visitaaponce.com

Merestorasi Jejak Bung Karno di Sumatra Utara

Merestorasi Jejak Bung Karno di Sumatra Utara
Ruang tengah Pesanggrahan Bung Karno di Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatra Utara(MI/YOSEPH PENCAWAN)


WAJAH Pahala Siregar tampak segar saat menghampiri dua pengunjung yang
datang ke Mess Pemprov Sumut di Jalan Sempurna, Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.

Bukan hanya segar, Minggu (23/1) sore itu dia pun tampak rapi dengan balutan kemeja putih di tubuhnya.

Bagi Pahala, kerapian penampilan merupakan bagian dari upayanya menghilangkan kesan angker yang sempat melekat di lokasi itu. Di masa lalu, mess yang pernah menjadi lokasi pengasingan Bung Karno tersebut memiliki banyak spot yang gelap.

Karena itu sempat muncul anggapan tempat tersebut menjadi kawasan yang
rawan tindak kejahatan hingga cerita-cerita mistis. Masyarakat sekitar saja enggan datang ke sana, apalagi pengunjung dari daerah lain.

Namun saat ini hampir seluruh areal pesanggrahan sudah mendapat penerangan yang baik. Beberapa pohon besar yang tumbuh di sana pun tak luput dari pemasangan lampu. Berbagai sisi halaman juga sudah ditumbuhi puluhan jenis tanaman dan bunga.

Hamparan taman-taman kecil mudah ditemui di luar bangunan, begitu pula
kembang-kembang yang bergantung di koridor penghubung rumah induk dan rumah servis.

Upayanya untuk mengubah kesan itu cukup berhasil. Dua tahun setelah Pahala menjadi pengelola, pengunjung lokasi itu sudah mulai ramai.

Masyarakat sekitar juga merasa senang karena cahaya penerangan pesanggrahan memancar hingga ke lingkungan pemukiman penduduk.

Setelah sempat sepi karena pandemi, saat ini hampir setiap hari
pesanggrahan kembali kedatangan pengunjung, terutama saat akhir pekan.
Mereka yang datang pun bukan hanya dari berbagai daerah di Sumatra Utara, tetapi juga dari provinsi lain seperti Aceh dan Riau.

"Sebelum pandemi, kalau saat akhir pekan jumlah pengunjung bisa mencapai 75 orang," ungkapnya.

 

Murah


Di pesanggrahan ini pengunjung bisa keluar masuk atau datang dan pergi
begitu saja tanpa ada pungutan biaya. Mulai dari yang hanya sekedar melihat lebih dekat fisik bangunan, peninggalan bersejarah di dalam rumah induk atau bersantai dan berswafoto.

Biaya hanya dikenakan bagi pengunjung yang ingin menginap dengan kisaran tarif kamar antara Rp150 ribu sampai Rp200 ribu per malam.

Pesanggrahan itu memiliki fasilitas penginapan berjumlah 13 kamar yang berjejer di belakang rumah servis. Satu kamar penginapan bisa ditempati hingga 10 orang.

Selain hanya sekedar berkunjung atau menginap, di halaman pesanggrahan
masyarakat juga bisa mengadakan berbagai acara. Seperti memanggang daging, pertunjukan musik atau hiburan kecil, dengan biaya yang disesuaikan dengan acara yang digelar.

 

Rehabilitasi


Karena itu Pahala mengaku dirinya merasa senang dengan adanya rencana
rehabilitas yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara di lokasi ini.

Dia mengatakan kebijakan tersebut sangat baik karena tempat ini merupakan bangunan yang sarat dengan nilai sejarah.

Dia juga yakin bila peninggalan-peninggalan bersejarah di atas lahan seluas dua hektare itu direhabilitasi dan tampil dengan kondisi yang lebih baik, lokasi ini akan menjadi salah satu magnet kunjungan wisatawan yang datang ke Kabupaten Karo.

Mess Pemprov Sumut Sempurna atau Pesanggrahan Bung Karno di Berastagi
merupakan satu dari tiga pesanggrahan Bung Karno di Sumut yang akan
direhabilitasi mulai tahun ini. Dua pesanggrahan lain berada di Parapat, Kabupaten Simalungun, dan di Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal.

M Yusuf Siregar, Kabag Administrasi Keuangan dan Aset Pemprov Sumut
menuturkan, program yang akan dilakukan terhadap ketiga pesanggrahan ituadalah rehabilitasi dan konservasi, bukan revitalisasi.

Pemprov Sumut ingin mengembalikan kondisi dan fungsi pesanggrahan seperti sedia kala, atau serupa dengan saat Bung Karno diasingkan di ketiga pesanggrahan tersebut.

Dalam merealisasikan rencana ini, pemprov menjalin kerja sama dengan Yayasan Beranda Warisan Sumatra (BWS). Pemprov akan menggunakan konsep
rehabilitasi dan konservasi dari yayasan tersebut.

Saat ini progres program sudah pada tahap dokumentasi dan kajian yang akan dimatangkan melalui pelaksanaan diskusi-diskusi secara terbatas antara pemprov dengan BWS serta pihak-pihak terkait.

Setelah itu masuk pada tahap perencanaan dari setiap kegiatan yang akan
dilakukan, hingga pada aspek perawatan.

Meski konsep final belum rampung, tetapi pemprov secara prinsip sudah
sepakat dengan BWS bahwa ketiga pesanggrahan tersebut akan mengusung konsep yang berbeda.

Pesanggrahan di Berastagi akan lebih mengarah ke bentuk museum, pesanggrahan di Parapat sebagai Rumah Diplomasi dan pesanggrahan di
Kotanopan akan lebih mengedepankan ruang publik.

"Kegiatan konservasi ini kami targetkan dimulai tahun ini dan paling lambat pada 2023," ujarnya.

Kasubbag Pemeliharaan Aset Pemprov Sumut Ahmad Ari Fandi Harahap
mengungkapkan kebutuhan biaya kegiatan untuk ketiga pesanggrahan tidak
sama.

Rehabilitasi untuk Pesanggrahan Berastagi diproyeksikan menelan
anggaran sekitar Rp2,2 miliar, Pesanggrahan Parapat sekitar Rp3,3 miliar dan Pesanggrahan Kotanopan sekitar Rp2,7 miliar.

Perbedaan luas lahan, kebutuhan material dan kondisi bangunan serta
fasilitas-fasilitas pendukung yang akan dibangun menjadi faktor-faktor yang memengaruhi kebutuhan biaya.

Senada dengan optimisme Pahala, Ahmad Ari juga yakin setelah direhabilitas dan konservasi seperti yang dikonsepkan, ketiga pesanggrahan ini akan dapat menjadi objek wisata primadona di Sumut. Terlebih bila aktivitas perawatannya ke depan juga dilakukan dengan baik.

Pemprov belum sampai mengkaji lebih jauh teknis kerja sama yang akan
dijalin, tetapi sudah berpikir kemungkinan opsi menggandeng pihak swasta yang akan berperan sebagai pengelola.

"Sepanjang kerja sama itu dapat meningkatkan PAD provinsi dan dapat
melestarikan aset-aset kita, saya pikir tidak masalah," tambah M Yusuf.


Cagar budaya

Menurut Sri Shindi Indira, Direktur Eksekutif Beranda Warisan Sumatra
(BWS), pihaknya sudah melakukan pendokumentasian bangunan dan tempat-tempat bersejarah di Sumut sejak 2007. Pendokumentasian itu mencakup aktivitas pendataan bangunan atau tempat yang memiliki klasifikasi sebagai cagar budaya.

Dalam melaksanakan kegiatannya BWS melibatkan para peneliti, arkeolog,
sejarawan serta tenaga-tenaga ahli di bidang konstruksi, pemugaran dan
konservasi, serta elektrikal, dari dalam dan luar negeri. Termasuk dalam proses pendokumentasian tiga Pesanggrahan Bung Karno di Sumut.

Dia memastikan unsur-unsur ahli di atas dilibatkan bukan hanya pada
kegiatan pendokumentasian tetapi juga hingga pelaksanaan rehabilitasi
nantinya.

Selain pendataan, lanjut Shindi, pendokumentasian itu juga dilakukan untuk mengetahui kondisi bangunan atau mengidentifikasi kerusakan-kerusakan yang dialami bangunan.

Dari pendokumentasian terhadap ketiga pesanggrahan tersebut diketahui bahwa pondasi dan dinding bangunan dari ketiganya didominasi kayu.

"Saat ini kayu-kayu itu kondisinya sudah lapuk karena usia atau menjadi
tempat rayap," ujarnya.

Karena itu, salah satu langkah yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah merestorasi struktur bangunan. Bila hal itu tidak dilakukan maka bangunan tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Dalam beberapa tahun ke depan ketiga pesanggrahan itu sewaktu-waktu bisa roboh.

Memang, kata dia, selama ini ketiga pesanggrahan tersebut mendapat
perawatan rutin. Namun dia yakin perawatan yang dilakukan tidak sampai
menyentuh aspek-aspek dasar bangunan.

Untuk proses rehabilitasi nanti BWS juga akan mengeluarkan panduan
pemugaran yang salah satunya akan merekomendasikan penggunaan
material-material bangunan sejenis atau dengan kualitas yang setara dengan material awal.

Panduan pemugaran itu juga akan merekomendasikan langkah-langkah
pemeliharaannya. Meski tidak sesulit pemugaran, tetapi aktivitas perawatan membutuhkan cara-cara khusus agar bangunan dapat bertahan lama.

Di samping pemugaran, dalam program ini BWS juga telah mengajukan konsep pelestarian secara umum, yakni adanya area pendukung, area penyangga dan area inti.

Selain sebagai peninggalan bersejarah, ketiga pesanggrahan itu
juga dapat menjadi tempat dilaksanakannya berbagai macam aktivitas di
bidang pendidikan, pariwisata, keagamaan dan lainnya.

Namun aktivitas-aktivitas keramaian tersebut hanya dapat dilaksanakan di area pendukung. Sementara area penyangga berupa lingkungan yang berada di antara area pendukung dan area inti. Area inti tidak boleh
terganggu dengan aktivitas keramaian karena merupakan cagar budaya atau
warisan sejarah (heritage).

Konsep itu sangat mungkin direalisasikan karena dua dari tiga bangunan
tersebut berada di kawasan wisata, yakni Pesanggrahan Berastagi dan
Pesanggrahan Parapat. Karena itu Pesanggrahan Berastagi dan Parapat
direkomendasikan BWS menjadi semacam Art and Caffee Museum.

Sementara Pesanggrahan Kotanopan direkomendasikan untuk lebih banyak
dimanfaatkan sebagai ruang publik. Hal itu karena pesanggrahan tersebut
berada di daerah persinggahan atau transit, bukan kawasan wisata dan berjarak paling jauh dari Kota Medan. (N-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : NUSANTARA

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat