visitaaponce.com

Aturan BI Beli SBN di Pasar Perdana, Tidak Timbulkan Moral Hazard

Aturan BI Beli SBN di Pasar Perdana, Tidak Timbulkan Moral Hazard
Rapat kerja Kemenkeu dan DPR membahas RUU PPSK, Kamis (8/12)(Antara)

MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, ketentuan serupa burden sharing di dalam Rancangan Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) tak akan menimbulkan moral hazard. Dia memastikan ketentuan itu akan ketat dan pruden untuk menjaga tata kelola yang baik.

"Definisi krisis nanti harus dideklarasikan. Jadi ini tidak akan menimbulkan moral hazard, setiap kali pemerintah nanti ada defisit nanti minta burden sharing, tidak seperti itu," tuturnya saat ditemui usai rapat kerja di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (8/12).

"Jadi ini tidak dalam rangka menciptakan kemungkinan moral hazard, tetapi kalau sampai terjadi krisis kita tidak harus mengeluarkan Perppu. Mekanisme ini bisa kemudian terbangun, tapi juga tetap hati-hati dan prudent. Sehingga tidak menimbulkan abuse, penyalahgunaan atau moral hazard dan lainnya," tambah dia.

Sri Mulyani menerangkan, pendefinisian mengenai krisis atau membahayakan bagi perekonomian nasional nantinya akan diperuncing di dalam aturan turunan dari RUU PPSK. Itu bertujuan agar tak ada multitafsir yang kemudian dapat menimbulkan moral hazard dari ketentuan tersebut.

"Itu yang nanti akan kita atur dalam peraturan bawahan, sehingga dia bisa memberikan kepastian bagaimana dan apa yang bisa men-triggered situasi yang disebut krisis, di mana kemudian financing dari sisi primary issuance, primary market akan bisa dilakukan," jelasnya.

Berdasarkan draf RUU yang diterima, didapati bahwa pada bagian stabilitas sektor keuangan pasal 36A ayat (1) huruf a, Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk membeli SBN berjangka panjang di pasar perdana untuk permasalahan stabilitas sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional.

Sementara itu, mengenai aset kripto yang nantinya akan berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sri Mulyani menyampaikan, peranan OJK juga telah diperkuat dalam RUU PPSK. Otoritas diberikan fungsi dan peran untuk ikut mengawasi sektor keuangan digital.

Salah satu penguatan yang diberikan kepada OJK ialah menambah jumlah komisioner menjadi 11 orang. Nantinya, otoritas bakal memiliki Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto.

Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, keputusan yang diambil oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjaga independensi Bank Indonesia sudah cukup tepat.

"Keputusan menjaga independensi BI sudah sangat tepat, sehingga kebijakan moneter dapat kredibel dan dipercaya oleh pelaku usaha serta masyarakat," ujarnya kepada Media Indonesia.

Namun Bhima juga memberikan catatan terkait pasal 36A yang ada di dalam RUU tersebut. "Sebaiknya ini dilakukan kajian mendalam, karena burden sharing bisa menyebabkan moral hazard dan melemahnya disiplin fiskal dalam memberikan support APBN dengan pembelian surat utang di pasar perdana," kata dia

Bhima juga memberikan catatan mengenai pengaturan aset kripto yang di dalam RUU PPSK berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut Bhima, aset kripto lebih layak berada di bawah pengawasan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) lantaran aset kripto dipandang sebagai komoditas.

OJK, kata Bhima, lebih cocok bersama dengan BI mengatur dan mengawasi central bank digital currency (CBDC) yang merupakan mata uang kripto resmi di bawah otoritas moneter. "Kalaupun akhirnya aset kripto bitcoin cs di bawah OJK, sebaiknya masa transisi pengaturan tidak menimbulkan ketidakpastian terhadap ekosistem aset kripto," kata Bhima. (E-3)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Heryadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat