visitaaponce.com

Gaya Hidup Picu Kanker Kolorektal

Gaya Hidup Picu Kanker Kolorektal
(Sumber: Tim MI)

GEJALA sakit perut yang berkelanjutan tidak boleh diabaikan. Bisa jadi itu merupakan gejala Anda menderita kanker kolorektal. Hal itu yang dialami Albert Charles Sompie, 60. Awalnya ia hanya merasa sakit perut akibat terlalu sering mengonsumsi makanan pedas. Namun, ternyata sakit perut yang diderita Pak Berti, demikian panggilan akrabnya, terus berlanjut. Kemudian ia memeriksakan lebih lanjut dan diagnosis menderita kanker kolorektal.

Kurangnya olahraga dan sering mengonsumsi daging merah merupakan faktor risiko kanker kolorektal atau kanker usus besar. “Sehat itu murah kalau kita kelola dengan baik, berbeda dengan saya yang pernah mengidap kanker sehingga sehat terasa mahal.” jelasnya pada diskusi Kenali kanker kolorektal lebih dekat di Kantor Yayasan Kanker Indonesia di Jakarta, kemarin.

Penderita kanker kolorektal lainnya, Umbu Tanggela, 62, mengaku awalnya kesulitan untuk buang air besar (BAB). Ia pikir hal itu bisa disembuhkan dengan obat laxative untuk melancarkan pencernaan. Namun, setelah mengonsumsi laxative, ia justru menemukan darah saat BAB. Setelah konsultasi dengan dokter, Umbu dinyatakan menderita kanker kolorektal pada Desember 2005.

Dua bulan setelah diagnosis, Umbu berhasil melewati operasi pembedahan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo meskipun ia harus dipasang stoma (lubang buatan di perut untuk pembuangan feses) seumur hidup.

Junk food
Kanker kolorektal atau kanker usus besar merupakan penyakit yang terjadi akibat mutasi berulang. Mutasi tersebut dipicu gaya hidup seperti kurang aktivitas fisik, banyak mengonsumsi junk food, dan memakan daging merah yang tidak diolah dengan benar serta makanan lain yang mengandung formalin dan zat berbahaya lainnya.

Gaya hidup masyarakat Indonesia yang tidak sehat cenderung mengonsumsi makanan junk food dan kurangnya olahraga membuat penyakit itu menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, kanker kolorektal merupakan penyebab kematian kedua terbesar untuk pria dan ketiga untuk perempuan.

Kemudian data Globocan 2012 menunjukkan insiden kanker kolorektal di Indonesia ialah 12,8 per 100 ribu penduduk usia dewasa, dengan tingkat kematian 9,5% dari seluruh kanker. Bahkan secara keseluruhan risiko terkena kanker kolorektal ialah 1 dari 20 orang (5%).

Pakar penyakit kanker kolorektal Prof dr Aru W Sudoyo SpPD-KHOM FACP Finasim mengakui prevalensi kanker kolorektal yang meningkat tajam menjadi perhatian khusus bagi YKI. Ia pun mengajak masyarakat agar lebih waspada dan tidak mengabaikan tanda-tanda penyakit itu dengan melakukan deteksi dini karena gejala kanker itu tidak terlihat jelas.

“Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa kanker kolorektal berkaitan dengan keturunan. Padahal, kanker yang tumbuh di usus besar ini juga sangat dipengaruhi gaya hidup,” papar Aru yang juga Ketua Umum YKI.

Berdasarkan data di Indonesia, lanjutnya, hanya 5%-10% kanker kolorektal yang disebabkan genetik. Sisanya berasal dari pola hidup, terutama makanan.

Dokter spesialis penyakit dalam Nadia Ayu Mulansari meminta masyarakat tidak mengabaikan tanda-tanda penyakit itu. Pasalnya sekitar 25% pasien kanker kolorektal terdiagnosis pada stadium lanjut sehingga kanker telah menyebar ke organ lain. Pada kondisi ini, pengobatan menjadi lebih sulit, lebih mahal, dan tingkat keberhasilan juga menurun.

Studi juga menunjukkan hanya 5%-12% dari pasien stadium lanjut yang bertahan hidup lebih dari lima tahun. “Untuk itu, menghindari faktor risiko dengan melakukan perilaku hidup sehat untuk mencegah terjadinya kanker, paling penting adalah pemeriksaan dini dan screening usus. Deteksi dini yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan darah samar dan kolonoskopi.”

Pada bagian lain, YKI berharap angka kematian akibat kanker kolorektal terus berkurang. Hal itu sejalan dengan ketersediaan terapi target dan pemeriksaan status penanda tumor, yang akan membantu pasien kanker kolorektal mendapatkan obat yang tepat (personalized treatment).

Personalized treatment memungkinkan pemakaian obat yang tepat sehingga pasien akan terhindar dari efek samping dan biaya yang tidak perlu.

Di sisi lain, kekurangan kantong stoma menjadi perhatian serius YKI. Pasalnya sebagian besar pasien kanker kolorektal membutuhkan kantong stoma sebagai penunjang agar menjalani hidup normal.

“Kami kesulitan memasukkan sumbangan kantong stoma yang masih dianggap sebagai barang mewah dengan biaya pajak tinggi, yang membuat harga kantong stoma menjadi sangat mahal,” ujar Koordinator Ostomy Association YKI dr Aditya G Parengkuran. (*/O-2)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat