Perlon Unggahan Anak Putu Bonokeling
DALAM berbagai kelompok masyarakat, termasuk kelompok agama, yang dominan dapat menanggalkan suara-suara liyan. Suara liyan itu ialah bentuk representasi budaya yang dipinggirkan.
Dalam komunitas muslim, misalnya, Islam abangan menjadi diliyankan. Mereka dianggap sebagai muslim yang tidak puritan. Catatan Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1976) menunjukkan proses dialog antara Islam dan langgam Jawa melahirkan model Islam yang sinkretis, yang kemudian dikenal sebagai Islam abangan atau Islam belangkon.
Anak putu ‘anak cucu’ Bonokeling di pesisir selatan Jawa Tengah merupakan komunitas Islam abangan yang mengamini proses dialogis antara Islam dan tradisi Jawa. John Pemberton dalam On the Subject of 'Java' (1994) mengatakan pesisir selatan Jawa dilabeli sebagai 'daerah merah', yang lekat dengan keyakinan Hindu, Buddha, serta tradisi animisme dan dinamisme.
Baca juga : Panggilan untuk Tunas Muda Balamut Tatamba
Anak putu Bonokeling mukim di dua kabupaten, yaitu Banyumas dan Cilacap. Desa Pekuncen di Banyumas menjadi poros aktivitas iman mereka sebab di sana, punden Kiai Bonokeling, sebagai pangkal ajaran Bonokeling, berada.
Agaknya, label abangan yang dilekatkan kepada trah Bonokeling dirasa kurang tepat. Menurut pengakuan Wiryatpada, salah seorang bedogol dalam trah Bonokeling, anak putu Bonokeling melabeli diri mereka sebagai Islam nyandi, yang merupakan kontraterminologi dari Islam nyantri atau Islam puritan.
Sepintas, religi Bonokeling memiliki kemiripan dengan tradisi keagamaan masyarakat Jawa, yaitu menyadran pada Ruwah dalam kalender Jawa. Akan tetapi, mereka memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Sebagian besar ritus religi mereka berorientasi pada pemujaan punden Kiai Bonokeling, seperti tradisi perlon unggahan.
Baca juga : No Risalo, Perkenalan Bayi Bugis pada Dunia Atas hingga Bawah
Perlon unggahan dilaksanakan sebagai penghormatan kepada Kiai Bonokeling, permohonan ampun kepada kekuatan adikodrati, dan permohonan izin untuk menjalankan puasa Ramadan. Perlon unggahan dilaksanakan pada Ruwah atau Sadran dalam sistem penanggalan Jawa. Tepatnya, pada Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon menjelang Ramadan dengan melaksanakan punjungan, tapa mbisu, caos, lek-lekan, pisowanan, dan mbabar pisowanan.
Dalam mewujudkan praktik adat melalui perlon unggahan, misalnya, trah Bonokeling acap kali dihadapkan pada kontestasi dengan penganut trah Bonokeling lainnya yang telah menjadi penganut Islam nyantri.
Sifat kontrapersepsi Islam nyandi dengan Islam nyantri dalam trah Bonokeling bisa dikatakan laten. Sebab itu, penganut Islam nyandi dalam trah itu sering disubordinasi. Itu memungkinkan Islam nyandi yang dianut sebagian besar masyarakat adat trah Bonokeling dikepung dominasi Islam nyantri. Oleh karena itu, mereka kerap distigmatisasi sebagai kafir.
Baca juga : Meredefinisi Pundhen untuk Kehidupan yang Berkelanjutan
Subordinasi itu, kemudian, memunculkan resistansi sekaligus negosiasi yang dilakukan pemeluk Islam nyandi Bonokeling. Disadari atau tidak, resistansi dan negosiasi itu berdampak terhadap kesintasan ritual-ritual yang lekat dengan ruang keseharian mereka, seperti perlon unggahan.
Boleh jadi, kontestasi antargolongan itu menghambat proses transmisi kelisanan perlon unggahan. Itu disebabkan perlon unggahan dijadikan sebagai ruang berkumpul bagi seluruh trah Bonokeling sekaligus dijadikan sebagai pemarkah bagi memori kolektif yang terkait erat dengan leluhur mereka, Kiai Bonokeling.
Hingga kini, perlon unggahan terus direproduksi dan dimaknai anak putu Bonokeling. Pergelaran perlon unggahan melibatkan seluruh trah Bonokeling. Selain itu, para pelawat yang menziarahi makam Kiai Bonokeling pun diperkenankan untuk mengikuti perlon unggahan.
Baca juga : Gelegar Wayang Potehi Jombang di Majelis Umum UNESCO
Anak putu Bonokeling yang datang dari luar Pekuncen akan melaksanakan tapa mbisu dengan berjalan kaki dari daerah asal menuju Pekuncen dengan membawa punjungan. Punjungan itu berupa ubarampe ‘sesajen’ yang akan dimasak selama perlon unggahan berlangsung.
Ritual perlon unggahan dipimpin pemangku adat, yaitu Kiai Mejasari sebagai kiai kunci dan lima bedogol, yaitu Kiai Wiryatpada, Kiai Padawitana, Kiai Padawirya, Kiai Wangsapada, dan Kiai Nayaleksa. Para pemangku adat itu juga dibantu manggul, mandong, tukang gelar klasa, onder, tundaga, tukang ules, tukang solor, pewedangan, pengangson, peberasan, dan emban.
Setelah ritual punjungan selesai, anak putu Bonokeling yang berjumlah lebih kurang 5.000 orang berkumpul di bale pasemuan untuk melaksanakan ritual caos. Itu merupakan bentuk penghormatan anak putu trah Bonokeling kepada kiai kunci dan bedogol. Selesai caos, mereka melaksanakan ritual lek-lekan yang dilaksanakan di bale pasemuan yang diisi dengan zikir semalam suntuk.
Perlon unggahan dilanjutkan dengan pisowanan yang menjadi pusat dari ritual itu. Pisowanan dilakukan dengan mengunjungi kedaton Kiai Bonokeling. Selesai pisowanan, mereka melanjutkan perlon unggahan dengan ritual mbabar pisowanan, yang diisi dengan dahar munjung dan lek-lekan.
Hingga kini, perlon unggahan terus disintaskan pemangku adat serta anak putu Bonokeling sebagai identitas kultural mereka. Kepemimpinan dalam trah Bonokeling, yang dibentuk melalui galur patrilineal, terus dilanjutkan.
Anak putu Bonokeling dibaiat sejak kecil oleh kiai kunci. Selain itu, masyarakat di luar trah Bonokeling pun diperbolehkan menjadi bagian dari mereka melalui ritual mlebu. Ritual itu dikhususkan bagi individu yang sudah dianggap balig. Penguasaan terhadap pranata Bonokeling menjadi syarat bagi seseorang yang ingin bergabung. (M-1)
Keterangan penulis
Faris Alaudin merupakan anggota Asosiasi Tradisi Lisan. Ia mengelola Yayasan Desa Akar Karsa, yang berfokus pada kerja pengarsipan seni budaya di kawasan kultural Pegunungan Dieng. Korespondensi melalui [email protected].
Terkini Lainnya
Senjata Tradisional Sumpit Simbol Kekuatan Suku Akit
Upacara Mangkeng Ritus Penyerta Hajatan di Betawi
Citra Unik Pakeliran Wayang Jekdong
Pancasila Membumi dari Orang Muda Pedalaman
Panggilan untuk Tunas Muda Balamut Tatamba
Profesor Kehormatan
Organisasi Masyarakat dan Tuberkulosis
Ruang Didik Muhammadiyah
Realitas Baru Timur Tengah
Indonesia Kekurangan Dokter: Fakta atau Mitos?
Serentak Pilkada, Serentak Sukacita
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap