Putusan MA untuk Siapa
TRAUMA publik terhadap adanya upaya politisasi yudisial melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai persyaratan batas usia calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024 lalu, kini kembali terpantik.
Pemantik trauma itu ialah putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan uji materi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9/2020 perihal ketentuan syarat usia minimal calon kepala daerah yang dimohonkan oleh Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dkk.
Putusan itu mengubah tafsir bunyi Pasal 4 ayat (1) PKPU No 9/2020, yang semula membatasi usia syarat calon gubernur-wakil gubernur 30 tahun dan 25 tahun bagi calon bupati-wakil bupati/wali kota-wakil wali kota sejak ditetapkan sebagai pasangan calon, diubah menjadi sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Kedua produk yudisial tersebut punya spirit dan pola yang boleh dikatakan persis sama. Pun, sama kontroversialnya. Bahkan, ada yang menyebut putusan MA terbaru itu merupakan replikasi dari pengujian serupa lewat putusan MK saat Pilpres 2024. Kalau putusan MK mengakomodasi sang kakak, putusan MA memfasilitasi si adik.
Putusan MK, ketika itu, menjadi golden ticket bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden, kini putusan MA juga diduga punya agenda yang senapas, yakni memberi karpet merah bagi Kaesang Pangarep. Putra bungsu Presiden Joko Widodo itu belakangan kian kencang digadang-gadang masuk bursa calon Gubernur/Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Amat disayangkan hukum kembali dijadikan akal-akalan. Celah aturan dimain-mainkan demi memenuhi kepentingan sekelompok pihak. Luka dari kontestasi Pemilu 2024 lalu saja, yang salah satunya disebabkan oleh putusan MK No 90, bagi sebagian orang belum sembuh benar. Alih-alih mengobati luka lama demi menyongsong Pilkada 2024 yang lebih fair dan demokratis, para punggawa hukum di MA malah menorehkan luka baru.
Lebih disayangkan lagi, untuk tujuan kekuasaan jangka pendek itu semangat dan prinsip demokrasi dicampakkan. Putusan MA itu seolah mengonfirmasi bahwa kemunduran demokrasi di Indonesia semakin nyata terjadi.
Bahkan jika mencermati dinamika politik elektoral sepanjang satu-dua tahun terakhir, kemunduran demokrasi itu tak cuma selangkah, tapi berlangkah-langkah. Perlu kerja keras luar biasa untuk mengejar ke level demokrasi yang berkualitas. Syaratnya satu, jangan ada lagi akal-akalan politisasi hukum yang justru akan membuat demokrasi kian mati.
Kini, terkait dengan putusan MA, kuncinya ada di KPU, apakah akan langsung menindaklanjutinya dengan mencabut pasal di PKPU terkait dengan batas usia calon kepala daerah atau tidak.
Demi kemaslahatan publik dan demokrasi, pemberlakuan ketentuan itu hendaknya dilakukan pada pilkada berikut, bukan Pilkada 2024. Itu tidak hanya akan menghindarkan pengadilan dari tuduhan cawe-cawe politik, tapi juga demi penerapan aturan yang adil pada proses pencalonan.
Terkini Lainnya
Pertaruhan Pemberantasan Korupsi
Setop Legislasi Transaksional
Harta, Takhta, Pilkada
Kejaksaan di Puncak Kepercayaan
Habis Tapera Terbitlah Asuransi
Utak-atik Anggaran Makanan Bergizi
Wakil Menteri Muluskan Transisi
Setop Pilih Pemimpin Korup
Indonesia Darurat Rasuah
Rontoknya Antusiasme terhadap KPK
Waspadai Efek Kasus Trump
Simpang Siur Pembatasan BBM Subsidi
Mempertanyakan Urgensi DPA
Buktikan KPU bukan Benalu
Hasil Wajar Audit bukan Prestasi
Lanjutkan Sirekap Buang Ketertutupan
Pezeshkian dan Babak Baru Politik Iran
Hamzah Haz Politisi Santun yang Teguh Pendirian
Wantimpres jadi DPA: Sesat Pikir Sistem Ketatanegaraan
Memahami Perlinsos, Bansos, dan Jamsos
Menyempitnya Ruang Fiskal APBN Periode Transisi Pemerintahan
Program Dokter Asing: Kebutuhan atau Kebingungan?
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap