visitaaponce.com

BNPB Optimalkan Operasi TMC dan Penuhi Penampungan Air untuk Antisipasi Bencana Kekeringan

BNPB Optimalkan Operasi TMC dan Penuhi Penampungan Air untuk Antisipasi Bencana Kekeringan
Embung di Desa Taringgul Tonggoh,Kecamatan, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat,(MI/REZA SUNARYA)

KEPALA Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari mengatakan untuk mengantisipasi potensi dampak dari musim kemarau yang sudah mulai dirasakan di sebagian besar wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, pihaknya telah berkoordinasi dengan berbagai Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mencegah krisis air hingga gagal panen akibat kekeringan.

“BNPB secara rutin tiga minggu terakhir ini sudah menerima laporan dari setidaknya tiga kabupaten/kota yang berbeda mengenai dampak dari kekeringan. Pertama dari koordinasi antar pemerintahan, kita sudah melakukan rapat koordinasi yang dipimpin oleh kemenko polhukam terkait amanar Keppres tentang Satgas penanganan Karhutla,” jelasnya kepada Media Indonesia pada Selasa (18/6).

Kendati demikian, pria yang kerap disapa Aam itu menjelaskan bahwa intensitas cuaca panas pada musim kemarau tahun 2024 ini diprediksi tak akan separah tahun lalu. Hal ini disebabkan fenomena El Nino telah mencapai puncaknya pada 2023 sehingga tak terjadi di tahun ini.

Baca juga : Ogan Komering Ilir Makin Membara, Modifikasi Cuaca Diintensifkan

“Untuk kekeringan saat ini sudah mulai berpotensi terjadi di wilayah kabupaten/kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jika kita melihat pengalaman di 2024 tentu saja intensitasnya tidak akan lebih tinggi, berbeda dengan tahun lalu karena 2023 itu kita masih berada di puncak El Nino, sedangkan di 2024 El Nino sudah melemah,” tuturnya.

Aam mengatakan melalui rapat koordinasi tersebut, berbagai K/L saling memetakan dampak dari musim kemarau. Dijelaskan bahwa kekeringan dan Karhutla menjadi dua jenis bencana yang sering melanda sebagian besar wilayah Indonesia kala musim kemarau, namun pencegahan bencana kekeringan jauh lebih ekstra karena dampak dan faktor resiko akan datang secara tidak langsung dalam waktu 3-4 minggu kemudian.

“Bencana kekeringan biasanya bisa dilaporkan agak lama oleh pemerintah daerah karena dampaknya tidak langsung secara nyata seperti kebakaran hutan yang bisa terlihat mata. Biasanya pemda baru bisa melaporkan kekeringan ketika sudah 3-4 Minggu kemudian dengan tanda tiba-tiba air mulai mengering. Ini yang harus diantisipasi tahun ini,” ungkapnya.

Baca juga : BNPB Lakukan Modifikasi Cuaca Redam Bencana Hidrometeorologi di Awal 2024

Lebih lanjut, Aam menjelaskan bahwa wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang menjadi fokus penanganan kekeringan sejak awal Juni lalu hingga puncak kemarau yang diprediksi terjadi September mendatang. Penanganan itu termasuk mengisi air di berbagai penampungan seperti waduk, lumbung, hingga sungai dan danau dengan bantuan teknologi modifikasi cuaca atau TMC.

“Di wilayah yang saat ini berpotensi dilanda kekeringan, masih ada awan hujan minimal satu kali seminggu, itu yang akan kita optimalkan melalui TMC. Kita juga sudah menyampaikan kepada 75% pemerintah daerah yang pada 2023 lalu terkena dampak kekeringan untuk melakukan siaga darurat kekeringan,” jelasnya.

Melalui penetapan siaga darurat tersebut, kata Aam, pemerintah pusat lewat BNPB bisa melakukan intervensi secara langsung untuk melakukan antisipasi kekeringan dengan operasi TMC untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan debit air di tempat-tempat penampungan.

“Sejak Juni hingga sekarang kita berupaya untuk penuhi dulu kapasitas penampungan air di berbagai waduk, embung, sungai dan lainnya supaya nanti ketika kita sudah masuk puncak musim kemarau di mana awan hujan tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi TMC, maka air yang sudah disimpan dengan kapasitas yang cukup untuk bisa memenuhi setidaknya sampai nanti musim peralihan atau musim hujan,” tuturnya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat