Laku Frugal Living
DI jagat medsos kerap ditemui kata frugal living. Itu ungkapan yang artinya gaya hidup mengutamakan pengelolaan keuangan dengan bijak atau hemat. Mengerem pengeluaran dengan hanya membeli sesuatu yang benar-benar dibutuhkan.
Dalam perspektif kearifan lokal, frugal living senapas dengan pola hidup prihatin. Laku hidup yang mendasarkan pada pengendalian diri, berpantang atau menahan gejolak hawa nafsu. Tujuannya mendapatkan kehidupan bahagia, ayem tenteram.
Bila menilik dunia wayang, orang (keluarga) yang sepanjang hayatnya menerapkan prinsip frugal living ialah Pandawa. Baik ketika sedang melarat mencit (sengsara) maupun saat berada, mereka menjalani kehidupan sehari-hari dengan laku prihatin.
Tinggalkan istana
Pertanyaannya, kenapa Pandawa memilih hidup mengencangkan ikat pinggang? Mereka yakin itu jalan keselamatan. Lewat cara itu Pandawa berhati-hati setiap melangkah serta senantiasa eling hakikat hidup dan kepada yang menghidupi.
Prinsip demikian itu tentu tidak bisa muncul begitu saja. Itu terkait dengan karakter lima kesatria tersebut. Sejak belia Pandawa mendapat pendidikan dan gemblengan kepribadian, baik dalam lingkungan keluarga maupun ‘lembaga’ perguruan.
Orang yang paling berpengaruh membangun karakter Pandawa ialah ibunda, Kunti Talibrata. Kemudian, Resi Durna, pengasuh Padepokan Sokalima dan Begawan Abiyasa di Pertapaan Ratawu, Sapta Arga, yang kebetulan eyang mereka sendiri.
Berbeda dengan Kurawa. Meski sepupu mereka itu juga mendapat akses pendidikan Sokalima dan Sapta Arga, mereka mengemohi. Putra-putri Drestarastra-Gendari tersebut nyaman diasuh Sengkuni yang berpaham pragmatis-materialistis.
Dengan berpaham laku prihatin, Pandawa tak pernah grogi setiap menghadapi berbagai lelakon pahit. Sederhananya, apa pun yang terjadi dianggap biasa-biasa saja. Malah, setiap kesulitan dijadikan wahana menggeladi kualitas jiwa.
Misalnya, ketika Pandawa dibakar Kurawa saat menginap di Bale Sigala-gala pada dini hari menjelang penyerahan kekuasaan Astina kepada mereka. Peristiwa yang nyaris merenggut nyawa itu tak membuat Pandawa dendam kepada Kurawa.
Selepas kejadian menggiriskan itu, Pandawa nyaman-nyaman saja menjalani hidup mengembara. Mereka meninggalkan Istana Astina, tempat lahir dan tumbuh serta hak milik mereka karena telah diduduki Kurawa yang berwatak angkara.
Sebelumnya, lima putra mendiang Prabu Pandu Dewanata-Kunti/Madrim hidup serbaberkecukupan. Mereka tidak menduga tiba-tiba nasib berubah menjadi fakir. Hidup papa menumpang dari rumah orang satu ke tempat tinggal orang lain.
Namun, perubahan dari serbaada menjadi serbatidak ada tidak membuat mereka sengsara. Kondisi seperti itu dinikmati dengan penuh syukur. Tiada gejolak hati yang menjadikan nestapa dan merana.
Pandawa meyakini bahwa semua yang terjadi merupakan suratan takdir. Oleh karena itu, sekalipun memiriskan, lelakon mereka tidak ditangisi dan diratapi. Menatap masa depan dengan tetap memegang teguh watak kesatria.
Di Hutan Kamyaka
Pada suatu ketika kehidupan Pandawa kembali berubah. Mereka memiliki istana megah dan berkuasa atas kedaulatan Amarta. Negara yang didirikan di wilayah yang semula belantara Wanamarta itu berkembang cepat dan maju.
Sulung Pandawa, Puntadewa, dipercaya menjadi raja. Namun, kepemimpinannya kolektif kolegial bersama empat adiknya, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Mereka punya botoh bernama Sri Bathara Kresna dan pamong Semar Badranaya.
Di bawah kepemimpinan mereka, Amarta menjadi negara adil makmur. Pamornya bersinar sampai ke penjuru marcapada bahkan mayapada. Banyak bangsa (negara) lain yang menjalin kerja sama dengan prinsip saling menghormati.
Pertanyaannya, berubahkah prinsip hidup Pandawa? Mereka tetap menjalani laku prihatin. Tidak pernah ada pesta atau hidup berfoya-foya. Penampilan Puntadewa, meskipun menjadi raja besar, masih seperti semula. Bahkan tak bermahkota.
Begitu juga Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Perilaku mereka tetap seperti sebelumnya, hidup sederhana dan tidak bermewah-mewah. Pandawa benar-benar merakyat dan tidak ingin mereka hidup jauh berbeda dengan kawula.
Duryudana (Kurawa) yang menduduki Astina tergugah nafsunya ingin menguasai Amarta. Dengan bantuan Patih Sengkuni, yaitu lewat permainan dadu, Pandawa kehilangan istana dan negara yang dibangun dengan kekuataan sendiri.
Bahkan, sebagai konsekuensi kalah main dadu, Pandawa harus ‘dipenjara’ di Hutan Kamyaka selama selusin tahun ditambah satu tahun menyamar. Selain itu, saat masuk hutan mereka tidak diperbolehkan membawa bekal apa pun.
Kebengisan Kurawa kepada Pandawa yang tiada henti itu merupakan skenario besar membinasakan anak-anak Pandu tersebut. Doktrin mereka, selama Pandawa masih hidup, itu ancaman kekuasaan Duryudana.
Kurawa yakin, Pandawa tak mungkin hidup di hutan tanpa bekal apa pun. Apalagi, belantara tersebut angker dan dihuni banyak binatang buas. Dengan demikian, kekuasaan Duryudana atas dua negara itu bakal langgeng hingga anak cucu.
Lalu, sengsarakah Pandawa di Kamyaka? Mereka menjalani dengan ikhlas dan tawakal. Periode ‘pengasingan’ itu lagi-lagi dinikmati dengan laku prihatin. Tidak ada ratap dan tangis, waktu diisi dengan menebalkan keimanan dan ketakwaan.
Kemuliaan hidup
Arjuna, misalnya, sempat menggunakan waktu ‘libur’ itu dengan bertapa di Goa Mintaraga bergelar Begawan Ciptaning. Dengan laku itu, ia mendapat anugerah dewa. Selain pusaka, dipilih menjadi jagonya dewa mengusir Newatakawaca yang menjarah Kahyangan.
Jadi, skenario Kurawa membasmi Pandawa gagal. Pandawa tidak mati, tetapi malah menjadi para kesatria pepunjuling jagat (terbaik di dunia). Itu disebabkan Pandawa berkarakter. Mampu beradaptasi dalam kondisi apa pun dengan cara-cara positif.
Frugal living ialah prinsip hidup yang baik dalam sikon apa pun. Bukan hanya ketika sedang menderita atau susah. Secara filosofis seperti Pandawa, laku prihatin menjadi ‘roh’ hidup. Dengan begitu, mereka selamat dan mulia. (M-3)
Terkini Lainnya
Tata, Titi, Titis, Tatas
Memukau Dunia, Ini Dia 15 Warisan Seni dan Budaya Indonesia yang Harus Kamu Ketahui
Pahlawan Maespati
Yuks Belajar Proses Pembuatan Wayang Kulit dan Cara Memainkannya
Mengenal 5 Jenis Wayang yang Menjadi Kekayaan Budaya Indonesia
Krisis Suriah Jilid II
Diorama Makan Bergizi Gratis
Menyelamatkan Demokrasi
Indonesia Kekurangan Dokter: Fakta atau Mitos?
Serentak Pilkada, Serentak Sukacita
Menuju Pendidikan Tinggi Transformatif
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap