visitaaponce.com

Jangan Tambah Penderitaan Rakyat

KEBIJAKAN pemerintah untuk menarik iuran wajib kepada semua pekerja lewat program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai gelombang kritik publik. Beleid baru itu dinilai memberatkan rakyat, apalagi di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang kini lesu dan diperkirakan belum membaik hingga 2027, saat aturan itu diterapkan.

Kebijakan ini seakan menempatkan rakyat dalam kepungan biaya hidup yang makin mahal. Harga kebutuhan pokok yang kian tinggi, biaya pendidikan mahal, pemotongan gaji pekerja sebesar 3% untuk Tapera, dan ditambah wacana penaikan PPN menjadi 12% di 2025 dapat membuat kehidupan rakyat kian terimpit.

Iuran wajib Tapera tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Aturan terbaru itu diberlakukan setelah ditandatangani Presiden Jokowi pada 20 Mei 2024.

Besaran total iuran yang wajib disetorkan ialah sebesar 3%, dengan porsi 2,5% dari pekerja dan 0,5% dari pemberi kerja. Pada PP Tapera yang diteken Jokowi, gaji pekerja bakal dipotong 3% untuk simpanan Tapera mulai Mei 2027.

Aturan Tapera terbaru merevisi bahwa peserta iuran wajib Tapera kini bukan hanya PNS atau ASN dan TNI-Polri, serta BUMN, melainkan juga karyawan swasta dan pekerja lain yang menerima gaji atau upah. Aturan ini jelas tidak hanya akan membebani para pekerja, tapi juga dunia usaha. Karena itu, program wajib tersebut belum tepat diberlakukan. Apabila dipaksakan, dunia usaha dirugikan, lebih-lebih para buruh akan kian berat untuk mendapatkan napas yang longgar. Pembebanan iuran akan membuat kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan riil hilang sebagian.

Selain itu, masyarakat tidak tahu manfaat apa yang akan didapat dalam jangka pendek bila penghasilan dipotong sebesar 3% untuk iuran Tapera. Berbeda dengan iuran BPJS Kesehatan yang manfaatnya riil didapatkan jika peserta sakit. Iuran Tapera hampir sama dengan iuran BPJS Ketenagakerjaan atau Jamsostek yang benefit-nya didapatkan pekerja setelah pensiun atau berhenti. Namun, kontribusi pemberi kerja dalam BPJS Ketenegakerjaan lebih besar ketimbang iuran Tapera.

Tapera malah mirip tabungan sosial. Pemerintah melalui Badan Pengelola Tapera menghimpun dana dari seluruh pekerja di Indonesia untuk dipakai sebagai pembiayaan bagi pekerja berkategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) agar mendapatkan fasilitas kredit perumahan terjangkau, tanpa uang muka, dan dengan bunga 5%.

Jadi, bagi pekerja yang tidak masuk kategori MBR, atau penghasilannya di atas Rp7 juta bagi yang belum menikah dan Rp8 juta bagi yang sudah menikah, tidak berhak mendapatkan fasilitas dari Tapera.

Kelas pekerja non-MBR alias kelas menengah inilah yang kerap dilupakan pemerintah. Di satu sisi tidak dapat membeli hunian subsidi, tetapi di sisi lain penghasilan mereka juga masih pas-pasan untuk membeli hunian nonsubsidi. Dengan kondisi itu mereka akan makin terbebani jika harus mencicil rumah sendiri, tapi juga masih harus menyisihkan uang untuk Tapera.

Rakyat saat ini lebih butuh kebijakan yang mampu menaikkan daya beli mereka daripada memaksakan iuran Tapera. Pemerintah sebaiknya fokus pada peningkatan pendapatan masyarakat sehingga daya beli membaik, bahkan makin kuat, bukan justru membebankan iuran tambahan untuk pembelian rumah pertama yang belum tentu juga jadi priroritas mereka.

Untuk itulah, rasa peka Presiden Joko Widodo diuji dalam kebijakan ini. Meskipun merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera, iuran wajib Tapera bisa dengan mudah dibatalkan asal ada kehendak politik.

Bagi pemimpin, kondisi daya beli rakyat yang lesu rasanya cukup menjadi landasan kuat untuk menganulir putusan itu. Apabila Jokowi bergeming, harapan berikutnya ada di tangan presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menganulir kebijakan tersebut sebelum berlaku pada 2027. Rakyat amat butuh kepekaan pemimpin.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat