Bukan Tambahan Penderitaan Rakyat
DI TENGAH hiruk pikuk berbagai peristiwa di Tanah Air, jagat maya dibuat heboh oleh beleid baru potongan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Netizen ramai-ramai memprotes aturan iuran wajib soal perumahan itu di berbagai kanal media sosial sejak awal pekan ini.
Senin kemarin memang menjadi hari pertama kabar tentang pungutan wajib Tapera kepada semua pekerja di Indonesia. Sejak keluarnya aturan itu hingga lebih dari 24 jam kemudian, jagat media sosial dibombardir oleh netizen yang menilai aturan baru itu bakal mencekik leher para pekerja dan dunia usaha yang sebelumnya sudah tercekik.
Dan, sejak Senin hingga kemarin pagi, tagar Tapera pun menjadi trending topic di aplikasi X (dulu Twitter). Itu suatu pertanda bahwa Tapera tengah menjadi salah satu pusat perhatian warganet. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
Semuanya berawal dari siaran pers yang diterbitkan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera. Siaran pers tersebut diberi judul: Tingkatkan Efektivitas Penyelenggaraan Tapera, Pemerintah Tetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024. Di dalam siaran pers tersebut disebutkan bahwa Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Beleid itu ditetapkan pada 20 Mei 2024.
Di dalam PP itu dinyatakan bahwa Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Dalam Pasal 15 ayat 1 PP tersebut telah ditetapkan besaran simpanan peserta ialah 3% dari gaji atau upah. Hal itu berlaku untuk mereka yang berstatus pekerja formal (karyawan kantoran) ataupun peserta pekerja mandiri (pekerja paruh waktu atau usaha).
Lebih Lanjut, dalam ayat 2 pasal yang sama ditetapkan besaran simpanan untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%. Artinya, gaji setiap pekerja akan dipotong sebesar 2,5% sebagai iuran atau simpanan wajib.
Aturan itulah yang menjadi biangnya. Para netizen yang umumnya pekerja melihat beleid itu bak petir di siang bolong. Ia sekonyong-konyong. Para pekerja merasa ditelikung karena tidak diajak bicara. Padahal, mereka adalah objek utama peraturan itu.
Maka, muncullah parade amarah dan nyinyiran, lengkap dengan beragam sindiran. Ada yang memelesetkan akronim Tapera sebagai 'tambahan penderitaan rakyat'. Ada juga yang mengaitkan potongan wajib itu sebagai upaya pemerintah 'mengais uang untuk membiayai makan siang gratis'.
Sayangnya, seperti yang sudah-sudah, pemerintah merespons peraturan 'diam-diam' itu dengan beragam tangkisan. Persis seperti saat merespons penaikan uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri yang akhirnya dibatalkan. Dalam soal Tapera, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat merespons dengan mengatakan uang yang dipotong itu tidak akan hilang.
Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menyebut aturan baru itu akan membuat proses pengelolaan Tapera dilakukan melalui penyimpanan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu. Perubahan atas PP ini, kata Heru, adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan Tapera dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera.
Jawaban Presiden Joko Widodo atas terbitnya beleid itu juga normatif. Kata Presiden, pemerintah telah melakukan penghitungan yang cukup matang sebelum mengeluarkan PP Tapera. “Semua dihitung lah, biasa. Dalam kebijakan yang baru itu pasti masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau enggak mampu, berat atau enggak berat,” kata Jokowi.
Menurut Jokowi, pro dan kontra dari masyarakat merupakan hal biasa setiap ada kebijakan baru yang digulirkan pemerintah. Dia mencontohkan masyarakat yang awalnya keberatan gajinya dipotong untuk iuran BPJS Kesehatan yang di luar penerima bantuan iuran. "Tapi, setelah berjalan, saya kira merasakan manfaatnya bahwa rumah sakit tidak dipungut biaya,” ujarnya ringan.
Lalu, bagaimana bagi pekerja yang sudah punya rumah? Haruskah mereka tetap 'menyisihkan' uang dari hasil keringat kerja keras demi menyumbang uang buat negara? Segala sesuatu yang dihasilkan lewat diam-diam akan selalu memantik pertanyaan, kecurigaan, dan akhirnya ketidakpercayaan.
Terkini Lainnya
Jangan Panggil Dia Profesor
Antara Miskin dan Bahagia
Horor Guru Honor
Welcome Kamala Harris
Lucu-Lucu Mobil Dinas
Ma’ Olle Salamet Tengka Salana
Menyoal Rencana Asuransi Mobil Motor
Kamar Reyot Senator
Jiwa Besar
Kemerdekaan Hakim Eman
Dokter di Balik Harga Obat Mahal
Terkungkung Mazhab Utang
Enaknya Jadi Mantan Presiden
Yamal dan Kaesang
Mewaspadai Harapan
Profesor Autentik
Pezeshkian dan Babak Baru Politik Iran
Hamzah Haz Politisi Santun yang Teguh Pendirian
Wantimpres jadi DPA: Sesat Pikir Sistem Ketatanegaraan
Memahami Perlinsos, Bansos, dan Jamsos
Menyempitnya Ruang Fiskal APBN Periode Transisi Pemerintahan
Program Dokter Asing: Kebutuhan atau Kebingungan?
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap