visitaaponce.com

PRT dalam Perbudakan DPR Menghambat Penyelesaian

PRT dalam Perbudakan DPR Menghambat Penyelesaian
(MI/SENO)

“PERBUDAKAN tidak manusiawi. Perbudakan harus dihapuskan di muka bumi (Soekarno di Indonesia Menggugat).”

World Slavery Report 2023 memperkirakan ada 1,8 juta orang Indonesia terjebak sebagai korban dalam perbudakan modern. DPR justru menjadi persoalan bagi penyelesaian masalah karena terus menunda pengesahan RUU PPRT.

Angka 1,8 juta di atas bermakna bahwa di setiap 1.000 penduduk ada 6/7 orang yang menjadi korban perbudakan. Kondisi memprihatinkan itu menempatkan Indonesia di posisi buruk, baik di regional maupun global, yaitu peringkat 10 dari 50 negara di Asia Pasifik dan di peringkat 62 dari 193 negara di dunia.

Baca juga :  Tokoh Agama Dorong Pengesahan RUU PPRT

Bentuk perbudakan modern di Indonesia yang terbanyak berupa kerja paksa (forced labour) yang memakan korban 1,3 juta orang. Profesi yang termasuk kategori itu ialah PRT, PSK, dan kerja-kerja di sektor informal lainnya.

Peringkat kedua ialah kawin paksa yang menimpa sekitar 300.000 yang korbannya terutama perempuan dan anak perempuan. Meskipun batas umur sudah menikah dinaikkan menjadi 19 tahun sejak 2019, praktik kawin anak malah meningkat, terutama setelah pandemi covid-19 menyerang pada 2020-2022.

Eksploitasi anak menempati peringkat ketiga dengan korban sebesar 200.000 anak. Mereka dipaksa bekerja dalam kondisi berbahaya, seperti mengemis di jalanan, jermal, termasuk menjadi PRT.

Baca juga : Masa Depan Palestina

Upaya pemerintah mengatasi perbudakan modern diberi skor rendah, yaitu hanya 50%. Indonesia dipandang belum menyediakan skema yang berkelanjutan untuk mengatasi perbudakan modern di tengah penegakan hukum yang juga lemah.

Upaya pemerintah dan masyarakat perlu diperluas, misalnya, dengan mengidentifikasi korban sehingga dukungan material dan nonmaterial bisa diberikan kepada mereka. Di atas semuanya, segala upaya harus dimuarakan untuk memutus rantai pasokan dalam perbudakan.

DPR juga tidak responsif terhadap perbudakan modern di Tanah Air. Bukan saja DPR gagal melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah, melainkan juga DPR justru menghambat upaya penyelesaian permasalahan karena mengganjal proses legislasi RUU PPRT.

Baca juga : Mengharapkan Keadilan Pemilu di Mahkamah Konstitusi

 

Terkatung-katung di DPR

Terlalu lama DPR menggantung RUU PPRT, 20 tahun! RUU PPRT diajukan Jala PRT pada 2004 ke Fraksi PDIP, PAN, dan PKB. Sepanjang masa itu, 18 tahun RUU ini tertahan di Komisi 9 ketenagakerjaan.

Baca juga : Tokoh Agama Dorong Segera Pengesahan RUU PPRT

Pada 2010 Komisi 9 sempat membentuk panja dan sudah melakukan studi banding ke tiga negara dan konsultasi ke tiga provinsi. Pada 2013 Komisi 9 menyelesaikan draf RUU PPRT ke Baleg dan macet di Baleg.

RUU PPRT yang telah berganti draf sebanyak 65 kali atas permintaan para politikus DPR, akhirnya bergerak maju setelah diambil alih oleh Baleg DPR pada 2020. Wakil Ketua Baleg Willy Aditya dari NasDem memainkan peran penting dengan menjadikan RUU PPRT sebagai inisiatif Baleg.

Pembahasan panja di Baleg tidak berjalan mulus, PDIP yang di masa oposisi mendukung RUU PPRT pada 2020 menentang bersama PG. Pada 1 Juli 2023 RUU PPRT disetujui menjadi RUU inisiatif Baleg dengan didukung 7 fraksi.

Baca juga : 20 Tahun Digantung, DPR RI Didesak Segera Sahkan RUU PPRT

Ketua DPR yang dari PDIP akhirnya menggantung RUU PPRT selama satu tahun dengan tidak pernah mengagendakan usulan Baleg ke paripurna. Pada 18 Januari 2023 Presiden menyatakan komitmen terhadap RUU PPRT yang memang merupakan janji Nawacita (yang disiapkan PDIP).

Pada 21 Maret 2023, Ketua DPR merespons pernyataan Presiden dengan menyelenggarakan rapat paripurna untuk menetapkan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR. Kali ini semua fraksi menyatakan mendukung, termasuk PDIP dan PG.

Pada 25 April 2023 Presiden kemudian mengirimkan surpres berisi pernyataan kesiapan pemerintah dengan menunjuk Menakertrans, Menkumham, Menteri PPPA sebagai wakil pemerintah untuk membahas draf RUU PPRT. Kesiapan itu dilanjutkan dengan pemerintah mengirimkan DIM (daftar isian masalah) untuk dibahas dalam pansus DPR pada 15 Mei 2023.

Baca juga : Organisasi Profesi di Era UU Kesehatan Omnibus Law

Sayangnya, Ketua DPR kembali mengganjal proses legislasi RUU PPRT dengan tidak pernah mengagendakan RUU PPRT untuk diproses lebih lanjut. Jika pengganjalan pertama oleh Ketua DPR berjalan hampir 3 tahun (Juli 2020-Maret 2023), pengganjalan yang kedua sudah berjalan lebih dari 1 tahun (Maret 2023-Maret 2024).

Politik legislasi DPR sangat propemerintah dan diskriminatif terhadap RUU-RUU prorakyat yang justru di prolegnas diusulkan DPR. RUU yang probisnis dan pemerintah usulan presiden direspons DPR secara supercepat, misalkan RUU Ciptaker, Kesehatan, dan ASN diselesaikan DPR dalam hitungan bulan.

Sebaliknya, RUU inisiatif DPR yang prorakyat diproses bertahun-tahun, misalnya, RUU PPRT (20 tahun) dan RUU Masyarakat Adat (14 tahun). UU TPKS baru disahkan setelah 8 tahun digantung DPR, itu pun setelah aktivis perempuan melakukan kampanye besar-besaran dan meminta endorsement presiden.

Baca juga : Menghitung Hari Jelang Pergantian Anggota Legislatif, RUU PPRT Masih Diabaikan

Warisan DPR 2019-2024
Mengukur kinerja DPR yang paling valid ialah dari kinerja pokoknya, yaitu bidang legislasi. Namun, jika UU yang disahkan di DPR sebagian besar hanya menyetujui UU yang diusulkan pemerintah, DPR bisa disebut berfungsi hanya sebagai stempel agenda legislasi pemerintah.

DPR harusnya punya agenda legislasi yang lebih banyak dari pemerintah yang tugasnya ialah pelaksana UU. DPR kemudian bisa menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah dalam melaksanakan UU yang dibuat DPR.

Sebagai pembuat UU, tentu DPR selalu berpegang pada amanat Pancasila, terutama sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Sila kelima ini ialah inti demokrasi, yaitu kesejahteraan yang tidak bisa dinikmati 5 juta PRT karena tiadanya pengakuan profesi dan perlindungan negara.

Baca juga : Climate Change tidak Hanya Soal Lingkungan

Sebagai Ketua DPR yang pertama kali perempuan, harus ada kinerja yang jelas dan terukur kontribusinya bagi perbaikan status perempuan. Dalam Feminisme Pancasila maka perspektif properempuan sepatutnya menjadi politik legasi DPR 2019-2024.

Prinsip prokeadilan dan kesetaraan yang juga amanat Pancasila harus dirasakan juga oleh rakyat perempuan yang masih mengalami ketimpangan gender. Para PRT yang termasuk kaum muta’afin, yaitu korban dari sistem yang buruk karena rentan menjadi korban perbudakan modern, tentu patut diprioritaskan penyelamatan martabatnya dengan UU PPRT.

Prinsip ‘pemberdayaan perempuan’ terutama bagi para perempuan miskin. Para PRT membutuhkan UU yang akan menjamin ketersediaan kondisi kerja yang aman dan keamanan keuangan bagi keluarga mereka.

Baca juga : Kekerasan Terhadap PRT Terus Meningkat, Pengesahan RUU PPRT Diminta jangan Gagal Lagi

Prinsip ‘pro-HAM’. UU PPRT dapat menjawab hak sipil dan politik (sipol) sekaligus hak ekonomi-sosial-budaya (ekosob) dari HAM para PRT. Indonesia akan bisa menunjukkan semua profesi warga negara dijamin HAM mereka termasuk para PRT.

UU PPRT dipastikan juga menguntungkan perekonomian nasional karena meningkatnya produktivitas PRT sebagai dampak perbaikan tempat kerja, upah yang layak. Kebahagiaan dan ketenangan karena ada kepastian, termasuk terhindarkan dari eksploitasi merupakan faktor penting bagi produktivitas PRT.

Perlindungan kepada PRT diharapkan akan memperkuat perekonomian nasional secara keseluruhan akibat dampak multiplier. Jadi, jika UU PPRT disahkan, Ketua DPR perempuan akan memperbaiki peradaban: menghapus perbudakan modern dan penguatan perekonomian nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat