visitaaponce.com

Sembilan Tahun Lumpur Lapindo

Sembilan Tahun Lumpur Lapindo
(--(MI/Ramdani))
SEMBILAN tahun lumpur panas Lapindo menyembur di Sidoarjo, Jawa Timur. Sejak itu pula warga korban lumpur Lapindo berpindah-pindah ke sejumlah tempat untuk bertahan hidup bersama keluarga. Sebagian korban menumpang hidup di rumah sanak saudara, sementara sebagian korban lumpur Lapindo lainnya harus berpindah-pindah ke sejumlah tempat.

Salah satu korban lumpur Lapindo, Ari Hendri, 35, warga asal Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, mengaku sudah empat kali berpindah tempat. Ari bersama keluarga berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya.

"Untuk memulai hidup baru tak semudah membalikkan telapak tangan. Saya sudah empat kali hidup berpindah-pindah rumah kontrakan karena memang kondisinya seperti ini," kata Ari Hendri kepada Metrotvnews.com, di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Untuk menjalani hidup, Ari dan keluarga harus beradaptasi dengan warga lingkungan sekitar. Tak jarang tetangga yang tidak suka dengan kehadiran Ari dan keluarga.

"Sebagai orang baru, di rumah yang baru ditempati memang wajar jika ada tetangga yang belum bisa menerima kehadiran kami begitu saja. Jadi harus adaptasi, tapi saya tak betah dengan keadaan seperti itu. Makanya saya pindah-pindah rumah kontrakan," katanya.

Kondisi itulah yang membuat Ari berpindah-pindah rumah bersama istri dan seorang anaknya. "Sejak rumah saya terendam lumpur, pertama kali saya dapat kontrakan rumah di Gading Fajar, Sidoarjo. Kemudian pindah ke Gempol, setelah itu pindah lagi ke daerah Japanan, Sidoarjo. Terakhir, pindah lagi ke Keramaian, Kecamatan Candi, Sidoarjo, ikut kakak saya," ujarnya.

Ari mengaku telah kehilangan segalanya sejak lumpur panas merendam rumahnya. Kini, Ari tak mampu lagi berpindah tempat sebab keuangannya menipis.

"Uang saya sudah menipis. Karena untuk harga rumah kontrakan Rp5 juta per tahun. Setahun sekali pindah kontrakan. Jadi karena kehidupan tetangga tidak ramah, saya harus pindah-pindah selama 9 tahun sejak terjadi lumpur. Tapi, untuk sementara saya numpang di rumah kakak saya di Keramaian, Candi, Sidoarjo," akunya.

Menurut Ari, untuk memulai hidup baru, tak hanya materi yang harus disiapkannya, tetapi mental keluarganya untuk kembali bangkit. Ari pun tak tahu sampai kapan akan menumpang di rumah kakaknya ini.

"Keadaan seperti sekarang ini sama halnya menjalani kehidupan baru, mulai dari nol. Kehidupan baru membutuhkan duit banyak. Dulu bekerja sebagai buruh pabrik, sekarang nganggur, pemasukan enggak ada," katanya.

"Saya down, apalagi dari dulu MLJ (PT Minarak Lapindo Jaya) hanya janji-janji saja. Andai saja dilunasi sejak dulu, bukan dibayar dengan diangsur, mungkin hidup kami bisa kembali bangkit," imbuh dia.

Hal serupa juga dialami, Ferdiyan, 40, warga Desa Suko, Kabupaten Sidoarjo. Sebelumnya ia bekerja sebagai penjaga keamanan (security) di Perumahan Palem Putih, Candi, Sidoarjo. Saat ini ia tak bekerja.

"Saya berhenti karena masalah lumpur Lapindo. Jadi saya tidak aktif lagi sebagai security," tutur pria yang kini ikut bersama orang tuanya.

"Kami semua patah semangat. Seakan mau bangkit lagi dari keterpurukan butuh waktu lama," ujar Ferdiyan.

Hingga saat ini, PT MLJ belum juga melunasi ganti rugi kepada korban Lumpur Lapindo. Pada awal 2015, pemerintah bersedia mengucurkan dana talangan kepada MLJ untuk melunasi pembayaran sebesar Rp872,1 miliar. Pemerintah pun mewajibkan MLJ melunasi dana talangan itu. Bila tidak, pemerintah akan mengambil alih aset yang dibeli MLJ dari warga tersebut. (Q-1)


Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat