visitaaponce.com

Operasi Senyap Revisi UU MK

SEBUAH keputusan penting diambil Komisi III DPR dan pemerintah pada Senin (13/5) lalu. Dua cabang kekuasaan negara itu sepakat untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Tak tanggung-tanggung, keduanya sepakat untuk membawa revisi UU itu ke tingkat rapat paripurna begitu masa sidang DPR dimulai keesokan harinya.

Jangankan publik, anggota DPR pun banyak yang tak tahu adanya kesepakatan itu karena pertemuan tersebut digelar di masa reses DPR. Bukannya berada di daerah pemilihan masing-masing untuk menyerap aspirasi konstituen mereka, para anggota Komisi III DPR itu lebih memilih duduk satu meja dengan wakil pemerintah, yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.

Tentu, bagi Komisi III DPR dan pemerintah, pertemuan itu sangat penting, bahkan teramat penting, sampai dilakukan diam-diam, meski masyarakat terus bertanya ada kegentingan apa sehingga UU MK mesti diubah.

Pada Desember 2023, DPR dan pemerintah sudah menunda pengesahan revisi UU itu karena menuai penolakan sejumlah pihak. Penolakan itu salah satunya bahkan datang dari Menko Polhukam yang kala itu dijabat Mahfud MD.

Dari draf final yang siap disahkan oleh Rapat Paripurna DPR, UU MK yang baru dinilai bakal mengamputasi independensi MK sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman.

Sedikitnya ada empat poin krusial dalam draf revisi UU MK yang memantik kontroversi di masyarakat, yaitu persyaratan batas usia hakim konstitusi, mekanisme pemberhentian hakim, evaluasi hakim konstitusi, dan unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK (MKMK).

Dalam pasal 23A, draf itu menghapus ketentuan pemberhentian hakim karena habisnya masa jabatan. Sebagai gantinya, hakim MK bisa menjabat selama 10 tahun dan dievaluasi tiap lima tahun. Nantinya, tiap lima tahun, hakim MK wajib dikembalikan ke lembaga pengusul, yakni presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Jika lembaga pengusul menilai kinerja hakim MK yang diusulkan tak sesuai dengan kepentingan mereka, hakim itu bakal tamat masa jabatannya dan digantikan dengan hakim baru.

Kekuasaan kehakiman MK makin dirongrong oleh komposisi keanggotaan Majelis Kehormatan MK versi draf revisi UU MK. Sebelumnya, Majelis Kehormatan MK diisi oleh 1 orang hakim MK, 1 anggota praktisi hukum, 2 anggota yang salah satu atau keduanya merupakan pakar hukum, dan 1 orang tokoh masyarakat.

Di draf revisi, Majelis Kehormatan MK masih tetap lima orang, tetapi komposisinya berubah menjadi 1 hakim MK, 1 anggota usulan MK, 1 anggota usulan MA, 1 anggota usulan DPR, dan 1 anggota usulan presiden.

Dari draf itu, publik dapat melihat dengan hati dan pikiran yang jernih, DPR dan pemerintah seperti hendak mengobok-obok kekuasaan kehakiman. Para hakim ditakut-takuti periuk nasi mereka bakal terancam jika putusan hukumnya tak sesuai dengan yang diinginkan oleh lembaga pengusul.

Agar tak mendapat sorotan dari publik, pembahasan revisi UU itu selama ini dilakukan DPR dan pemerintah secara diam-diam, tahu-tahu sudah siap disahkan di Rapat Paripurna DPR. DPR dan pemerintah bahkan nekat mengangkangi UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur alur pembahasan sebuah rancangan UU.

Dalam UU No 12/2011, tiap draf UU tak bisa dibahas berdua saja oleh DPR dan pemerintah, bak orang-orang yang sedang memadu kasih. Dunia bukan hanya milik mereka berdua, tapi juga orang banyak, sehingga pembahasannya juga mesti mendengarkan aspirasi masyarakat.

Sungguh berbahaya jika para wakil rakyat tak mau mendengar aspirasi rakyat. Dalam konteks revisi UU MK, MK ke depan berpotensi diisi oleh hakim ABS alias 'asal bapak senang'.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat