visitaaponce.com

RUU Lembaga Kepresidenan Dianaktirikan

SETIAP memasuki bulan Mei, sebagai anak bangsa kita kembali merenungi sejauh apa amanat reformasi dijalankan. Era reformasi yang dimulai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, salah satunya mengamanatkan pembatasan kekuasaan presiden.

Jangan sampai lupa, selain korupsi, kekuasaan presiden yang nyaris tak terbatas di masa Orde Baru juga menjadi pemicu utama rakyat turun ke jalan di masa itu. Rakyat melihat rezim Orde Baru telah memerintah secara absolut.

Tatanan bernegara pun diubah mulai saat itu dengan mengubah UUD 1945, bahkan sampai empat kali diamendemen. Salah satu poin yang diatur dari amendemen berulang kali itu ialah pembatasan kekuasaan presiden.

Namun sayangnya, hingga kini belum ada undang-undang yang mengatur tentang lembaga kepresidenan. Padahal, draf RUU tentang Lembaga Kepresidenan sudah masuk ke Badan Legislasi DPR sejak 28 Juni 2001. Isinya mengatur tugas pokok dan fungsi presiden. Namun, hingga era reformasi yang pada Mei ini akan menginjak usia ke-26, RUU itu tak kunjung dibahas. Dari seluruh lembaga negara yang diatur oleh UUD 1945, tinggal lembaga kepresidenan yang dianaktirikan karena belum punya undang-undang pelaksananya.

Karena itu, apa pun langkah presiden, baik sebagai kepala pemerintahan maupun kepala negara, dapat dibenarkan karena belum ada payung hukumnya. Bak kerajaan, bentuk pemerintahan republik nyaris dijalankan secara absolut tanpa adanya undang-undang itu.

Wacana perlunya keberadaan UU lembaga kepresidenan kembali bergulir setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 22 April 2024 menolak sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024. Dalam putusan itu, salah satu hakim MK, Arief Hidayat, menyampaikan pendapat berbeda dengan menyatakan saatnya negara ini punya undang-undang yang mengatur tugas pokok dan fungsi presiden.

Ia menyoroti pemerintahan Presiden Joko Widodo yang mendukung pasangan calon tertentu pada Pilpres 2024, yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Menurut Arief, semestinya, seluruh cabang kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tak boleh cawe-cawe dan memihak dalam proses Pemilu 2024. Seluruh cabang kekuasaan itu dibatasi oleh konstitusi. Namun, karena ketiadaan UU lembaga kepresidenan, langkah Presiden Jokowi mengguyur bansos ke seantero negeri di masa kampanye Pilpres 2024 tak dapat disalahkan secara konstitusi. Tinggal moral masyarakat saja yang menilai, apakah langkah Presiden itu tepat dilakukan di saat anaknya jadi peserta pilpres.

Sungguh berbahaya jika negeri ini tak kunjung punya undang-undang yang mengatur rambu-rambu kewenangan presiden. Padahal, banyak pasal dalam UUD 1945 yang memerintahkan pembentukan undang-undang yang mengatur hak, kewenangan, dan tugas-tugas presiden. Bahkan, sebelum diamendemen, ada 13 dari 37 pasal di UUD 1945 yang mengatur jabatan kepresidenan. Begitu pentingnya jabatan seorang presiden sehingga pengisian jabatan itu banyak diatur oleh UUD 1945.

Jelas di sini bahwa UU lembaga kepresidenan sudah mendesak diadakan. Sebagai kepala pemerintahan, dalam negara republik, presiden juga adalah seorang kepala negara, seperti halnya raja atau ratu di sebuah negara monarki.

Tak dapat dibayangkan jika fungsi presiden sebagai kepala pemerintahan dan juga kepala negara dicampur aduk. Tanpa adanya undang-undang itu, presiden akan menjalankan dua fungsinya tersebut sesuai seleranya, dan tentu saja selera koalisinya.

Kehadiran UU lembaga kepresidenan tak bisa lagi ditunda-tunda. Cukup di era Orde Baru bangsa ini merasakan pahitnya dipimpin oleh presiden yang nyaris absolut.

Cukup jatuhnya Pak Harto pada 1998 menjadi pelajaran yang mahal bagi bangsa ini untuk melangkah.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat