visitaaponce.com

"Pak, Caping Gunung, ya," pesan pengunjung Warung Sate Sederhana, Jatinegara, Jakarta, sambil memasukkan uang Rp20 ribu ke stoples di depan Suwito, pemimpin sebuah grup musik keroncong.

Pria yang enggan menyebutkan namanya itu sengaja memesan lagu karya Waldjinah untuk menemaninya menyantap sepiring tongseng. "Lagunya buat tenang, makanya pesan," celetuk dia.

Kurang dari 1 jam sejak pukul 12.00 WIB, uang yang ada di dalam stoples sudah lebih dari Rp50 ribu. Hampir semua pengunjung yang datang ataupun lewat memasukkan uang dengan kisaran Rp5.000-Rp20 ribu.

"Sudah 10 tahun di sini (Warung Sate Sederhana). Ya kalau enggak ada panggilan ngisi acara, seperti pernikahan, kami tetap manggung di sini," ujar Suwito sembari meneguk teh hangat yang disediakan pihak warung, Senin (23/5).

Tiga teman lainnya pun ikut beristirahat sejenak. Maklum, sejak tadi mereka selalu mendapat permintaan dari pengunjung, baik yang bernuansa lagu Jawa maupun paduan lagu pop lawas seperti milik Ebiet G Ade. Permintaan lagu hingga pengunjung ikut bernyanyi dan berjoget membawa kesan manis bagi Suwito dan kawan-kawan.

Seperti Suwito, grup Keroncong Midori dan Keroncong British menggantungkan kehidupan mereka dari penampilan-penampilan di restoran dan acara pernikahan.
Berbeda dengan Keroncong 7 Putri, meski mendapat pemasukan dari penampilan, mereka tak terlalu menggantungkan hidup dari keroncong. Mereka masih memiliki pekerjaan sebagai tenaga pengajar musik.

Ketua Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri) Mayjen TNI Sunindyo melihat efek domino dari kembali mencuatnya musik lawas ini. Meski tidak bisa menyebutkan angka, Sunindyo yakin banyak pengemar yang rela mengeluarkan banyak dana membeli suasana lawas itu. "Ada barang dagangan lainnya, seperti alat musik, pakaian etnik yang mereka kenakan, itu menghidupkan perekonomian dari banyak aspek," kata Sunindyo di sela acara Keroncong Generasi 2016 di Jakarta, Sabtu (28/5). (Wnd/M-5)