visitaaponce.com

Pinter Keblinger

KEBLINGER. Itu kata yang dipilih mantan Menko Polhukam dan eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD saat mengomentari draf revisi Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang kini sedang digodok di DPR. Yang ia sebut keblinger utamanya ialah isi Pasal 56 ayat 2 poin c yang memuat pelarangan terhadap media menayangkan hasil liputan investigatif.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indinesia (KBBI), keblinger punya arti sesat atau keliru. Ada pula yang mengartikannya salah langkah, salah pikir, atau dalam bahasa yang lebih halus, gagal paham. Kita sederhanakan saja, keblinger dalam konteks komentar Mahfud tersebut barangkali maksudnya ialah sesat pikir. 

Bagaimana tidak sesat pikir kalau sebuah upaya revisi aturan, yang semestinya untuk memperbaiki, malah berpotensi merusak yang sudah berjalan baik. Yang bakal dirusak pun bukan main-main, yakni iklim kebebasan berekspresi dan ruang pengawasan publik melalui pers. Pantas saja kalau Mahfud dan para pegiat media menyebut draf aturan tersebut sebagai produk keblinger. 

Kalau produknya keblinger, apakah pembuatnya juga keblinger? Ya, mungkin saja. Di Jawa, ada istilah pinter keblinger, artinya orang yang pintar dan berilmu, tapi tersesat jalan karena terlalu mengagungkan kepintarannya. Dalam kasus ini, kiranya orang-orang pintar perancang draf revisi UU Penyiaran itu tersesat, bukan hanya karena kepintaran mereka, melainkan juga karena kepentingan.

Orang-orang pinter keblinger itu sebetulnya pasti tahu betul melarang penyiaran jurnalistik investigasi sama saja dengan mengekang karya atau produk jurnalistik profesional. Mereka juga tentu paham upaya pengekangan seperti itu merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang justru dibuat untuk melindungi independensi dan kebebasan pers.

Akan tetapi, dalam konteks penyusunan draf revisi UU Penyiaran tersebut kita bisa melihat aroma kepentingan si pembuat undang-undang tampaknya lebih kental ketimbang kepentingan publik. Nafsu untuk melakukan intervensi sepertinya lebih menonjol daripada spirit penghormatan terhadap kebebasan pers.

Padahal, dalam iklim kemerdekaan pers, jurnalisme, terutama jurnalisme investigatif, mestinya dijauhkan dari penyensoran, pelarangan, apalagi pembungkaman. Ia menjadi alat kontrol terhadap kebijakan atau tindakan yang dirasa melenceng dari common sense dan berpotensi merugikan masyarakat luas. 

Selama ini, harus diakui bahwa banyak karya jurnalistik investigasi berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik. Cukup banyak skandal pelanggaran terhadap kepentingan publik yang berhasil terbongkar melalui produk jurnalistik investigasi. Di satu sisi, memang kepentingan publik terpenuhi. Namun, di lain sisi, kepentingan sebagian kelompok pasti akan terganggu. 

Lantas, apakah alasan itu yang mendasari munculnya draf aturan nyeleneh soal larangan penayangan jurnalistik investigasi? Apakah karena ada kepentingan politik, hukum, atau ekonomi dari sekelompok pihak yang terganggu sehingga produk siaran jurnalistik investigasi harus dibatasi, disensor, bahkan dilarang? 

Kalau itu alasannya, benar kata Mahfud, ini sudah betul-betul keblinger. Kini, yang tersisa tinggal harapan, mudah-mudahan saja keblingernya cuma pada tahap penyusunan draf. Tidak keterusan sampai berlanjut saat pembahasan di ruang rapat DPR nanti. 

Memang, sejumlah politikus di DPR sudah bersuara. Mereka menyebut tidak ada tendensi atau niat untuk membungkam kebebasan pers di republik ini melalui revisi undang-undang tersebut. Namun, pada perjalanan pembahasan nanti, siapa yang tahu? Rasanya masih sulit bagi kita untuk percaya 100% omongan politikus, semanis apa pun omongan itu.

Kita mungkin hanya bisa berharap, setelah muncul kritik keras dari berbagai kalangan, dari insan pers sampai ahli hukum tata negara sekelas Mahfud MD, bahkan Dewan Pers juga menyatakan menolak draf revisi itu, sungguh tak elok apabila para wakil rakyat di parlemen masih mempertahankan 'keblingeran' yang sama. Kiranya mereka patut mendudukkan lagi spirit awal dari revisi UU Penyiaran itu, untuk tujuan apa dan untuk kepentingan siapa.

Orang pinter tak mesti keblinger. Bahkan orang pinter sungguhan, bukan yang keminter alias sok pintar, sesungguhnya lebih mampu menjaga diri agar tak keblinger. Kita tunggu saja saat pembahasan nanti, apakah laku para legislator kita menunjukkan mereka orang pinter beneran atau cuma orang yang berpura-pura pintar dan gampang keblinger.

 



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat