visitaaponce.com

Estafet Perdagangan Rempah Dunia

Estafet Perdagangan Rempah Dunia
Ilustrasi(MI/Ebet)

NEGERI rempah barang kali merupakan julukan yang pas untuk menggambarkan Indonesia. Dan apabila berbicara tentang rempah dan jalur persebarannya, ia dapat menjadi salah satu jalur yang bisa digunakan untuk menyusuri jati diri Indonesia sebagai sebuah bangsa. Konon, adanya kolonialisme di Indonesia juga disebabkan adanya rempah.

Pandangan itu, baru-baru ini diutarakan Pengelola Yayasan Negeri Rempah, Bram Kushardjanto kala membuka sesi bincang Makan Sepinggan: Membaca Indonesia di Balik Rempah dan Makanan Nusantara. Sesi bincang itu sendiri menjadi salah satu agenda dalam perhelatan Pekan Nasional Kebudayaan (PKN) 2019, yang diselenggarakan Kemendikbud RI, di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Dalam kegiatan itu, hadir sebagai pembicara salah satunya antropolog Dave Lumenta. Dave yang pada dasarnya enggan disebut sebagai ahli rempah dan kuliner punya wawasan yang cukup luas terkait globalisasi dan rempah Nusantara. Kala itu, Dave mengawali pembahasannya dengan keterkaitan antara makanan dan rempah di Indonesia dengan ke-'asli'-an.

Menurut Dave, kata ‘asli’ itu sendiri pada dasarnya cukup problematik ketika digunakan untuk membahas Indonesia. Sebab, mulai dari manusianya, apabila dirunut berdasarkan jalur migrasi sebagian besar berasal dari Afrika. Selain itu, agama yang berkembang dan diakui pemerintah saat ini pun, seluruhnya juga berasal dari luar Indonesia.

"Lalu, bagaimana ketika kita bicara tentang 'asli Indonesia’? Barang kali yang dapat kita bahas ialah endemik di dalamnya. Seperti cengkih dan pala, itu merupakan dua rempah terkenal yang tadinya hanya ada di Indonesia Timur, khususnya di daerah Ternate," kata Dave dalam kesempatannya bicara, di area aktivasi kuliner PKN 2019, Kamis (10/10).

Namun, menariknya, selain juga dapat ditemui di India, ragam rempah di Indonesia sejak dahulu ternyata sudah turut memengaruhi perkembangan dunia secara cukup signifikan. Apabila dirunut lebih jauh, paling tidak sejak abad ketiga, menurut Dave, Nusantara telah menjadi bagian dari dinamika perdagangan yang sifatnya mengglobal.

Meskipun konsep globalisasi itu sendiri baru muncul beberapa abad setelahnya, tetapi pada kenyataannya Nusantara sendiri sudah mempraktikannya sejak berbagai belahan dunia terhubung satu sama lain karena adanya komoditas. Kalau dilihat secara saksama melalui peta, lanjut Dave, sirkuit rempah Asia dengan ada Nusantara di dalamnya juga berhubungan dengan Jalur Sutera di Tiongkok.

“Jadi semua daerah di dunia ini saling memengaruhi. Kita tahu kalau kita membahas makanan Nusantara, coba kita hitung berapa banyak makanan yang selama ini kita anggap sebagai asli Nusantara, tapi sebenarnya merupakan bagian dari dunia. Tempe dan tahu, misalnya, kedelai tidak berasal dari Nusantara. Lalu cabai dan kentang, itu juga asalnya dari benua Amerika.

Jadi, tanpa adanya keterhubungan ini, makanan Indonesia hari ini mungkin akan sangat berbeda. Lalu kembali lagi, bagaimana keterhubungan antara Nusantara dan berbagai belahan dunia ini terbentuk?” imbuh Dave.

Dalam pemaparannya, Dave lantas mencontohkan asal-muasalnya sebagai putra Manado. Orang Manado terkenal dengan makanannya yang serbapedas karena dekat dengan Ternate. Manado memiliki hubungan kultural yang sangat erat dengan Ternate, dan semakin erat saat kedatangan Protugis, Spanyol, dan Belanda. Mereka berlomba-lomba untuk mencari rempah di Ternate, hanya saja Ternate tidak cocok menjadi lokasi penempatan logistik kapal-kapal yang berlalu-lalang di Nusantara.

Pusat logistik
Maka dari itu, lanjut Dave, Manado kemudian dipilih sebagai pusat logistik dan dari situ pula berbagai macam kebudayaan berbaur menjadi satu hingga terbentuklah kebudayaan dan keanekaragaman yang ada seperti saat ini. Salah satu contoh, misalnya, Spanyol membawa cabai ke Manado hingga kemudian sebagian besar resep masakan Manado menjadi pedas. Contoh lain, Portugis juga membawa resepnya ke Manado, hingga kemudian dikenal salah satu resep yang terkenal yaitu sup brenebon.

Selain itu, ada juga panada, yang pada dasarnya juga dibawa dari Portugis. “Jadi tanpa ada Ternate, Manado saya kira tidak akan seperti itu. Adanya estafet perdagangan rempah di Nusantara dan dunia memengaruhi kebudayaan, dan ini lah yang saya kira menjadi penting untuk ditelusuri bahwa kita tahu kalau rempah-rempah Nusantara telah beredar di seluruh dunia bahkan jauh sebelum kedatangan Portugis, Spanyol, dan Belanda melalui VOC,” terang Dave.

Dave kemudian menambahkan bahwa sirkulasi rempah Nusantara pada dasarnya tidak hanya mengubah wajah Nusantara itu sendiri, tapi juga mengubah wajah Eropa. Namun demikian, perubahan wajah Eropa juga didukung faktor lain yaitu adanya surplus perdagangan komoditas lain termasuk perdagangan budak. Hal tersebut pada akhirnya turut menjadi faktor pendorong terjadinya Revolusi Industri di Eropa.

Revolusi Industri di Eropa, lanjut Dave, dimungkinkan karena adanya surplus yang begitu besar dan munculnya kelas baru di luar feodalisme lama. Dengan kata lain, fenomena itu dapat dibaca sebagai pembentukan wajah baru dunia non-Eropa berdasarkan Eropa, maupun sebaliknya yaitu pembentukan wajah baru dunia non-Eropa berdasarkan Eropa.

Perubahan di Nusantara
Sementara itu, menurut Dave, perubahan besar wajah di Nusantara sendiri ditandai dengan kedatangan VOC. Kala itu, VOC muncul dengan aturan yang cukup berbeda. Kalau sebelumnya pedagang Tiongkok memainkan peranan penting ketika marak penggunaan uang picis, yang paling tidak dikenal sejak abad sembilan, selanjutnya VOC datang untuk mencari laba dengan menguasai kota-kota pelabuhan agar tidak jatuh ke pedagang non-VOC.

Akibat hal itu pula, menurut Dave, berbagai macam praktik kekerasan mulai muncul ke permukaan. “Meskipun kita tahu pada kesempatan selanjutnya, pada abad ke-18 VOC bangkrut karena salah manajemen. Bersamaan dengan hal itu pula, muncul faktor lain yakni rempah-rempah, salah satuhnya cengkih, juga jatuh ke tangan lain, misalnya, Sultan Oman atau penanaman yang terjadi di Afrika Timur hingga pada kesempatan selanjutnya dunia juga mengalami surplus rempah-rempah dan semakin membuat VOC jatuh,” tutur Dave.

Tapi pada kesempatan itu, tren perdagangan lain juga muncul. Hal tersebut ditandai dengan munculnya komoditas baru, yaitu teh, kopi, dan gula. Menurut Dave, masyarakat Eropa mulai keranjingan dengan komoditas tersebut karena sifatnya yang stimulan. Mereka menambah semangat atau memungkinkan orang untuk bekerja lebih lama dan otomatis digandrungi masyarakat Eropa.

Namun demikian, pada saat yang sama, komoditas itu sendiri memiliki sifat berbeda dari rempah, yakni ia dapat dibudidayakan secara massal. Maka dari itu pula, ketika Belanda menguasai Nusantara kemudian muncullah problem lain yaitu penguasaan lahan untuk budidaya. Perbedaan mendasar antara VOC dan kolonialisme Belanda dapat dilihat dari kultur ekspansinya, yang menurut Dave, VOC ingin memonopoli komoditas, sedangkan kolonialisme Belanda ingin menguasai tanah sekaligus buruh yang menjadi roda produksinya.

Dalam penelusurannya, Dave lantas mengaku melihat bahwa Pulau Jawa adalah wilayah yang mengalami perubahan tatanan sosial secara besar-besaran akibat obsesi kolonialisme Belanda. Mereka menerapkan tanam paksa, sekaligus merestrukturisasi tatanan desa untuk mempermudah rantai distribusi. Jalan-jalan yang saat ini terlihat di berbagai daerah di Pulau Jawa terbentuk atas kultivasi rantai distribusi, yakni tebu sebagai penghasil gula juga termasuk salah satu komoditas penting di dalamnya.

“Jadi kurang lebih seperti itu, bahwa kita dapat memahami rempah dan kuliner Nusantara dalam interkoneksitas global yang pada dasarnya tidak hanya mengubah dunia, namun juga mengubah wajah Nusantara itu sendiri,” tutup Dave, dalam sesi bincangnya. (M-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat