visitaaponce.com

Drag Queens, Perang Budaya Baru di Amerika Serikat

Drag Queens adalah lelaki yang suka berdandan layaknya perempuan. Istilah ini berasal dari kata Drag, singkatan dari “Dressed As Girl”. Kata ini muncul pertama kali dari William Shakespeare karena zaman dulu perempuan tidak diperbolehkan berperan dalam pertunjukkan teater, sehingga lelaki terpaksa berperan sebagai perempuan.

Namun, istilah drag zaman sekarang bukan lagi mengacu pada pria yang menggantikan peran wanita di atas panggung,  tapi  lelaki yang suka berpenampilan seperti wanita. Mereka bukan waria yang cenderung karena orientasi seksual, tapi lebih kepada kesenangan dan kepuasan pribadi.

Di Amerika Serikat, fenomena itu kini mengundang kontroversi karena dianggap mengancam kesopanan publik dan nilai-nilai keluarga. Sebaliknya, mereka yang pro berdalih atas nama kesetaran gender dan demokrasi.

Polemik ini berlangsung terus-menerus,  baik di acara obrolan (talk show) televisi maupun di depan lembaga  legislatif. Beberapa negara bagian bahkan berusaha untuk mengekang acara Drag Queens  yang kadang-kadang diwarnai unjuk rasa yang disertai kekerasan.

Inti perdebatan dipicu acara anak-anak yang dikenal sebagai "Drag Queen Story Hour", yang telah menyebar ke seluruh negeri sejak diluncurkan di San Francisco pada 2015 dengan tujuan mempromosikan gerakan membaca dan keragaman.

Sang pembaca buku cerita atau pendongengnya adalah seniman drag, kebanyakan laki-laki, yang memamerkan estetika feminin dalam kostum dan wig flamboyan, sepatu hak tinggi, dan serta make up yang menor.

Pertunjukan drag biasanya digelar di tempat tertentu terutama klab hiburan malam, namun kini muncul di ruang publik dan di hadapan anak-anak. Pekan lalu,  di Tennessee, anggota parlemen negara bagian mengeluarkan undang-undang yang akan sangat membatasi pertunjukan drag di tempat umum atau di depan anak-anak.

Senator Negara Bagian Jack Johnson, yang mensponsori undang-undang tersebut, mengatakan tujuan utamanya adalah melindungi generasi muda Amerika. "Ada pertunjukan, film, dan tempat tertentu yang tidak pantas untuk anak-anak," katanya dalam sebuah pernyataan.

Jika gubernur menandatangani undang-undang tersebut, itu akan menjadi pembatasan pertama yang disponsori Partai Republik terhadap drag show, dan mungkin bukan yang terakhir.  Di beberapa negara bagian, seperti Texas, Kansas, dan Arizona, para pejabat terpilih di kota itu juga telah mengusulkan undang-undang serupa.

Blaine Conzatti, yang membantu menyusun undang-undang anti-drag-queen di Idaho yang diperkenalkan Senin lalu, mengatakan dia yakin pertunjukan ini pasti bersifat seksual. “Mereka termasuk dalam kategori yang sama dengan klub telanjang dan pornografi," kata Conzatti, presiden pusat Kebijakan Keluarga kelompok Kristen Idaho, kepada AFP.

Conzatti sadar bahwa dia adalah bagian dari gerakan nasional yang sedang berkembang, yang muncul seiring dengan semakin populernya acara drag. "Sepuluh tahun yang lalu, tidak ada orang tua yang membayangkan drag show di depan umum di mana anak-anak hadir," kata Conzatti. "

Demo tandingan

Peserta drag dan aktivis LGBTQ menolak citra ultra-seksual yang melekat pada bentuk seni. Jonathan Hamilt, direktur eksekutif "Drag Queen Story Hour," mengakui bahwa meskipun drag berakar pada kehidupan malam yang aneh, ada banyak tingkatan untuk berbagai usia.

Hamilt, yang  seorang waria dengan nama Ona Louise, adalah orang pertama yang berpartisipasi dalam acara drag queens di New York City.

"Ketika saya dalam keadaan seret, saya merasa lebih terbuka, saya merasa lebih lucu, saya merasa lebih berani," katanya kepada AFP, tentang karya teatrikalnya membacakan dongeng di depan anak-anak. Menurut dia, anak-anak senang dengan penampilannya yang menggunakan wig serta payet.

Di balik RUU yang membatasi, Hamilt juga melihat gerakan anti-LGBTQ yang mendasarinya. Dia khawatir, misalnya, waria yang penampilan fisiknya tidak sesuai dengan jenis kelamin di dokumen identitasnyam akan jadi sasaran kekerasan.

Kekhawatiran itu tidaklah berlebihan. Protes terhadap acara drag terkadang berubah menjadi kekerasan. Tahun lalu, ada 141 insiden protes anti-LGBTQ dan ancaman yang menargetkan acara drag, menurut organisasi GLAAD.

Kelompok Proud Boys, gerakan sayap kanan secara teratur mengganggu acara semacam ini dengan mengirimkan pengunjuk rasa bersenjata untuk mengintimidasi penonton, seperti yang mereka lakukan di Ohio pada Desember lalu.

Pada pertengahan Februari, anggota kelompok yang mengenakan tutup kepala juga meneriakkan cercaan homofobik di pinggiran kota Washington, menurut laporan media. Adegan serupa diulangi di New York, San Francisco, dan Texas.

Sebagai tanggapan, demonstrasi tandingan menjadi semakin meluas. Akhir pekan lalu, di Washington, para demonstran dengan payung pelangi berdiri di pintu masuk perpustakaan untuk melindungi para hadirin yang datang untuk menghadiri sebuah acara drag.(AFP/M-3)

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat