visitaaponce.com

Film Orpa dan Fenomena Pernikahan Anak di Pedalaman Papua

Film Orpa dan Fenomena Pernikahan Anak di Pedalaman Papua
Salah satu adegan di film Orpa karya Theogracia Rumansa.(Dok. Qun Films)

SUTRADARA kelahiran Biak, Papua, Theogracia Rumansara baru saja merampungkan film panjang berjudul Orpa. Dimulai lewat proyek bernama Jendela Papua bersama Qun Films, film ini berkisah tentang perjuangan anak perempuan bernama Orpa yang terbentur antara keinginan melanjutkan pendidikan dan paksaan pernikahan.

 

Media Indonesia berkesempatan berbincang dengan pria yang akrab disapa Theo itu di kantor Qun Films, di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat, (2/9). Berikut petikan wawancaranya:

 

 

Bagaimana proses produksi film Orpa?

Film ini diproduksi pada pertengahan tahun lalu. Untuk syutingnya sendiri 10 hari. Kami lama di pasca-produksinya. Tapi sekarang sudah selesai, dan siap didistribusikan.

 

Untuk kru dan aktor yang terlibat, bisa dibilang kebanyakan adalah OAP (orang asli Papua). Teman-teman dari Qun Films lebih bekerja sebagai supervisornya. Termasuk tiga pemenang Jendela Papua Qun Films itu saya ajak menjadi kolaborator. Ada yang menjadi asisten sutradara dan UPM (unit production manager). Tata rias, desainer produksi, direktur artistik, itu semua OAP.

 

Untuk aktornya pun hampir kebanyakan OAP, hanya ada satu yang non-OAP. Kebanyakan memang non-aktor. Untuk pemeran pendukungnya, saya mencari mereka yang sudah terbiasa di depan kamera. Termasuk ada komika, penyiar radio, dan pemengaruh (influencer). Sementara yang memerankan karakter Orpa (Orsila Murib), memang belum pernah punya pengalaman berakting.

 

Saat program Jendela Papua, memang naskahnya diperuntukkan menjadi produksi film pendek. Jadi saya pun menyesuaikan naskahnya agar tidak terlalu panjang. Tapi, ketika akan dijadikan film panjang, saya coba rombak kembali. Meski memang saya sudah terpikir film Orpa ini idenya untuk panjang, karena ketika itu pun di naskahnya saya melibatkan banyak pemeran figuran, pemeran pendukung. Ya ada sekira 90-an halaman di draf akhir.

 

 

Apa yang ingin Anda tunjukkan dari film Orpa?

Film ini sebenarnya terinspirasi dari kisah nyata ya, bukan diangkat dari kisah nyata. Waktu itu, saya punya teman kos perempuan, yang menikah di usia dini. Saya pikir, teman perempuan itu seumur dengan saya.  “Saya lahir 16 pohon natal yang lalu,” kata Theo menirukan perkataan temannya tersebut.

 

Saya pun kaget ketika itu. Dia waktu SD disuruh nikah dan dia menjadi istri ketiga karena itu dia tidak bisa tinggal serumah dengan suaminya. Dia tinggal di kos. Tapi ya tetap dikasih uang, dikunjungi oleh suaminya beberapa kali.

 

Dan cerita ini, sering terjadi dan dijumpai di pedalaman Papua. Misalnya anak perempuan atau laki-laki yang sudah lumayan dianggap dewasa, langsung dinikahkan. Yang penting bisa baca-tulis, langsung saja menikah.

 

Lazimnya permasalahan itu muncul juga karena ada yang dikejar, motif ekonomi. Ya itu semacam ‘menjual’ anak lah. Seperti yang terjadi oleh teman kos saya itu, dia tiap bulan dikasih uang, orangtuanya juga. Kata teman saya, bagaimana dia bisa melawan itu?

 

 

Apa yang coba Anda terjemahkan ke dalam film?

Secara gagasan, saat menulis, sebenarnya saya berusaha untuk menunjukkan pada dasarnya semua berniat baik. Namun kadang niat baiknya itu yang salah. Semua orang, antagonis-protagonis, punya niat baik dan semua mendambakan hal baik, tetapi ya itu tadi, niat baiknya salah.

 

 

Bagaimana karakter Orpa?

Saya menggambarkan dia sebagai anak yang pintar di sekolah. Dia memiliki sedikit trauma dengan keluarganya, karena ayahnya yang agak keras. Pada awal film, latar waktunya terjadi setahun setelah adik si Orpa meninggal. Dan Orpa mau dinikahkan. Dia tidak mau, karena dia baru lulus SD mau lanjut SMP. Namun, karena ayahnya keras dan mengatakan butuh uang, Orpa harus menikah. Karena tidak mau, Orpa pun kabur dari rumah.

 

 

Ini adalah film panjang yang disutradarai dan melibatkan para talenta OAP, artinya bukan sekadar meminjam latar Papua saja, bagaimana Anda melihat signifikansinya terhadap industri film kita?

Bagi saya ini penting. Memang sudah ada film-film berlatar Papua sebelumnya yang sudah diproduksi oleh Mas Garin (Nugroho) atau Mas Ari (Sihasale). Namun ini film yang disutradarai oleh OAP seperti saya. Dan secara cerita, bagi saya ini penting bagi orang-orang di Papua. Karena ini banyak ditemukan, jadi secara kedekatan mereka bisa menemukan di film ini. Misalnya, cerita ini juga menimpa manajer lokasi film Orpa sendiri. Dia laki-laki. Artinya pemaksaan pernikahan usia anak-anak itu bukan cuma terjadi pada perempuan, tetapi juga bisa terjadi pada laki-laki.

 

Manajer lokasi saya ketika membaca naskah ini, bercerita dia juga memiliki pengalaman serupa. Dia sempat bersembunyi di kediaman misionaris, karena dipaksa menikahi anak kepala adat suku kampung lain.

 

Saya berharap dengan film Orpa ini tayang, mereka khususnya orang di Papua bisa belajar dan mengerti pentingnya pendidikan. Bukan cuma sekadar baca-tulis. Tapi bisa lebih dari itu.

 

Sementara dengan produksi film Orpa, ini setidaknya juga bisa menjadi katalisator bagi industri audio visual di Papua, yang menurut saya sudah berkembang. Meski secara sporadis. Banyak dari para talenta kreatif di Papua sudah mengerti teknis, mungkin yang belum dipahami benar adalah bekerja di industri.

 

 

Saya melihat ada nama Cornelio Sunny, Ismail Basbeth, dan Matta Cinema di kreditnya, sejauh mana keterlibatannya?

Karena Orpa ini adalah film panjang debut dari Qun Films, kami banyak dibantu oleh Mas (Cornelio) Sunny. Kami butuh bantuan dari Matta Cinema untuk memberikan panduan serta sebagai mentor bagaimana memproduksi film dengan baik dan efisien.

 

 

Proyeksi eksibisi film Orpa?

Saat ini sudah dilakukan tiga kali penayangan terbatas. Ke depan, kami ingin mencoba berbagai pendekatan. Mulai dari coba masuk ke festival, sampai tayang di jaringan bioskop. Tapi, kami ingin film Orpa tayang di Papua.

 

Karena di Papua hanya ada dua bioskop, di Papua itu di Jayapura dan di Papua Barat itu adanya di Sorong, maka tidak mungkin cuma mengandalkan dua bioskop tersebut. Rencananya adalah ingin menggelar semacam bioskop keliling dengan konsep misbar (gerimis bubar). Jadi bisa menjangkau lebih banyak penonton di Papua. Mungkin bioskop keliling itu akan berlangsung sekitar sebulan. Setelah itu baru bicara eksibisi secara nasional. (M-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Bintang Krisanti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat