visitaaponce.com

All Eyes on Rafah

AMERIKA Serikat (AS) boleh saja bangga menjadi negara adidaya atau adikuasa. Julukan atau status itu didapatkan karena begitu dominannya pengaruh AS, baik dalam politik, militer, ekonomi, maupun teknologi, di kancah global. Hampir semua negara saat ini punya ketergantungan terhadap AS, entah di sektor ekonomi, politik, atau mana pun. 

Namun, kredo 'di atas langit ada langit' rupanya berlaku di sini. Di atas negara adidaya, ada negara yang lebih digdaya. Negara itu bukan Tiongkok, bukan pula Rusia, melainkan Israel, sekutu kesayangan negeri yang dijuluki 'Paman Sam'. Israel yang dari segi mana pun kekuatannya tak seberapa ketimbang AS selalu bisa membuat negara adikuasa itu tertunduk takluk. 

AS yang sekuasa itu di percaturan dunia, konon seperti singa yang menguasai rimba raya, seketika bisa menjadi kucing di hadapan Israel. Sang raja yang galak dan arogan terhadap kekuatan lain yang berpotensi menyaingi kuasa mereka tiba-tiba menjadi penurut jika negara Zionis itu sudah merajuk.

Dalam isu atau peristiwa apa pun, AS selalu tampil paling depan sebagai pembela Israel. Bahkan, ketika yang ditunjukkan Israel ialah kebiadaban dan kejahatan kemanusiaan, mereka selalu punya dalih untuk membela, bahkan memberi dukungan. Apa yang mereka tunjukkan selama tujuh bulan lebih membela kebrutalan tentara Zionis di Gaza, Palestina, ialah contoh betapa menurutnya AS kepada kehendak Israel.

Sejak mula serbuan Israel ke Gaza, Oktober 2023, tak sekalipun AS berpaling dari sikap mereka mendukung Israel. Berkali-kali mereka memamerkan dukungan itu secara vulgar.Dii awal-awal konflik, AS melalui Menteri Luar Negeri Antony Blinken bahkan tak ragu membela tindakan militer Israel di Gaza. Blink mengatakan serangan Israel tersebut bukan pembalasan, melainkan langkah defensif.

Ketika Israel kian brutal, AS bergeming. Yang dibela makin biadab, yang membela bebal. Klop sudah. Pada Desember 2023, AS kembali berulah dengan malah memveto resolusi Dewan Keamanan PBB. Padahal resolusi itu meminta penerapan gencatan senjata untuk menyelesaikan konflik antara Israel dan kelompok militan Hamas. 

Anehnya, semakin ke sini, semakin menurut pula AS kepada Israel. Pada April lalu, gelombang protes mahasiswa dari kampus-kampus terkenal di AS yang mengecam genosida Israel di Gaza kian membesar. Maraknya aksi itu membuat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu murka sembari menuduh massa anti-semit telah mengambil alih kampus-kampus terkemuka tersebut. 

Lalu, apa yang dilakukan pemerintah Joe Biden? Mereka langsung bertindak keras. Polisi kemudian menangkap lebih dari 2.000 mahasiswa dengan alasan mereka telah melakukan aksi protes dengan kekerasan. AS yang dikenal sebagai benchmark negara penganut demokrasi, demi urusan Israel, rupanya bisa pula bertindak layaknya negara otoriter. 

Respons keras AS demi membela sekutu utamanya itu juga terlihat saat jaksa Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) mengajukan surat perintah penangkapan PM Netanyahu dan pemimpin Hamas di Gaza, Yahya Sinwar. Keduanya dinilai ICC bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kemanusiaan yang dilakukan sejak Oktober 2023.

Alih-alih menghormati lembaga itu, Ketua DPR AS Mike Johnson malah menyebut anggota parlemen sedang menjajaki sejumlah opsi sanksi untuk menghukum ICC jika mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi para pejabat Israel. Entahlah, ungkapan apa lagi yang pas kita berikan kepada para pejabat AS dengan perilaku mereka yang sungguh ajaib itu.

Namun, semua itu belum seberapa jika dibandingkan dengan pembelaan yang dilontarkan AS menanggapi serangan mematikan Israel ke Rafah, Minggu (26/5). Serangan itu menewaskan 45 warga Palestina yang ada di kamp tenda pengungsi, sebagian besar ialah anak-anak dan perempuan. Dua hari setelahnya, Selasa (28/5), Israel kembali menyerang kamp tenda di daerah sebelah barat Rafah yang menewaskan sedikitnya 21 orang.

Gedung Putih memang menyebut tengah memantau penyelidikan atas serangan udara itu. Namun, anehnya juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby masih bisa mengatakan operasi militer Israel di Rafah belum melewati batas. Sebegitu cintanya pemerintah AS kepada Israel, kebiadaban yang melampaui nalar pun tetap mereka bela.

Akan tetapi, dunia tak cuma milik AS dan Israel. Boleh saja mereka menyangkal dan membela diri, tapi kecaman dan solidaritas masyarakat dunia yang mengutuk serangan brutal nan biadab kepada warga sipil Rafah itu kini tak lagi bisa dibendung. 

Jutaan orang menggaungkan ungkapan 'All eyes on Rafah' di media sosial sebagai ekspresi dan bentuk seruan untuk warga dunia agar memusatkan perhatian mereka terhadap apa yang terjadi di Rafah. Kini, semua mata tertuju ke Rafah. Tak hanya bola mata, tapi juga mata hati.

Semua yang menghargai kemanusiaan pasti akan mengutuk kebiadaban invasi Israel di Rafah. Sebaliknya, yang menyangkal dan malah membenarkan serangan itu, barangkali memang sudah tak punya lagi rasa kemanusiaan di hati mereka.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat