visitaaponce.com

Menakar Kinerja Keuangan Negara Empat Tahun Pemerintahan Jokowi-Amin

Menakar Kinerja Keuangan Negara Empat Tahun Pemerintahan Jokowi-Amin
Ilustrasi MI(MI/Seno)

EVALUASI kinerja keuangan negara empat tahun pemerintahan Jokowi-Amin menjadi isu krusial. Pasalnya, selama periode ini APBN mengalami tekanan luar biasa untuk kebutuhan penanganan dampak pandemi covid-19. Selama tiga tahun berturut-turut dari APBN 2020 sampai 2022, pemerintah melalui Perpu Nomor 1/2020 terpaksa mengambil kebijakan defisit anggaran melewati batas maksimal 3% dari produk domestik bruto sesuai dengan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Kondisi di atas memengaruhi postur APBN dan strategi kebijakan fiskal untuk mengantisipasi turbulensi dalam pengelolaan keuangan Negara. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang diaudit BPK merupakan sarana akuntabilitas dan transparansi untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah.

Instrumen yang digunakan dalam menilai kinerja keuangan pemerintah meliputi tiga aspek. Pertama, kemampuan pembentukan modal atau kekayaan bersih negara setiap tahun. Kedua, pemanfaatan penerimaan utang untuk tujuan produktif. Ketiga, kemampuan pendapatan APBN melunasi kewajiban cicilan utang dan bunga.

Evaluasi kinerja keuangan ini dapat menjadi cermin bagi pemerintahan Jokowi yang sudah memasuki tahun terakhir. Jokowi harus meneguhkan komitmen untuk meninggalkan legacy terbaik bagi negeri tercinta, dengan menunaikan secara maksimal semua janji politik yang pernah diucapkan. Sisa masa pemerintahan ini harus difokuskan pada penyelesaian target RPJMN. Perilaku belanja APBN yang kurang rasional melebihi kemampuan fiskal bagaikan besar pasak daripada tiang perlu ditinggalkan.

 

Kekayaan negara melorot, utang pemerintah digenjot

 

Kekayaan bersih pemerintah dihitung dari aset negara dikurangi utang pemerintah. Sejalan dengan peningkatan pendapatan APBN dan pesatnya pembangunan infrastruktur dan investasi pemerintah, seyogianya terjadi peningkatan kekayaan bersih negara.

Pada 2009, kekayaan Negara sebesar Rp441,19 triliun bertambah menjadi Rp1.012,54 triliun pada 2014. Selanjutnya, pada akhir periode pemerintahan pertama Jokowi kekayaan bersih negara mencapai sebesar Rp5.127,31 triliun terjadi kenaikan sebesar Rp4.114,77 triliun atau 406% dari lima tahun sebelumnya.

Ironinya, pada periode kedua Jokowi terjadi kontradiksi, yang sepanjang tahun terjadi penurunan kekayaan bersih negara yang siginifikan. Penurunan kekayaan bersih negara yang terjadi pada neraca LKPP per 31 Desember, yakni pada 2019 sebesar Rp5.127,31 triliun, 2020 sebesar Rp4.473,19 triliun, 2021 sebesar Rp3.916,34 triliun, dan 2022 sebesar Rp3.404,89 triliun. Dengan demikian, secara kumulatif kekayaan bersih negara melorot sebesar Rp1.722,42 triliun.

Analisis lebih lanjut terhadap LKPP dari 2019 sampai dengan 2022 membuktikan melorotnya kekayaan bersih tersebut akibat pemerintah terlalu bersemangat menggenjot utang. Namun, di pihak lain, utang tersebut tidak digunakan menambah aset produktif negara. Untuk 2020 dan 2021, penambahan utang tersebut digunakan menutup defisit APBN yang menganga sesuai dengan UU Nomor 24/2002 tentang Surat Utang Negara.

Posisi utang pemerintah pada neraca per 31 Desember mengalami peningkatan tajam selama periode tersebut, terlihat dari 2019 sebesar Rp5.340,22 triliun, 2020 sebesar Rp6.625,48 triliun, 2021 sebesar Rp7.538,33 triliun, dan 2022 sebesar Rp8.920,56 triliun. Kenaikan kumulatif utang dimaksud selama periode tersebut mencapai angka Rp3.580,34 triliun.

 

Keseimbangan primer negatif

Penerimaan pinjaman baru tidak menghasilkan penambahan kekayaan bersih karena penggunaannya tidak menghasilkan belanja yang dapat dikapitalisasi membentuk kekayaan negara. Penerimaan pinjaman selama empat tahun ini berasal dari 2019 sebesar Rp999,94 triliun, 2020 sebesar Rp1.686,13 triliun, 2021 sebesar Rp1.429,42 triliun, dan 2022 sebesar Rp1.215,87 triliun. Penambahan kumulatif pinjaman dimaksud selama periode tersebut mencapai angka Rp5.331,35 triliun.

 

Besarnya kewajiban pelunasan pinjaman dan pembayaran bunga memaksa pemerintah mempraktikkan kebiasan buruk ‘gali lubang tutup lubang’ dengan menggunakan penerimaan pinjaman untuk pemenuhan kewajiban dimaksud. Selama periode tersebut, pemerintah harus merogoh kantong dalam dalam untuk melunasi utang masing-masing pada 2019 sebesar Rp562,40 triliun, 2020 sebesar Rp456,50 triliun, 2021 sebesar Rp558,88 triliun, dan 2022 sebesar Rp519,85 triliun.

Pelunasan kumulatif utang dimaksud mencapai sebesar Rp2.097,63 triliun.

Sementara itu, pembayaran bunga yang direalisasikan dari APBN masing-masing 2019 sebesar Rp275,52 triliun, 2020 sebesar Rp314,09 triliun, 2021 sebesar Rp343,50 triliun, dan 2022 sebesar Rp386,34 triliun. Secara kumulatif realisasi pembayaran bunga mencapai Rp1.319,45 triliun. Dengan demikian, dari kumulatif penerimaan utang Rp5.331,35 triliun, sebesar Rp3.417,07, atau 64,09% digunakan untuk melunasi pinjaman Rp2.097,63 triliun dan membayar belanja bunga Rp1.319,45 triliun.

Untuk pengelolaan APBN yang sehat, pemerintah harus memperbaiki keseimbangan primer menuju angka yang positif. Keseimbangan primer adalah total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran belanja bunga. Apabila nilainya negatif, berarti defisit dan belanja bunga yang membebani APBN terpaksa ditutup dengan penambahan utang baru.

Selama empat tahun terakhir, angka keseimbangan primer begitu senjang dan selalu minus, yaitu 2019 sebesar Rp348,65 triliun, 2020 sebesar Rp947,70 triliun, 2021 sebesar Rp775,06 triliun, dan 2022 sebesar Rp460,42 triliun. Angka keseimbangan primer negatif itu berada di atas jumlah bunga pinjaman yang harus dibayar memberi bukti penerimaan pinjaman baru selain untuk melunasi pinjaman juga untuk membayar bunganya.

Fakta itu menunjukkan pendanaan untuk melunasi pinjaman dan membayar bunganya berasal dari pengambilan pinjaman baru yang berarti penambahan pinjaman sepanjang 2019-2023 tidak digunakan untuk kepentingan produktif dan infrastruktur, malah kebutuhan melunasi utang. Sepanjang masa pemerintahan Jokowi belum pernah mencapai kesimbangan primer positif, berarti belanja bunga selalu didanai dari penambahan utang.

Posisi utang pemerintah 31 Desember 2022 tersebut belum termasuk realisasi utang 2023 serta potensi utang pada BUMN atas penugasan untuk proyek infrastruktur prioritas sebesar Rp136,64 triliun dan proyek strategis nasional sebesar Rp1.112,10 triliun.

Sesuai target Presiden Jokowi, fisik dan pendanaan proyek tersebut selesai menjelang akhir masa jabatannya.

Untuk itu, dalam APBN 2024 harus dipastikan besarnya utang dari kedua proyek tersebut dan skenario penyelesaiannya. Evaluasi kelayakan terhadap proyek yang belum dikerjakan perlu dilakukan agar kebutuhan pendanaan tidak menekan ruang fiskal yang relatif terbatas bagi pemerintahan berikutnya.

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat