visitaaponce.com

Refleksi Satu Dekade UU Perlindungan Petani

Refleksi Satu Dekade UU Perlindungan Petani
(ANTARA)

SAAT ini merupakan momentum satu dekade UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlindungan Petani). Penulis terpanggil menulis topik ini karena ikut serta pada saat UU ini dirumuskan dan disusun. Sejak diberlakukan Agustus 2013, beberapa ketentuan dalam UU ini telah mengalami perubahan sebagai implikasi Putusan MK No 87/PUU/-XI/2013 dan pemberlakuan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang saat ini diatur dengan UU No 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2/2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU.

Berpijak dari pemikiran, bahwa efektivitas suatu UU dipengaruhi oleh adanya tindak lanjut, peraturan terkait, dan peraturan yang lebih rendah (Lubica Hudecova, 2023), Pemerintah telah menuntaskan beberapa peraturan pelaksanaan UU ini yakni dua peraturan pemerintah, masing-masing mengatur jaminan luasan lahan pangan dan pembiayaan usaha tani.

Selain itu, telah diberlakukan tiga peraturan menteri yang melindungi petani dari dampak perubahan iklim, fasilitasi asuransi pertanian, dan peningkatan kapasitas petani. Amanat UU ini juga telah diterjemahkan dalam beberapa program dan kebijakan perlindungan dan pemberdayaan petani. 


Upaya perlindungan

Dalam satu dekade terakhir, beberapa indikator kesejahteraan petani menunjukkan tren yang positif. Secara nasional, nilai tukar petani (NTP) yang merepresentasikan kesejahteraan petani menunjukan tren positif dari tahun ke tahun hingga saat ini. NTP nasional pada Juli 2023 sebesar 110,64. Angka ini menjadi indikator kemampuan atau daya beli petani yang semakin meningkat.

Peningkatan kesejahteraan petani di negara berkembang pada hakikatnya tidak terlepas dari peran pemerintah melalui fasilitasi bantuan maupun subsidi input dan output pertanian (benih, pupuk, harga, dan distribusi) (Prashant, 2023).

Sebagai bagian dari upaya perlindungan terutama terhadap keterbatasan petani dalam kepemilikan lahan, pemerintah telah berupaya melindungi keberadaan lahan pertanian melalui perencanaan dan pengendalian tata ruang, optimasi, rehabilitasi dan ekstensifikasi lahan, serta peningkatan produktivitas dan efi siensi usaha pertanian.

Pemerintah telah berupaya mengoptimalkan pemanfaatan lahan pertanian eksisting dan mengembangkan lahan suboptimal seperti lahan kering, lahan rawa, serta pasang surut. Untuk meningkatkan produktivitas, dilakukan program Indeks Pertanaman 400 (IP 400), yakni peningkatan tanam dan panen padi empat kali setahun.

Perlindungan petani juga telah dilakukan dengan memberikan kemudahan akses pembiayaan. Data BPS 2018 mencatat sebanyak 15,81 juta rumah tangga usaha pertanian atau 41,93% dari total pengguna lahan merupakan petani gurem, yakni yang mempunyai kepemilikan lahan di bawah 0,5 hektare. Untuk meningkatkan skala ekonomi usaha tani terutama petani gurem, pemerintah telah memberikan kemudahan akses pembiayaan dan permodalan melalui kredit usaha rakyat (KUR) pertanian di samping menyalurkan bantuan sarana produksi serta alat dan mesin pertanian.

Realisasi KUR pertanian pada 2022 tercatat mencapai Rp113,43 triliun atau 126,04% dari target sebesar Rp90 triliun. Untuk kredit alat dan mesin pertanian (kredit alsintan), melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No 3/2023, Pemerintah memberikan kemudahan
dengan memberlakukan suku bunga 3% dengan down payment maksimal 10% tanpa agunan tambahan dengan plafon Rp500 juta-Rp2 miliar. Petani memanfaatkan kredit ini untuk diusahakan sebagai taksialsintan yang dijalankan dengan sistem jasa sewa atau kepemilikan.


Aging farmers

Momentum satu dekade UU Perlindungan Petani ini juga menjadi kesempatan yang baik untuk mempercepat regenerasi petani, sekaligus mengatasi fenomena penuaan petani (aging farmers). Jonathan Rigg (2018), mengemukakan fenomena aging farmers telah dipercepat oleh tekanan modernisasi, gelombang urbanisasi dan alih profesi nonpertanian yang masif, serta transisi demografi.

Data terbaru Kementerian Pertanian mencatat, jumlah petani saat ini telah meningkat berkisar 38 juta jiwa dan sebanyak 70% masih didominasi generasi tua dengan usia 45-55 tahun. Sebanyak 30% petani lainnya berusia di bawah 45 tahun yang dapat dikategorikan petani milenial.

Pemerintah terus berupaya mengatasi aging farmers dengan mempercepat regenerasi petani melalui pendidikan vokasi dengan jumlah lulusan yang terus meningkat. Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) pada tahun 2022 telah meluluskan 1.454 lulusan. Mereka tidak saja diarahkan untuk menjadi tenaga kerja pertanian, tetapi menjadi pengusaha pertanian.

Upaya lainnya dilakukan melalui beberapa program penumbuhan wirausahawan muda pertanian. Tercatat pada 2022 jumlah petani milenial telah mencapai 221.721 orang. Dari total jumlah itu, sedikitnya terdapat 38.799 petani milenial yang telah mengakses KUR dengan total nilai lebih dari Rp2,2 triliun. Melalui program Petani Milenial Akses KUR (Tani Akur) angka ini akan terus ditingkatkan.


Korporasi petani

Sejalan dengan amanat UU Perlindungan Petani agar petani mengembangkan badan usaha milik petani, pemerintah telah menjalankan program korporasi petani untuk meningkatkan skala ekonomi, daya saing, dan posisi tawar petani. 

Melalui korporasi petani, petani didorong untuk berkembang secara kolektif melalui badan hukum yang kuat berbentuk koperasi maupun perseroan terbatas dengan dukungan pemerintah, badan usaha milik negara/daerah dan swasta. Dalam penelitian Kozhaya (2020), kolaborasi petani dengan berbagai pihak, termasuk swasta seperti melalui contract farming terbukti mampu meningkatkan pendapatan petani karena petani mendapatkan kemudahan akses input produksi, pendampingan, dan pasar.

Untuk memperkuat ekosistem bisnis dan mengintegrasikan kebijakan lintas sektor, regulasi korporasi petani diperkuat dengan peraturan presiden yang saat ini tengah disusun. Momentum satu dekade UU Perlindungan Petani ini diharapkan menjadi kesempatan yang baik untuk mengakselerasi upaya pemerintah mengorporasikan petani ke dalam model bisnis korporasi yang lebih efisien dan menguntungkan dengan mengonsolidasikan petani secara kolektif.

Semoga memasuki dekade kedua UU Perlindungan Petani berbagai upaya perlindungan dan pemberdayaan petani semakin meningkatkan taraf hidup petani, menjadikan petani sebagai aktor utama perekonomian nasional, serta sektor pertanian semakin diminati dan prestisius. Sebagaimana tulisan Thomas Jefferson kepada John Jay tahun 1789, “Cultivators are the most valuable citizen…, they are tied to their country”, maka sudah saatnya petani menjadi pahlawan negeri paling berharga, bahagia, dan sejahtera.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat