Menghentikan Ketamakan
MAHATMA Gandhi pernah menengarai adanya ancaman yang mematikan dari 'tujuh dosa sosial', yakni ‘politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan’. Ketujuh dosa sosial tersebut sekarang seakan menjadi warna dasar kehidupan kita.
Saya ingin memberikan tekanan pada dua dosa sosial: 'kekayaan tanpa kerja keras' dan 'kesenangan tanpa nurani'. Dua jenis dosa sosial itulah yang jadi biang ketamakan, sumbu keserakahan, babon kerakusan. Hasil akhirnya ialah sikap koruptif yang bikin suatu bangsa bisa ambruk.
Lihatlah bagaimana ada orang yang amat tamak menambang apa pun yang ada di perut bumi negeri ini, bahkan hingga menerabas batas. Dalam kasus tambang timah di Bangka Belitung, misalnya, dari 88,9 ribu hektare wilayah yang legal untuk ditambang, faktanya bisa meluas hingga 170 ribu hektare lebih.
Sebesar 52% tambang timah memang legal. Namun, 48% di antaranya ilegal. Karena 88,9 ribu hektare tidak cukup, ketamakan meminta lebih, hingga 170 ribu hektare. Harga yang harus dibayar pun fantastis, lebih dari Rp271 triliun. Itulah uang kerugian ekologis yang mesti ditanggung akibat ketamakan.
Dalam soal itu kita seyogianya belajar dari Nauru. Negeri yang dulunya jaya dan kaya itu bangkrut karena ketamakan. Negara terkecil di dunia itu bernasib malang, jadi negara sangat miskin, setelah sempat mencecap sebagai salah satu negara terkaya di dunia.
Sebelum 2000-an, Nauru jadi lumbungnya fosfat. Saat itu, permintaan fosfat sedang tinggi-tingginya. Pada era 1980-an, negara bekas koloni Inggris itu menjadi salah satu negara terkaya di dunia dan salah satu negara dengan pendapatan per kapita tinggi di dunia. Semua predikat itu diperoleh dari banyak faktor, terutama ekonomi ekstraktif mereka karena memiliki lumbung fosfat. Setelah bebas dari penjajahan Inggris pada 1968, tambang fosfat mencuat di Nauru.
Puncaknya terjadi pada 1980, ketika produksi fosfat semakin menggila. Ketamakan membuat eksploitasi berlangsung terus-menerus, lagi dan lagi. Kerakusan itu dipicu fakta bahwa fosfat yang ada di Nauru dinilai bermutu tinggi. Hal itu disebabkan fosfat tersebut terbentuk dari endapan kotoran burung yang telah ada selama berabad-abad di tempat itu.
Malang tidak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih. Mengutip The Guardian, Nauru yang dulunya negara kaya kini justru jatuh miskin karena menjadi korban kolonialisme yang rakus, salah urus, dan ketamakan. Lantaran eksploitasi tambang yang menggila, pada 1990-an cadangan fosfat di Nauru semakin menipis.
Puncaknya, pada 2006 penambangan fosfat di Nauru resmi ditutup. Padahal, tambang fosfat menjadi salah satu sumber perekonomian utama negara Nauru. Ketika penambangan fosfat melemah, perekonomian Nauru juga ikut terseret. Alhasil, bertahun-tahun negeri itu hidup dalam kemiskinan karena kehabisan uang.
Bank sentral bangkrut. Real estat di luar negeri disita. Pesawat disita dari landasan pacu bandara. The Guardian melukiskan krisis keuangan yang terjadi membuat Nauru mengeksploitasi kedaulatan mereka. Pada 1990-an, Nauru menjelma menjadi surga pencucian uang. Nauru menjual izin perbankan dan paspor termasuk paspor diplomatik.
Nauru kiranya menjadi pembelajaran nyata bahwa ketamakan menjadi sumber penderitaan. Ia dosa sosial yang muncul karena menjadi kaya tanpa kerja keras. Ia juga menjadi dosa sosial karena memburu kesenangan tanpa nurani. Apakah yang dibutuhkan untuk menghentikan ketamakan?
Dalam buku teks, jawabannya simpel, yakni hukuman yang keras, tegas, dan berefek penjeraan baik bagi pelaku agar tidak mengulang lagi maupun 'teror psikologis' bagi calon koruptor untuk berpikir ulang bila hendak berbuat korup. Namun, buku teks akan majal tanpa ada sistem yang memaksakan kesadaran.
Dalam dimensi personal, negeri ini memang membutuhkan sebuah spiritualitas 'merasa cukup'. Ia akan efektif bila menjadi gerakan bersama. Jika tidak, ketamakan akan terus merajalela. Korupsi akan berbiak ke mana-mana. Bukan dilakukan orang yang kekurangan secara ekonomi, melainkan justru diperbuat orang atau kelompok yang selalu merasa kurang.
Benar belaka kata pendakwah di masjid sebelah rumah yang dalam ceramah menjelang Tarawih menyebut: negeri ini cukup kaya untuk menghidupi 280 juta rakyatnya. Namun, negeri ini tidak akan pernah cukup untuk memenuhi hasrat segelintir orang yang tamak, rakus, dan serakah.
Terkini Lainnya
Jangan Panggil Dia Profesor
Antara Miskin dan Bahagia
Horor Guru Honor
Welcome Kamala Harris
Lucu-Lucu Mobil Dinas
Ma’ Olle Salamet Tengka Salana
Menyoal Rencana Asuransi Mobil Motor
Kamar Reyot Senator
Jiwa Besar
Kemerdekaan Hakim Eman
Dokter di Balik Harga Obat Mahal
Terkungkung Mazhab Utang
Enaknya Jadi Mantan Presiden
Yamal dan Kaesang
Mewaspadai Harapan
Profesor Autentik
Pezeshkian dan Babak Baru Politik Iran
Hamzah Haz Politisi Santun yang Teguh Pendirian
Wantimpres jadi DPA: Sesat Pikir Sistem Ketatanegaraan
Memahami Perlinsos, Bansos, dan Jamsos
Menyempitnya Ruang Fiskal APBN Periode Transisi Pemerintahan
Program Dokter Asing: Kebutuhan atau Kebingungan?
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap