visitaaponce.com

Perburuan Liar ancam Ekosistem

Perburuan Liar ancam Ekosistem
(ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)
MARAKNYA perburuan serta penjualan tanaman dan satwa liar yang dilindungi tidak hanya berdampak pada kerugian negara, tetapi juga pada kerusakan ekosistem. Oleh karena itu, tindakan tersebut harus segera dihentikan. Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PHLHK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Rasio Ridho Sani, mengungkapkan kerugian akibat perburuan dan penjualan tanaman serta satwa liar (TSL) mencapai US$6 miliar-US$7 miliar. Selain itu, kerugian lain akibat tindakan tersebut berupa bencana ekologis, seperti punahnya salah satu hewan dalam rantai makanan di alam.

Hal tersebut, kata Ridho, dapat menyebabkan ledakan populasi hewan yang seharusnya menjadi makanan hewan tersebut. "Tentunya itu akan menimbulkan kerugian secara finansial lagi ketika mengganggu manusia," ucapnya dalam media briefing bertajuk Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Jakarta, Kamis (2/7).

Dalam kesempatan tersebut, Kementerian LHK menyatakan ada tiga kasus yang berkaitan dengan perburuan dan penjualan tanaman dan satwa liar yang dilindungi, yakni satwa jenis yaki/monyet hitam khas Sulawesi, penjualan secara daring hewan jenis kuskus di Sulawesi Utara, dan penyelundupan daging trenggiling (Manis javanica) di Surabaya, Jawa Timur. Selain itu, kata dia, ada kasus foto hewan buruan yang dipamerkan di jejaring sosial, seperti bekantan dan harimau.
"Ini menunjukkan bahwa belum ada kesadaran dari masyarakat bahwa hewan tersebut dilindungi dan penting bagi keberlangsungan ekosistem," tegasnya.

Efek jera
Oleh karena itu, menurut Ridho, tindakan yang dianggap paling tepat saat ini ialah melakukan penyuluhan kepada masyarakat. Selain itu, penegakan hukum perlu dilakukan untuk menimbulkan efek jera. Selama ini, diakui Ridho, payung hukum dalam wujud Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 belum menimbulkan efek jera lantaran sanksinya terlalu lemah.

Menurut dia, draf revisi atas UU tersebut sudah masuk ke Prolegnas 2016 dan dia optimistis efeknya akan lebih berat lagi ketika UU tersebut direvisi. "Untuk saat ini, kita hanya bisa berjalan di jalur ini," tambahnya. Dalam kesempatan yang sama, Direktur Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Hutan Istanto menyatakan sidak serta penindakan terhadap penjual TSL yang dilindungi harus dilakukan. Hanya, untuk pasar secara daring, menurutnya, ada pengecualian. "Karena kalau lewat online, kita jadi gampang melacaknya," terangnya.

Terkait dengan hal itu, kata dia, kita harus bekerja sama dengan kementerian terkait, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika, untuk bisa melacak kejahatan digital tersebut. Sementara itu, Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara, Sudiyono, menyatakan sosialisasi satwa yang dilindungi pada mulanya mendapat penolakan dari masyarakat. Menurut dia, di Sulawesi Utara ada kebiasaan warga untuk mengonsumsi segala jenis hewan, termasuk monyet hitam/yaki. "Di sana bukan dijadikan hewan peliharaan, melainkan untuk dikonsumsi sendiri," ujarnya.


Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat