visitaaponce.com

Ini Penjelasan di Balik Gejolak Emosi Remaja

Ini Penjelasan di Balik Gejolak Emosi Remaja
Ilustrasi(Pexels)

PSIKOLOG anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Vera Itabiliana Hadiwidjojo memberi penjelasan mengenai alasan di balik gejolak emosi yang kerap terjadi pada usia remaja.

Menurut Vera, bagian otak prefrontal cortex belum berfungsi secara optimal saat usia remaja sehingga tidak mengherankan apabila perilaku dan keputusan yang mereka lakukan lebih banyak dipengaruhi emosi.

"Bagian inilah (prefrontal cortex) yang membantu kita mengambil keputusan atau melakukan fungsi-fungsi berpikir tingkat tinggi yang eksekutif dan memikirkan efek jangka panjang," kata Vera saat diskusi virtual bersama media, ditulis Kamis (6/1).

Baca juga: Ini Penyebab Anak Frustasi Usai Gagal Ujian

Ia mengatakan fungsi prefrontal cortex baru berkembang secara optimal ketika seseorang menginjak usia 20 hingga 25 tahun.

Vera menyebutkan contoh kasus yang biasanya banyak dialami remaja, yakni bermain gim daring. Alih-alih mengerjakan tugas sekolah atau belajar, mereka lebih gemar menghabiskan waktu bermain gim.

Remaja kesulitan mengontrol atau menahan diri untuk tidak terus-menerus bermain gim karena lebih banyak dipengaruhi emosi.

"Main gim itu asik, itu emosi semua dapatnya. Perasaan senang dan pleasure semua ada di situ. Terus bandingkan dengan belajar, nah itu berat banget," tuturnya.

Menurut Vera, untuk melakukan transisi dari kecanduan bermain gim hingga anak memiliki kesadaran untuk belajar harus dimulai dari perubahan-perubahan dan target-target kecil yang dilakukan secara konsisten dengan didampingi orangtua.

"Jadi yang kita (orangtua) tekankan pada anak adalah, 'Yuk, kamu pasti bisa mengendalikan keinginan kamu untuk main gim.' Sebenarnya dengan mengalahkan (keinginan) itu saja, dia sudah berjuang supaya prefrontal cortex-nya bisa berfungsi lebih optimal," kata Vera.

Vera menyebutkan contoh lain, biasanya remaja juga mengalami kesulitan ketika mempertimbangkan dan memilih jurusan kuliah. 

Ketika sisi emosi yang dikedepankan dalam pengambilan keputusan, maka tidak heran apabila remaja jelang usia 20 tahun kadang kala merasa salah mengambil jurusan.

"Ada anak yang memilih jurusan yang penting masuk negeri, atau kerjanya gampang, atau ada idolanya di situ, jadi emosi yang bermain. Atau keinginan orangtuanya yang masuk ke sana," ujarnya.

Dalam kasus seperti itu, Vera menekankan peran orangtua dan pendidik yang secara tidak langsung 'menjadi penjaga' fungsi prefrontal cortex pada remaja. 

Untuk mengoptimalkan fungsi otak ini, orangtua bisa membantu anak melalui diskusi mengenai konsekuensi jangka pendek dan panjang saat mereka memilih jurusan tertentu.

"Jadi kita yang rem. 'Oke, kita bahas pilihan jurusannya ada apa saja', 'Kenapa kamu mau jurusan ini', 'Ke depannya apa yang bisa kamu tekuni lagi', 'Kamu tertarik tidak untuk ambil ke sana', dan seterusnya. Itu dibahas satu-satu," kata Vera.

Saat menjalankan proses diskusi, Vera menegaskan orangtua juga perlu menjaga kesabaran diri sendiri sebab pengambilan keputusan pada remaja memang membutuhkan waktu yang panjang.

"Banyak orangtua yang mungkin tidak sabar untuk melalui proses ini karena umur kita sudah lebih tua secara angka, jadi sudah lebih tahu apa yang mesti dilakukan. Kalau tidak sabar, orangtua malah jadi short cut, 'Sudah kamu ambil yang ini saja', padahal belum tentu sesuai dengan hati sang anak," pungkasnya. (Ant/OL-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat