia berharap agar anak keduanya itu bisa menjadi orang berhasil di kemudian hari.

“Saya berdoa, biar dia lancar belajarnya, biar sukses, apa yang dicita-citakan tercapai. Aku senang, aku bangga punya anak seperti Alfin yang bisa membawa nama baik orangtua sama keluarga,” ujar perempuan berusia 52 tahun itu.

Saat disinggung terkait dengan harapan Alfin untuk anak-anak yang mungkin memiliki nasib sama, ia meminta anak-anak muda jangan pernah menyerah untuk meraih cita-cita meski terhambat oleh ekonomi. Mulailah melakukan sesuatu yang bisa dikerjakan.

“Jadilah versi terbaikmu setiap hari karena badan boleh lelah, mata boleh basah, tapi hati tidak boleh menyerah. Kamu tidak perlu hebat terlebih dahulu untuk memulai. Yang perlu kamu lakukan adalah memulai untuk menjadi hebat. Semakin tinggi mimpi yang kamu punya, semakin besar juga pencapaian yang kamu dapat. Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk dicapai, yang ada niat terlalu rendah untuk melangkah. Seperti itu," pungkasnya. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat