visitaaponce.com

PAUD Jadi Penentu Keberhasilan Pendidikan Anak di Masa Depan

PAUD Jadi Penentu Keberhasilan Pendidikan Anak di Masa Depan
Ilustrasi(ANTARA)

KETUA Komisi X DPR RI, Syaiful Huda mengatakan masa pertumbuhan dari usia 1-5 tahun merupakan masa keemasan seorang anak. Sehingga, kata dia pendidikan yang perlu dimaksimalkan justru untuk sektor pendidikan usia dini (PAUD).

“Pada masa golden age ini tidak semua orang tua dari keluarga-keluarga Indonesia, terutama keluarga tidak mampu itu bisa mendorong anaknya untuk ikut pendidikan anak usia dini. Dan itulah menjadi penting menurut saya mendorong untuk 12 tahun pendidikan itu tidak ditarik ke atas, tapi ke bawah. Tentu untuk level SMA tetap harus disiapkan skema nya,” kata Syaiful kepada Media Indonesia, Senin (25/7).

Baca juga: Warga Kota Bekasi Antusias Ikuti Program KUR Pegadaian Syariah

Saat ini, Syaiful mengungkapkan DPR masih menunggu draf dari pemerintah terkait gagasan ini. Meski menuai pro dan kontra, Syaiful meyakini gagasan wajib belajar dari usia PAUD mampu menyiapkan SDM terbaik. 

“Nanti ini akan menjadi kesepakatan dalam UU Sisdiknas yang terkait wajar dikdas yang ditarik ke bawah, saya kira pasti berefek pada komitmen anggaran. Artinya TK, akan menjadi semacam fase baru dan ketika sudah ada norma hukumnya, kalau nanti kita sepakati dengan UU Sisdiknas, saya kira pasti akan berkonsekuensi pada alokasi anggaran.

Ketua Komisi X DPR RI itu juga menyampaikan jika anggaran 20 persen benar-benar difungsikan untuk pendidikan, ia yakin permasalahan pendidikan di Indonesia bisa teratasi, termasuk soal masalah honor guru di berbagai tingkatan pendidikan.

“Jujur harus diakui, dana alokasi anggaran kita yang tiap tahun rata-rata mencapai 581 triliun, itu relatif sepenuhnya bukan untuk fungsi pendidikan. Misalnya alokasi yang diurus langsung oleh Kemendikbud itu hanya 75 triliun. Yang sampai ke Kemenag yang sama-sama punya fungsi pendidikan hanya 50 triliun. Kalau ditambahkan, baru berapa. Padahal rata2 581 triliun,” ungkap Syaiful.

Selebihnya anggaran pendidikan ratusan triliun itu, kata Syaiful dijadikan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK). “Saya membayangkan dari 581 triliun kalau sepenuhnya untuk fungsi pendidikan, pasti bagus sekali. Alokasikan saja semua ke Kemendikbud dan Kemenag, dengan porsi sebagaimana kebutuhan mereka,” tambah Syaiful.

Syaiful mengaku dirinya prihatin dengan persoalan honor guru yang sangat jauh dari sejahtera. Ia mengatakan apabila tenaga pendidik sebagai pihak yang mempersiapkan anak-anak untuk menjadi generasi unggul tidak terurusi dengan baik, tentu hasilnya juga belum tentu bisa baik pula. 

“Dengan kita mendorong supaya dari 9 wajar dikdas menjadi 12 tahun tapi ditarik ke bawah, itu akan berkonsekuensi berarti TK atau pra SD, itu akan menjadi entitas baru akan mendorong perubahan status-status gurunya di situ. Berarti akan menyangkut soal status guru TK dan PAUD yang selama ini honorer bisa ditingkatkan statusnya menjadi PNS,” tutur Syaiful.

Syaiful juga menginginkan wajib belajar itu selama 15 tahun, terhitung dari masa golden age anak hingga SMA. Namun, ia menyadari negara belum mampu memberikan anggaran untuk pendidikan sampai 15 tahun. 

“Idealnya sih memang negara harus mendanai pendidikan itu kalau bisa dari TK sampai SMA. Tapi kita harus mengambil opsi terbaiknya. Saya kira opsi terbaik itu tidak ditarik ke atas, SMA, tapi ke bawah untuk TK. Untuk SMA kita cari opsi lain. Walaupun idealnya memang semestinya harus 15 tahun. Di mana pemerintah memberikan fasilitasi penuh, dan menanggung semua proses pendidikan anak-anak Indonesia,” pungkas dia.

Sementara itu, Ketua PP Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI) Netti Herawati sangat setuju dengan gagasan wajib belajar usia dini. Berdasarkan rekomendasi SDG’s, kata dia ada kesepakatan bahwa di 2030 seluruh anak minimal satu tahun sebelum masih SD, sudah mengikuti pendidikan pra SD. 

“Kalau harapan kami tentu bukan hanya 5-6 tahun, karena masa keemasannya itu justru setelah ASI. Kalau ASI kita percayakan ke orang tua, di 3-6 tahun itulah yang harusnya dikawal oleh negara,” kata Netti.

“Memang ada dua pihak pasti, ada yang menginginkannya SMA. Tapi kami berharap pemerintah justru mempersiapkan pondasinya. Kalau kita anggap yang lain itu (SD, SMP dan SMA) adalah dinding, atapnya, tapi kalau pondasinya nggak kuat, percuma juga atapnya bagus kan? Di sisi lain kalau kita lihat tes PISA itu untuk anak 15 tahun, kita rendah dalam beberapa kali tes,” ungkap dia. 

Sehingga Netti meminta agar anak usia dini lebih diperhatikan pendidikannya. Karena persiapan untuk meningkatkan literasi, numerasi dan berpikir kritis itu dibangun ketika anak masih di usia dini. Selain itu, anak usia dini juga mampu menyerap pengetahuan lebih cepat. 

“Banyak orang yang tidak memahami sebenarnya apa yang terjadi ketika seorang anak mendapatkan simulasi yang tepat terhadap perkembangan kecerdasannya, nilai agama moralnya, bahkan termasuk pengendalian diri yang itu menjadi penting saat ini di negara kita yang cukup tinggi korupsi ini,” jelas Netti. 

“Semoga semakin banyak disuarakan, bahwa wajib belajar di PAUD itu memiliki urgensi yang dampaknya cukup signifikan terhadap anak SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi. Jadi daripada kita menambah 3 tahun ke atas, lebih baik kita kemudian menyiapkan pondasinya yang kuat. Karena fase SMA itu nanti otomatis menjadi kebutuhan,” tandasnya. (OL-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat