visitaaponce.com

Menggendong Lupa

TAK usah diragukan lagi, negeri ini kaya dengan khazanah budaya. Dengan ribuan suku dan ratusan etnik, budaya agung dan nilai-nilai luhur bertaburan laksana bintang menerangi angkasa.

Sebagai salah satu suku yang dominan, budaya Jawa begitu mewarnai laku bangsa Indonesia. Begitu banyak pitutur dari para leluhur untuk dijadikan pegangan anak cucu saat ini, juga di masa mendatang. Salah satu yang tengah jadi ajang pembicaraan ialah melik nggendong lali. Versi panjangnya, melik nggendong lali, lali purwo duksino.

Pitutur itu kira-kira punya arti seseorang yang memiliki rasa memiliki kelewat tinggi sehingga memanggul lupa, lupa akan paugeran yang semestinya menjadi pijakan hidup. Rasa memiliki itu bervariasi, mulai dari harta hingga kuasa. Saking besarnya nafsu untuk bergelimang harta, orang lupa lalu melakukan segala cara guna mendapatkannya. Kalau yang halal susah, yang haram pun tak apa-apa. Maka, tak mengherankan jika korupsi di negeri ini makin menggila.

Mereka, para pejabat, yang hatinya telah dikuasai kadonyan, kenikmatan duniawi, tak sungkan menggasak uang rakyat. Yang penting dia sejahtera, anak, istri, dan keluarganya bahagia, masalah laku jahat itu merugikan rakyat, bodo amat. Persis dengan lirik lagu Bento milik Iwan Fals: ‘Yang penting aku senang... aku menang... persetan orang susah karena aku... yang penting asyik, sekali lagi asyik’.

Mereka, para pendewa harta itu, adalah orang-orang yang menggendong lali. Lupa bahwa sebagai pejabat harus melayani rakyat, bukan bersemangat menyejahterakan diri sendiri dan kerabat.

Hasrat berkuasa juga gampang membuat lupa. Untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, mereka semaunya. Tak peduli meski harus menistakan moral dan etika, tak masalah kendati menabrak aturan.

Melik nggendhong lali bisa pula untuk menggambarkan seseorang yang lupa asal-usulnya. Mentang-mentang sudah bergelimang harta dan kuasa, mereka menghapus sejarahnya sendiri. Lali purwo duksino.

Oleh orang Jawa, melik nggendhong lali adalah pengingat agar tidak lupa diri. Pengingat seperti ini pasti juga ada di suku-suku lain, etnik-etnik lain, dan akan tetap relevan sampai kapan pun. Maka, bagus-bagus saja kalau ada yang mencoba terus mengapungkannya.

Seperti yang dilakukan Butet Kartaredjasa, misalnya. Selama sebulan sejak 26 April hingga 25 Mei 2024, Butet menggelar pameran seni di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, bertajuk Melik Nggendong Lali. Beragam lukisan dengan berbagai media dipampang. Patung seseorang bertubuh kurus berhidung panjang mendongkak congkak juga dipajang. Di belakangnya, tulisan ‘Melik Nggendong Lali’ jelas terlihat.

Pameran seni pemilik Cocot Kencono itu kiranya bukan pameran biasa. Yang hadir pun tak semuanya orang biasa. Ada mantan capres Ganjar Pranowo. Bahkan ada pula Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri.

Karya seni yang dipamerkan juga bukan karya biasa. Ada banyak pesan dan tafsir dalam karya-karya itu, termasuk patung berhidung panjang yang mencuri atensi Bu Mega. Dia cukup lama mencermatinya. "Saya bebaskan untuk ditafsir. Arti patung ini simbol kepalsuan dan kemunafikan,'' begitu Butet bilang.

Okelah kalau begitu. Menurut saya, pesan melik nggendong lali yang menjadi tajuk pameran itu memang bisa berlaku umum, untuk semua orang. Akan tetapi, ia juga bisa berlaku khusus dan yang khusus itu ialah Presiden Jokowi.

Sulit dimungkiri, Butet kelewat sakit hati kepada Jokowi. Dia dulu adalah jokower sejati, pendukung garis keras, die hard-nya Jokowi. Tetapi dia kecewa berat, marah besar, karena menilai Jokowi menggendong lali, lupa diri. Lupa lantaran bernafsu untuk mempertahankan kekuasaan yang sebentar lagi usai dengan mendukung putranya, Gibran, menjadi cawapres. Lupa bahwa PDIP telah mengusung dan memenangkannya dalam dua kali Pilkada Kota Surakarta, sekali Pilgub Jakarta, dan dua kali pilpres, tapi dia tetiba mbalelo.

PDIP juga sakit hati kepada Jokowi. Meski tidak terucap, Bu Mega kiranya juga kecewa berat. Kalau kemudian dia menghadiri pameran seni Melik Nggendong Lali, bisa jadi itu untuk menunjukkan kekecewaannya kepada orang yang lupa diri. Benarkah tafsir itu? “Saya tidak ingin mendikte orang yang ngelihat. Bebas,” begitu kata Butet.

Kata akademisi UGM Bagas Pujilaksono dalam sebuah tulisannya, budaya Jawa muncul sebagai buah dari ilmu titen. Sesuatu yang punya keterulangan tingggi dan menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

Apakah melik nggendhong lali menggambarkan situasi di negeri ini yang makin banyak orang kemaruk harta dan gila kuasa sehingga lupa diri? Saya berani jawab, iya. Apakah di antara banyak orang itu termasuk Jokowi? Silakan pembaca punya jawaban sendiri-sendiri.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat