visitaaponce.com

Kekalahan ini seperti Tato

SIAP menang gampang diucapkan, mudah pula dijalankan. Siap kalah juga mudah dilafalkan, tetapi begitu sulit untuk dilakukan. Apalagi jika kekalahan dirasa akibat kecurangan pemenang. Terlebih kalau kekalahan diyakini sebagai imbas dari cawe-cawe kekuasaan.

Itulah yang dirasakan jutaan orang di Indonesia selepas kompetisi Pilpres 2024. Ditandai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, kemenangan Prabowo-Gibran tak lagi terhalang. Keduanya sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Keduanya tinggal dilantik 20 Oktober mendatang.

Bahwa kemudian Anies dan Cak Imin mengucapkan selamat kepada Prabowo-Gibran, itu kiranya menunjukkan kebesaran hati mereka. Keduanya pasti kecewa, sama seperti 40 juta lebih pemilih mereka. Dalam pidatonya setelah ditetapkan KPU sebagai pemenang, Prabowo juga paham senyum Anies dan Cak Imin senyuman yang berat. Senyum dalam duka, begitu istilah lainnya.

Apa pun, kita mengapresiasi kesediaan Anies dan Muhaimin untuk hadir dalam penetapan kemenangan rival mereka itu. Ihwal absennya Ganjar dan Mahfud, kita tak perlu menghakimi. Apalagi kalau keduanya benar tak mendapat atau terlambat menerima undangan dari KPU.

Ini bukan masalah suka tidak suka, mau tidak mau. Ini soal hati. Barangkali tak terlalu berat untuk akhirnya mengakui dan menerima kemenangan Prabowo. Sebagian rakyat sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan keberadaan Prabowo sebagai capres sehingga tak terlalu menjadi soal pula ia menjadi presiden.

Kemenangan Prabowo memang tak mulus, ada noda, berbalut jelaga. Akan tetapi, di sisi lain, setidaknya bagi saya, ia juga memberikan pembelajaran soal arti perjuangan. Prabowo tak lagi muda. Ia yang lahir pada 17 Oktober 1951 saat mengikuti pilpres ini sudah berusia 72 tahun. Ia akan menjadi presiden tertua dalam sejarah Indonesia, lebih tua ketimbang BJ Habibie yang dilantik pada 1998 saat berumur 62 tahun.

Prabowo juga bakal berjejer di daftar pemimpin negara tertua di dunia.

Prabowo setidaknya membuktikan pitutur luhur bahwa usia bukanlah halangan untuk mewujudkan asa. Ia sudah memahatkan harapan sebagai pemimpin negeri jauh-jauh hari.

Pada Pilpres 2009, ia turun gelanggang sebagai cawapres Megawati Soekarnoputri, tapi kalah dari SBY-Boediono. Ia kembali berkompetisi di Pilpres 2014 sebagai capres, tetapi kalah jua. Kali ini oleh Jokowi. Tak lantas berputus asa, Prabowo maju lagi lima tahun kemudian, tapi lagi-lagi kalah dari Jokowi.

Prabowo mengonfirmasi nasihat Albert Einstein bahwa kegagalan ialah kesuksesan yang sedang berlangsung benar adanya. Ia berulang-ulang tumbang, tapi pantang putus harapan. Mirip dengan Abraham Lincoln yang juga berkali-kali gagal dalam karier politik, tapi akhirnya sukses menjadi presiden ke-16 Amerika pada 1860. Itu contoh baik buat yang tua-tua, juga bagi anak-anak muda. Semangat Prabowo boleh ditiru, tapi cara-cara buruk yang dilakukannya jangan.

Ini bukan soal suka tidak suka, mau tidak mau. Kiranya terlalu berat untuk akhirnya mengakui dan menerima kemenangan Gibran. Terlalu sulit melupakan begitu saja jejak kotor perjalanan anak Presiden Jokowi itu menjadi wakil presiden termuda Indonesia dengan umur 36 tahun, lebih muda ketimbang M Natsir saat menjadi wapres pada 1950 dalam usia 42 tahun.

Salah satu syarat sebagai pemimpin ialah satu lisan dan perbuatan. Tidak boleh plinplan, pantang tempo hari begono hari ini begini, besok lain lagi. Akan tetapi, Gibran melakukan itu. Ia pernah bilang tak tertarik politik, maunya berbisnis, tapi faktanya terbalik.

Syarat pemimpin yang ideal ialah kesetiaan. Akan tetapi, Gibran menabrak paugeran itu. Pada suatu kala ia bilang tegak lurus pada Megawati, tapi tak lama berselang malah berlawanan.

Syarat lain pemimpin yang baik ialah memuliakan etika. Akan tetapi, Gibran dinilai justru menistakannya. Tiket sebagai cawapres yang ia dapat cacat etika, hasil mengakali konstitusi. Dalam debat cawapres, ia disebut tak beretika pada kompetitornya yang tua-tua. Ia bukan contoh yang baik.

Kendati satu paket, kiranya ada kontradiksi penyikapan terhadap Prabowo dan Gibran. Kekecewaan mereka yang kalah terhadap Prabowo barangkali tak akan berlama-lama, tapi tidak untuk Gibran. Hora sudi, tidak mau. Itulah jawaban ketus teman saya ketika ditanya apakah akan memajang foto Gibran sebagai wapres. Ia yang menjunjung tinggi etika dan demokrasi masih kecewa berat, marah besar. Kata dia, kekecewaannya, kemarahannya, sangat sulit diobati.

Teman saya pasti tak sendiri. Saya pastikan masih banyak yang juga berat menerima dan melupakan kekalahan dari Gibran. Ihwal itu, pepatah Inggris 'failure is a bruise, not a tattoo (kegagalan atau kekalahan adalah memar, bukan tato)' rasanya tak lagi mewakili.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat