visitaaponce.com

Akrobatik RUU Bebek Lumpuh

ADA fenomena menarik yang terus berulang setiap lima tahun. Fenomena yang dimaksud ialah aktivitas legislasi DPR justru mencapai titik puncaknya setelah hasil pemilu ditetapkan.

Kurun waktu antara penetapan hasil pemilu (20 Maret 2024) dan pelantikan anggota DPR baru (1 Oktober 2024) disebut sebagai sesi bebek lumpuh. Pada masa itulah, tiba-tiba saja DPR memiliki energi berlimpah untuk membahas rancangan undang-undang (RUU). DPR tiba-tiba terlihat doyan membahas RUU.

Ada 43 RUU yang dibahas DPR bersama pemerintah dalam empat bulan ke depan. Padahal, DPR hanya mengesahkan 18 undang-undang pada 2023. Begitu juga pada 2022, hanya 32 RUU yang rampung dan disetujui menjadi UU. Regulasi yang dihasilkan tidak sebanyak kontroversi yang mereka ciptakan.

DPR periode 1999-2024 memberikan prioritas tinggi pada kewenangan legislasi. Buktinya, berdasarkan Program Legislasi Nasional (Legislasi) 2020-2024 yang ditetapkan pada 17 Desember 2019, terdapat 248 RUU yang menjadi target. Hingga 16 Agustus 2023, DPR mampu menuntaskan 64 RUU (25%).

Mampukah DPR menuntaskan 43 RUU yang saat ini masih berada dalam pembicaraan tingkat pertama? Jika menelaah kebiasaan pada sesi bebek lumpuh selama ini, DPR tidak menemui kesulitan untuk menuntaskan berapa pun banyak RUU yang hendak disahkan.

Saking semangatnya, RUU yang tidak masuk 34 RUU yang diprioritaskan, juga tidak masuk daftar Prolegnas 2020-2024, tiba-tiba saja dibahas Badan Legislasi DPR pada Selasa (14/5). RUU yang dimaksud ialah revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Boleh-boleh saja DPR memperlihatkan produktivitas berlebihan menjelang akhir masa jabatan. Akan tetapi, ada persoalan yang menyertainya, yaitu masalah legitimasi dan substansi setiap RUU yang dibahas DPR bersama pemerintah.

Masih adakah legitimasi DPR pada sesi bebek lumpuh untuk membahas RUU? Fitra Arsil (2019) menyebutkan para anggota parlemen dan kepala eksekutif yang masih duduk di jabatannya pada saat sudah terpilih para anggota baru sebenarnya memiliki legitimasi yang rendah karena terbukti para pemilih tidak memberikan kepercayaan lagi.

Memang, berdasarkan laporan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), jumlah calon anggota DPR petahana yang terpilih kembali lebih banyak ketimbang calon pendatang baru. Total 56,4% calon anggota DPR petahana terpilih kembali, sedangkan pendatang baru berjumlah 43,6%. Anggota DPR yang tidak terpilih kembali mengandung makna rakyat tidak memercayai mereka lagi.

Mereka yang tidak meraih kembali kepercayaan dari rakyat itulah yang ikut membahas RUU dalam empat bulan ke depan. Dengan demikian, elok nian bila RUU kontroversial tidak dibahas, misalnya revisi keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Hentikan saja pembahasannya!

Persoalan substansi pembahasan RUU hendaknya mematuhi ketentuan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 96 mengatur partisipasi masyarakat yang pada ayat (1) menyebutkan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Partisipasi masyarakat mutlak dilaksanakan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Menurut MK, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh.

MK menetapkan bahwa partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Harus tegas dikatakan bahwa partisipasi masyarakat diabaikan dengan penuh kesadaran dalam proses pembahasan RUU di Senayan. Karena itu, perlu dipertimbangkan untuk menghentikan semua pembahasan RUU pada sesi bebek lumpuh sehingga terhindari adanya pasal-pasal transaksional. Kiranya pembahasan RUU tetap memperhatikan masalah legitimasi dan substansi yang mengakomodasi aspirasi masyarakat.

Semua RUU yang tidak bisa selesai pada periode sekarang bisa diwariskan kepada DPR periode 2024-2029 lewat sistem carry over. Memaksakan diri untuk menuntaskan 43 RUU dalam empat bulan ke depan hanya memberikan kesempatan kepada DPR untuk membuka celah perjumpaan di lorong-lorong gelap menuju kekuasaan. Kiranya dicegah akrobatik RUU pada sesi bebek lumpuh.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat