visitaaponce.com

Demokrasi, Melek Fungsional dan Melek Politik

Demokrasi, Melek Fungsional dan Melek Politik
(Dok. Pribadi)

"Democracy cannot succeed unless those who express their choice are prepared to choose wisely. The real safeguard of democracy, therefore, is education…to prepare each citizen to choose wisely and to enable him to choose freely are paramount functions of the schools in a democracy." (Franklin D Roosevelt)

DI tengah kebinekaan rakyat Indonesia, melek fungsional dan melek politik memainkan peran penting dalam memperkuat dan mempertahankan demokrasi yang tak bisa dibilang muda lagi. Saat bangsa ini bersiap menghadapi Pemilihan Umum 2024, sama sekali tak bisa diabaikan betapa para calon pemilih harus memilih secara bijak, sebagai informed citizenry.

Melek fungsional memberdayakan mereka untuk mengakses dan memahami informasi ketika melek politik memberdayakan mereka untuk untuk memahami dan berpartisipasi aktif dalam proses politik. "Demokrasi tidak dapat berhasil kecuali mereka yang mengekspresikan pilihannya telah siap untuk memilih dengan bijaksana. Pelindung sejati demokrasi, oleh karena itu, adalah pendidikan... yakni yang memungkinkan siapa pun memilih secara bebas," kata Roosevelt.

Singkat kata, informed citizenry menjadi sokoguru bagi demokrasi yang sehat. Warga melek politik memiliki pengetahuan dan pemahaman yang diperlukan tidak saja untuk memilih secara bijak, tetapi juga bertanggung jawab mengawasi apa dan siapa yang mereka pilih. Mereka harus mampu kritis atas ragam kebijakan, mengevaluasi calon pemimpin, dan terlibat dalam wacana publik secara konstruktif. Dalam konteks kebinekaan Indonesia, yang terdapat ragam kepentingan dan sudut pandang, warga melek politik akan memastikan representasi aspirasi semua segmen masyarakat.

Secara historis, hal itu menjadi amat krusial setelah Indonesia dalam waktu yang panjang berdarah-darah memperjuangkan demokrasi. Setelah dua orde yang tak bisa dikatakan sepenuhnya demokratis— meskipun diberi nama dan diklaim demokratis— kejatuhan rezim Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi 1998 ialah tonggak penting yang harus senantiasa ditegakkan.

Reformasi telah memungkinkan penyelenggaraan pemilihan umum yang relatif bebas dan adil. Terlepas dari berbagai tantangan, transisi menuju demokrasi telah terjadi yang ditandai dengan kebebasan berekspresi, suburnya pertumbuhan partai politik, dan pembentukan lembaga-lembaga demokratis. Dengan begitu, di tengah kompleksitas perbedaan, hikmat-kebijaksanaan dan permusyarwaratan— yang dalam bahasa lain mengambil bentuk dialog, negosiasi, dan kompromi sebagai esensi proses demokrasi—telah menjadi instrumen yang harus diyakini dan dijalankan.

 

Melek fungsional 

Melek fungsional harus dibedakan dari sekadar 'melek huruf dan angka' yang secara formal sering dibatasi dengan keterampilan dasar membaca, menulis, dan berhitung. Melek fungsional tidak hanya berarti mampu melafalkan huruf dan angka, tetapi juga mencakup kemampuan membaca, menulis, dan berhitung terkait dengan informasi yang kompleks, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan, serta mengaplikasikan pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan kata lain, melek fungsional melibatkan keterampilan analitis, kritis, dan berpikir reflektif. Selain itu, dalam era digital, melek fungsional juga mencakup kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, memanfaatkan internet, dan memahami media sosial. Ketika individu memiliki kemampuan membaca, menulis, dan mengakses informasi, mereka dapat menganalisis kritis narasi politik, membedakan fakta dari fiksi, dan membuat keputusan yang terinformasi.

Melek fungsional memungkinkan individu untuk membedakan sumber-sumber yang dapat dipercaya, memverifikasi informasi, dan mencegah penyebaran informasi yang salah dan disinformasi, yang dapat merusak proses demokratis dan harmoni sosial.

Singkat kata, melek fungsional memberdayakan individu untuk terlibat secara aktif dalam masyarakat, berpartisipasi dalam proses politik, dan memperkuat demokrasi. Melek fungsional memberdayakan mereka untuk memahami proposal kebijakan, mengevaluasi calon pemimpin, dan berpartisipasi aktif dalam wacana publik sehingga memperkuat jalinan demokrasi.

 

Buta politik

Buta politik tentu saja berbahaya bagi demokrasi dan pada gilirannya bangsa dan negara ini. Buta politik mengacu pada kurangnya pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran tentang nilai-nilai demokrasi, proses politik, serta lembaga-lembaga demokrasi. Tanpa pemahaman memadai tentang nilai-nilai demokrasi, sebagai contoh, warga dapat dengan mudah terpengaruh oleh demagog, petualang politik yang berjualan isu tanpa niat baik, yang pada gilirannya merusak proses politik dan lembaga-lembaga demokrasi.

Sejarah telah menunjukkan bahwa masyarakat dengan tingkat melek politik yang rendah rentan terhadap kemunduran demokrasi dan berbalik ke arah otoritarianisme. Munculnya gerakan populis dan pengikisan norma demokratis di berbagai belahan dunia menjadi contoh peringatan akan bahaya buta politik.

Contoh nyata yang menggambarkan potensi kemunduran menuju otoritarianisme ketika warga tidak memiliki melek politik dapat dilihat Venezuela dan Turki, yang mengalami kemunduran demokrasi signifikan dengan manipulasi politik, pembatasan kebebasan berbicara, dan kelemahan lembaga-lembaga demokratis.

Pemerintahan Nicolas Maduro di Venezuela menunjukkan bagaimana warga yang buta politik menjadi rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin otoriter. Di Turki, pemimpin Recep Tayyip Erdogan secara bertahap mengonsolidasikan kekuasaannya dengan melemahkan lembaga-lembaga demokratis dan membatasi kebebasan berbicara, yang diperparah oleh rendahnya tingkat melek politik di kalangan warga.

 

Peran masyarakat sipil

Melek fungsional dan melek politik tidak mungkin atau akan sulit berkembang sendiri, misalnya dengan memercayakannya pada usaha individual warga negara. Organisasi masyarakat sipil memainkan peran krusial dalam mempertahankan dan mengembangkan keduanya, misalnya dengan merintis dan mengembangkan ragam pendidikan partisipatoris, pendidikan politik, dukungan atas inisiatif-inisiatif masyarakat, dan pengarusutamaan nilai-nilai demokrasi.

Organisasi masyarakat sipil bertindak sebagai perantara antara negara dan warga, membangun ruang yang dimungkinkan terjadi on-going conversations, percakapan terus-menerus yang memungkinkan wacana politik yang dinamis, kritis, sekaligus kreatif. Percakapan tiada putus itu mewadahi ragam suara dan komunitas marginal— bukan hanya yang mainstream— memastikan bahwa demokrasi bersifat inklusif dan representatif.

Sebagai penutup, ketika kita semakin mendekati Pemilu 2024, soal melek fungsional dan politik ini kiranya menjadi perhatian kita bersama. Semua segmen masyarakat harus aktif berkontribusi pada upaya ini. Institusi pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan media massa sama-sama memiliki peran penting dalam membina informed-citizenry.

Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat terus mengonsolidasikan demokrasi. Warga yang buta politik, yang secara fungsional tak mampu mengevaluasi informasi dengan kritis dan tak sanggup berperan dalam 'percakapan politik' yang kritis-kreatif, hanya akan menjadi kuda tunggangan para petualang politik.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat