Mudik Jalan Terus
ADA guyonan perihal mudik yang selama ini kerap kita dengar yang mungkin sesungguhnya merupakan ekspresi kekaguman terhadap ritus budaya yang berlangsung setiap tahun menjelang perayaan Lebaran tersebut. Mudik, dalam candaan itu, disebut sebagai satu-satunya 'hajatan' superbesar di negeri ini yang bisa berlangsung tanpa panitia.
Benarkah? Tentu ada sisi benarnya meskipun mungkin tidak tepat-tepat amat. Mudik memang akan terus ada dan berlangsung meskipun tidak ada panitia khusus yang menyelenggarakan. Belum pernah kan kita mendengar ada pembentukan Panitia Mudik Lebaran Nasional? Rasanya sih belum pernah ada karena untuk urusan mudik, setiap orang atau keluarga bisa menjadi panitia untuk diri mereka.
Sejak dulu, terutama dalam dua dekade terakhir ketika lonjakan jumlah pemudik semakin tinggi, pemerintah sebetulnya terlibat. Pemerintah menjalankan fungsi sebagai regulator sekaligus penyelenggara layanan, fasilitas, dan infrastruktur mudik. Kendati demikian, harus diakui guyonan itu benar adanya, tetap saja pemerintah tidak bisa disebut sebagai panitia mudik.
Kalaupun ada istilah panitia mudik, barangkali hanya kepanitiaan sporadis. Setiap satu perusahaan atau instansi bikin panitia mudik, lebih untuk melayani pegawai beserta keluarga mereka yang ingin pulang ke kampung halaman. Itu termasuk pengadaan mudik-mudik gratis oleh sejumlah instansi yang dalam beberapa tahun terakhir semakin banyak penyedia ataupun peminatnya.
Intinya, ada atau tidak ada panitia, ritual mudik bakal jalan terus. Faktanya, hampir tidak ada yang mampu menghalangi orang Indonesia, terutama kaum perantauan, mudik ke kampung. Mungkin hanya pandemi covid-19 yang bisa mengerem keinginan masyarakat untuk mudik. Itu pun sebetulnya mereka hanya menyimpan 'energi mudik' untuk dilepaskan di tahun berikutnya ketika pembatasan dan pelarangan sudah dicabut.
Dari banyak sudut pandang, mudik memang bukan perhelatan kaleng-kaleng. Jumlah pemudik setiap tahun mencapai puluhan bahkan ratusan juta orang. Moda transportasi yang dipakai mengangkut pemudik, jutaan jumlahnya. Lalu, potensi perputaran uang yang dihasilkan dari aktivitas mudik, jangan salah, juga mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah, bergantung pada perspektif dan variabel perhitungannya.
Karena itu, dari segi keakbaran event serta dampaknya terhadap perekonomian, mudik sejatinya tidak kalah dengan perayaan demokrasi lima tahunan pemilihan umum (pemilu). Biar lebih afdal, mumpung Pemilu 2024 juga baru saja lewat, mari kita bandingkan mudik Lebaran tahun ini dengan penyelenggaraan Pemilu 2024.
Mudik Lebaran kali ini, menurut prediksi Kementerian Perhubungan, bakal diikuti kurang lebih 193,6 juta orang. Itu artinya lebih dari 71% dari penduduk Indonesia akan melakukan pergerakan dan aktivitas selama menjelang hingga pasca-Lebaran.
Pemilu 2024, di sisi lain, jumlah pemilih yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 204,8 juta orang. Beda-beda tipislah dengan jumlah pelakon mudik tahun ini. Pemilu melibatkan sedikit lebih banyak orang dalam pelaksanaannya.
Akan tetapi, dari sisi potensi perputaran uangnya, mudik jauh lebih kencang, lebih eskalatif menggerakkan perekonomian ketimbang pemilu. Ambil contoh proyeksi Kadin Indonesia yang memperkirakan potensi perputaran uang selama Ramadan dan mudik Lebaran 2024 bisa mencapai Rp157,3 triliun. Itu prediksi minimal, masih berpotensi naik.
Contoh lain, ini bahkan lebih optimistis. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dengan amat progresif memproyeksikan perputaran ekonomi di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif saat momen libur Lebaran 2024 akan mencapai Rp276,11 triliun. Catat, belanja konsumsi masyarakat sebesar lebih dari seperempat kuadriliun itu tidak akan pernah terjadi, kecuali pada momentum liburan mudik Lebaran.
Besarnya proyeksi konsumsi itulah yang menjawab mengapa selama ini pemerintah selalu mengandalkan momen mudik sebagai titik menggenjot pertumbuhan. Di saat belanja konsumsi masyarakat naik gila-gilaan, di situlah potensi sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi kian terlihat. Sejumlah ekonom memperkirakan konsumsi pada momen mudik dan Lebaran akan menyumbang 0,3%-0,4% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Nah, bandingkan dengan Pemilu 2024 yang dengan anggaran Rp23,1 triliun dinilai tak banyak membawa pengaruh bagi aktivitas perekonomian masyarakat. Belanja pemilu tidak begitu dirasakan masyarakat karena kontribusinya yang kecil terhadap PDB, hanya 0,1%-0,2%.
Dengan melihat perbandingan itu, kiranya benar perhelatan yang asyik memang tidak mesti diurus panitia khusus. Toh, keberadaan 'panitia' pada penyelenggaraan pemilu tak hanya gagal menciptakan efek ekonomi, tetapi juga tidak mampu membuat pemilu jadi lebih asyik, bukan? Yang banyak terjadi malah kecurangan.
Ah, tapi sudahlah, biar itu diurus Mahkamah Konstitusi. Mending kita berangkat mudik saja sekarang, mumpung tarif tol sudah diskon.
Terkini Lainnya
Jangan Panggil Dia Profesor
Antara Miskin dan Bahagia
Horor Guru Honor
Welcome Kamala Harris
Lucu-Lucu Mobil Dinas
Ma’ Olle Salamet Tengka Salana
Menyoal Rencana Asuransi Mobil Motor
Kamar Reyot Senator
Jiwa Besar
Kemerdekaan Hakim Eman
Dokter di Balik Harga Obat Mahal
Terkungkung Mazhab Utang
Enaknya Jadi Mantan Presiden
Yamal dan Kaesang
Mewaspadai Harapan
Profesor Autentik
Pezeshkian dan Babak Baru Politik Iran
Hamzah Haz Politisi Santun yang Teguh Pendirian
Wantimpres jadi DPA: Sesat Pikir Sistem Ketatanegaraan
Memahami Perlinsos, Bansos, dan Jamsos
Menyempitnya Ruang Fiskal APBN Periode Transisi Pemerintahan
Program Dokter Asing: Kebutuhan atau Kebingungan?
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap