Papua, antara Gencatan Senjata dan Solusi Damai
![Papua, antara Gencatan Senjata dan Solusi Damai](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2024/05/20fe61ee554f8210cd08c4a1cc086007.jpg)
Papua, antara Gencatan Senjata
dan Solusi Damai
Frans Maniagasi
Pengamat Politik Lokal Papua.
KONFLIK dan kekerasan di Papua telah terjadi sejak 1963 dan tidak bisa dibiarkan terjadi lagi. Baku tembak antara pasukan TNI/ Polri dengan TNPPB/OPM sudah saatnya diakhiri melalui gencatan senjata. Dan harus diwujudkan solusi permanen sebagai kebutuhan mendesak yang mesti diwujudkan.
Baca juga : 2 Pendekatan untuk Penanganan Konflik Papua
Korban tewas akibat konflik dan kekerasan selama satu dekade terakhir sudah mencapai puluhan orang, baik dari kalangan anggota TNI/Polri, masyarakat sipil dan kombatan TNPPB/ OPM. Selain itu, banyak bangunan fisik yang hancur, rusak, dan dibakar seperti sekolah, puskemas, kantor pemerintah tak luput menjadi korban dari konflik dan kekerasan ini. Plus arus pengungsian besar-besaran masyarakat lokal ke beberapa kabupaten (Jayawijaya, Mimika, dan Jayapura).
Penduduk setempat pun hidup dalam situasi terancam. Mereka khawatir dan takut dituduh oleh aparat keamanan sebagai antek-antek pemberontak. Sebaliknya pihak TNPPB/OPM menuduh masyarakat sipil sebagai kaki tangan dan mata-mata dari TNI/Polri.
Kondisi psikopolitis saling curiga membuat masyarakat tak aman dan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti berkebun, bertani, berdagang di pasar, dan lainnya. Lebih memprihatinkan pula anak-anak tak dapat bersekolah. Kekhawatiran penulis, kita akan menghadapi lost generation di wilayah konflik, dampak dari konflik, dan kekerasan yang berkepanjangan.
Baca juga : TNI-Polri Bakal Gunakan Kekerasan pada OPM yang Timbulkan Banyak Korban
Generasi yang kehilangan arah, tersesat, bingung, dan tak tahu tujuan hidup. Fatamorgana, apa yang mesti dilakoni untuk masa depan. Paranoid, pendendam akibat pengalaman traumatik sebab mereka menyaksikan langsung pembunuhan dan pembantaian yang dialami oleh orangtua, sanak saudara, dan masyarakatnya, dihabisi secara sadis oleh pihak yang berkonflik.
Generasi semacam ini sulit bersosialisasi dengan masyarakat dan relasi sosialnya tidak harmonis. Akumulasi ini mengakibatkan frustasi sosial sehingga bermuara pada tindakan pembangkangan dan pemberontakan. Dalam perspektif sosiologis pada kelompok masyarakat yang terkungkung dalam pusaran konflik, perasaan dendam, marginalisasi, dan alienansi, tak berdaya yang berkepanjangan membangkitkan solidaritas dan soliditas untuk memunculkan gerakan sosial yang destruktif guna melakukan perlawanan atau pemberontakan untuk mencapai kebebasan.
Gerakan TNPPB/OPM yang berawal dari pemberontakan sepanjang 1965-1969 yang dipimpin oleh Ferry Awom dan Mandatjan bersaudara (Robin Osborne 1984, Nazaruddin Sjamsuddin 1988, John RG Djopari 1995, Drooglever 2010) hingga kini belum dapat dipadamkan. Sulit bagi pemerintah dan aparat keamanan TNI/Polri untuk memadamkan spiritualitasnya kalau hanya mengandalkan pendekatan keamanan untuk menumpas gerakan pro kemerdekaan.
Baca juga : Kemampuan TNI-Polri Berantas OPM Tergantung Itikad Pemerintah dan DPR
Menurut penulis, bukan momentum integrasi (1963) dan Pepera (1969) tetapi dampak yang diwariskan oleh kedua peristiwa itu meninggalkan bom waktu yang hingga kini mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia di Tanah Papua. Kegagalan pemerintah membangun dan merawat ke-Indonesia-an menjadi faktor utama penyebab lestarinya konflik dan kekerasan hingga kini.
Gencatan senjata
Gerakan pembebasan Papua dari RI--patah tumbuh hilang berganti--hal ini tentu menghendaki perlu dilakukan gencatan senjata. Gencatan senjata merupakan karakteristik dari konflik bersenjata dengan tujuan mengakhiri permusuhan.
Gencatan senjata bagian penting dalam proses menuju perdamaian. Syarat utamanya ialah membangun kepercayaan atau trust building (Fukuyama, 2001) antara pihak pemerintah, TNI/Polri, dengan TNPPB/OPM.
Baca juga : Penggunaan Istilah OPM Bisa Picu Pelanggaran HAM Berat
Namun belum ada political will dan good will dari kedua belah pihak, baik pemerintah, TNI/Polri dalam rangka memprakarsai komunikasi dengan TNPPB/ OPM. Upaya yang pernah diprakarsai oleh Komnas HAM pada 11 November 2022 di Jenewa Swiss tidak memperoleh respons dari pemerintah.
Pengalaman Helsinki (2005) mestinya menjadi inspirasi agar ada dialog pemerintah dengan pihak TNPPB/OPM, tentu dengan determinasi dialog penyelesaian konflik dan kekerasan, tidak menabrak kedaulatan dan bangunan NKRI. Formulasi kesepakatan ialah mengakhiri konflik dan kekerasan dan gencatan senjata diberlakukan temporer atau pun permanen.
Gagasan tentang gencatan senjata perlu didorong ke arah penyelesaian masalah guna mewujudkan perdamaian. Supaya pemerintah dan masyarakat dapat melaksanakan pembangunan guna mempercepat peningkatan kesejahteraan.
Solusi
Solusi yang dianggap layak seperti yang diusulkan oleh Dr Agus Sumule dari Universitas Papua. Pertama, negara harus melindungi HAM dari orang Papua atas sumber daya alam yang mereka miliki. Sehingga ada jaminan keberlanjutan hidupnya dan anak cucunya di atas lahannya.
Kedua, kendalikan arus migrasi penduduk artinya orang Papua perlu dilindungi dan ada keberpihakan terhadap mereka. Tanpa hal itu tinggal menunggu waktu akan terjadi marginalisasi. Marginalisasi sedang berlangsung dengan derasnya arus penduduk dari luar daerah ke Papua, apalagi pasca-DOB (Daerah Otonom Baru) pemekaran provinsi-provinsi.
Ketiga, mewujudkan tata pemerintahan yang efektif, efisien, bebas dari korupsi dan nepotisme. Keempat, memberikan perhatian yang serius dan sungguh-sungguh di bidang pendidikan, Kesehatan, dan ekonomi rakyat.
Kelima, pembangunan yang menyelesaikan masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, dan infrastruktur seperti yang tersurat dan tersirat dalam Rencana Induk Pembangunan Papua 2021-2041.
Bila langkah-langkah kebijakan tersebut dapat dilakukan, dengan sendirinya solusi konflik dan kekerasan minimal dapat teratasi. Dengan demikian akan mengurangi kontak senjata antara TNI/Polri dengan kombatan TNPPB/OPM menuju gencatan senjata dan penyelesaian secara damai dapat diwujudkan.
Terkini Lainnya
Gencatan senjata
Solusi
TMMD Reguler 121 Kodim 0723 Klaten Lakukan Betonisasi Jalan 845 Meter
TNI Rekrut Prajurit yang Fokus di Bidang Teknologi Nirawak dan Siber
Panglima TNI Lantik 350 Perwira Prajurit Karier TNI
Koalisi Masyarakat Sipil : Militer Terlatih untuk Perang bukan Berbisnis
KSAD Ingatkan tidak Boleh Ada Perwira Lakukan Kekerasan Fisik
Polri Segera Tetapkan Tersangka Kasus Korupsi Pengadaan PJUTS Kementerian ESDM
4 Anggota Satgassus Pencegahan Korupsi yang Disingkirkan Firli Lolos Seleksi Capim KPK
Polri Diminta Usut Alasan Dede Berbohong dalam Kasus Vina
5 Fakta Kasus Open BO Anak yang Berhasil Dibongkar Bareskrim
Polisi Bongkar Penjualan Obat Keras Berkedok Toko Kosmetik di Jakbar
50 WNI Dipaksa Jadi PSK di Sydney, Mau Untung Malah Buntung
Pezeshkian dan Babak Baru Politik Iran
Hamzah Haz Politisi Santun yang Teguh Pendirian
Wantimpres jadi DPA: Sesat Pikir Sistem Ketatanegaraan
Memahami Perlinsos, Bansos, dan Jamsos
Menyempitnya Ruang Fiskal APBN Periode Transisi Pemerintahan
Program Dokter Asing: Kebutuhan atau Kebingungan?
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap