visitaaponce.com

Kesadaran Payung Negara Kepulauan dalam Pendidikan

Kesadaran Payung Negara Kepulauan dalam Pendidikan
Ilustrasi MI(MI/Duta)

SERING kali kita lupa bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan. Pemahaman ini membuat kita acapkali 'membelakangi lautan', termasuk dalam urusan pendidikan. Dalam suatu kesempatan, seorang kenalan dari Morotai bercerita mengenai tantangan mereka memperoleh pendidikan layak. Pegiat pendidikan di sana memperjuangkan akses informasi, transportasi, dan ketersediaan guru.

Mereka sering mengadvokasi isu-isu tersebut, tetapi menghadapi masalah berlapis. Misalnya soal guru, banyak guru yang ditugaskan tidak sesuai prosedur. Mereka ditugaskan di sekolah tertentu, tetapi ditempatkan mengajar di sekolah lain karena persoalan jarak sehingga malas kembali ke sekolah yang sudah ditentukan sesuai prosedur. Padahal, guru sangat dibutuhkan di berbagai sekolah di wilayah Pulau Morotai.

Kisah lain dapat ditemui di Kepulauan Seribu yang tak jauh dari Ibu Kota. Tidak jarang mereka harus menempuh jarak sekitar satu jam untuk bersekolah dengan menerjang gelombang yang seringkali meninggi. Ketika gelombang tinggi, mereka lebih memilih mengurungkan niat untuk bersekolah karena ketidaklayakan fasilitas transportasi. Ternyata kapal-kapal yang beroperasi yang menyeberangi Kepulauan Seribu pada umumnya sudah keropos. Alhasil, pelaksanaan pendidikan tidak berjalan maksimal.

Wawasan kebangsaan yang komprehensif perlu diketengahkan untuk memecahkan permasalahan ini. Dalam pendekatan ini, sebelum menuju hal-hal teknis, penguatan pemahaman sejarah Nusantara sebagai bangsa maritim sangat diperlukan bagi para pemangku kepentingan agar menghasilkan kebijakan yang tepat.

 

Masalah berlapis

Historisitas Indonesia menunjukkan bangsa Nusantara memiliki modal kebebasan budaya, termasuk dalam memandang lautan. Trajektori orang-orang Nusantara menghasilkan pemahaman mengenai 'berlayar' bukan hanya mengarungi lautan, tetapi juga sebagai upaya mengarungi kehidupan. Ungkapan Warren, a sea of histories-a history of the seas, merangkum substansi paradigma bahwa lautan ialah bagian dari sejarah kehidupan. Lautan ialah kehidupan yang tidak kalah penting jika dibandingkan dengan daratan.

Modal kebebasan budaya itu sayangnya acapkali masih menghadapi kendala struktural yang kuat. Dalam isu pendidikan, masalah struktural ini juga sering ditemui peserta didik. Di wilayah kepulauan, banyak peserta didik yang menghadapi masalah berlapis, dari ketersediaan buku, masalah fasilitas penunjang, akses internet, hingga taruhan keselamatan hidup.

Di Raja Ampat, sebagian peserta didik harus merantau sejak dini untuk melanjutkan pendidikan, seperti anak-anak di Pulau Soop yang harus menyewa pondokan untuk bersekolah di Samate. Pondokan-pondokan itu pun banyak didirikan atas inisiatif warga jika dibandingkan pemerintah setempat. Di Soop hanya terdapat sarana sederhana sekolah dasar.

Jika ingin melanjutkan pendidikan, SMP terdekat berada di Samate yang minimal berjarak hingga 1,5 jam perjalanan laut. Transportasi di sana pun hanya menggunakan perahu kecil bermesin yang tidak dilengkapi pelampung keselamatan.

Dalam sebuah laporan, masyarakat di Pulau Soop rata-rata ditengarai hidup di garis kemiskinan sehingga tidak memungkinkan untuk memberangkatkan putra-putrinya untuk setiap hari pulang-pergi menumpang perahu. Sebelum pandemi, salah satu alasan mereka menyekolahkan anak-anaknya di Soop karena tidak adanya pungutan biaya seperti di Sorong. Lebih nahas lagi, sebagian pondokan di pulau tersebut tidak dialiri listrik. Air bersih juga mengandalkan air tadah hujan karena keruhnya air sumur.

Bayangkan Indonesia memiliki ribuan pulau yang hampir dipastikan sedikit-banyak memiliki kendala serupa. Bila perspektif kepulauan ini tidak diatasi, kesenjangan pendidikan di Indonesia akan semakin melebar, bukan hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek kebudayaan dan distribusi pengetahuan. Akan sangat sulit membayangkan visi Indonesia 2045 dicapai dengan maksimal.

 

Perspektif payung

Istilah historis masyarakat di Talaud, Sulawesi Utara somahe kei kehage (gelombang ialah tantangan kehidupan) masih relevan dalam dunia pendidikan Indonesia. Kesadaran tentang negara kepulauan sejatinya harus dijadikan kesadaran utama sebagai perspektif payung yang harus menjadi muatan dalam setiap kebijakan pendidikan. Begitulah semestinya jika kita benar-benar memahami Nusantara sebagai archipelago (archi berarti utama, dan pelagos berarti laut) sehingga dimaknai sebagai 'laut (yang) utama'.

Sayangnya, kesadaran ini belum meresap pada kebijakan-kebijakan arus utama pendidikan Indonesia. Setidaknya masalah itu tecermin dari berbagai episode Merdeka Belajar yang diinisiasi Kemendikbud-Ristek. Episode-episode Merdeka Belajar lebih banyak menyentuh formulasi-formulasi pedagogis yang belum dapat diterapkan di semua sekolah di Indonesia yang beragam secara budaya dan geografis.

Pekerjaan rumah para pemangku kepentingan pendidikan Indonesia adalah menjadikan kesadaran tentang negara kepulauan sebagai perspektif payung. Satu contoh perspektif payung yang dapat dijadikan kisah sukses adalah kesadaran tentang gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI) di Australia. Di setiap program pemerintahan Australia— bahkan dunia industri— GEDSI menjadi perspektif payung yang harus menjadi kesadaran utama, baik di tingkat abstraksi maupun teknis. Di tingkat kecil misalnya, mereka harus menyediakan pegangan untuk kalangan difabel di kamar mandi. Perspektif payung ini memungkinkan hal-hal terkecil tidak terabaikan dalam setiap pembangunan.

Sama seperti GEDSI, perspektif payung tentang negara kepulauan dalam setiap kebijakan pendidikan juga akan menyasar hal-hal mendetail yang menunjang pembelajaran. Pemerintah bukan hanya menyediakan sekolah dan guru apa adanya, tetapi juga memperhatikan aspek transportasi, skema penempatan guru yang lebih relevan dengan konteks geografis, akses internet dan listrik, hingga ketersediaan pelampung keselamatan untuk para peserta didik.

Bila kesadaran tentang negara kepulauan masih menjadi isu pinggiran atau hanya menjadi program khusus di samping program lain, akan sangat sulit mendorong distribusi pengetahuan yang merata. Perspektif negara kepulauan harus berada di atas sehingga dapat mendistribusikan nilai kebudayaan itu pada setiap program. Nilai budaya menentukan cara pandang kita terhadap laut dan Indonesia sebagai negara kepulauan. Perspektif negara kepulauan menjadi salah satu masalah fundamental Indonesia yang harus mendapat tempat utama bila ingin bergerak maju.

Sensitivitas mengenai pemahaman ini pada tataran perumusan dan implementasi dapat dicapai dengan kolaborasi banyak pihak. Sejarawan dan budayawan dapat dilibatkan untuk merumuskan dan menjadi watch dog kesadaran payung ini, tokoh-tokoh lokal dapat mengidentifikasi masalah dan strategi yang tepat-guna, dunia industri juga dapat berperan membantu memperkuat fasilitas-fasilitas penunjang. Pemerintah sebagai agen dapat mengetengahkan dan menempatkan mare liberum (laut merdeka) dalam perspektif politik pendidikan sehingga Merdeka Belajar yang sebagian programnya sudah berjalan baik bisa lebih holistik dalam menyelesaikan persoalan pendidikan di Indonesia.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat