visitaaponce.com

Budidaya Sorgum Upaya Atasi Stunting di Manggarai Timur

Budidaya Sorgum Upaya Atasi Stunting di Manggarai Timur
Panen sorgum di kebun milik Gereja Katolik Dampek, Kecamatan Lamba Leda.(MI/ Yohanes Manasye)

STUNTING atau gagal tumbuh pada balita menjadi masalah kronis di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terakhir pada 2018 mengungkapkan prevalensi stunting Manggarai Timur mencapai 42,73%. Meskipun pemerintah setempat mengklaim angka yang lebih rendah dan terus menurun hingga tersisa 11,6% pada awal 2022. 

Selain pola asuh dan sanitasi yang buruk, ketersediaan pangan dan gizi akibat kesulitan ekonomi menjadi penyebab stunting. Kondisi ini diperparah perubahan iklim yang kian ekstrim menyebabkan petani kerap mengalami gagal tanam atau gagal panen. 

Bupati Manggarai Timur Agas Andreas mengungkap berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah stunting. Saat ini pihaknya tengah menggalakkan kembali pangan alternatif non beras, salah satunya sorgum. 

Pada masa lalu, sorgum menjadi pangan utama orang Manggarai sebelum bergeser ke beras. Tanaman ini perlu dikembangkan lagi karena memiliki kandungan nutrisi tinggi dan lebih adaptif dengan berbagai jenis lahan dan perubahan iklim. 

Meski akrab di lidah orang-orang tua dahulu, budidaya sorgum digerakkan secara perlahan. Manggarai Timur baru mengembangkannya di lahan contoh seluas 400 hektar yang tersebar semua kecamatan dataran rendah dan pesisir dan bulan Juli ini memasuki masa panen. 

"Tahun ini kita kembangkan sekitar 400 hektar untuk sorgum, kedelai 1000 hektar, jagung 50.000 hektar. Ini sebagai pangan alternatif dan juga dalam kerangka penanganan stunting dan gizi buruk di Kabupaten Manggarai Timur yang posisi perhari ini adalah 11%," ungkap Agas Andreas, Jumat (1/7).

Langkah pemerintah mendapat dukungan dari Gereja Katolik dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Yayasan KEHATI, Yayasan AYO Indonesia, Hivos Voices Climate Action, dan Koalisi Pangan Baik. Budidaya sorgum pun dipastikan akan dikembangkan secara masif di daerah ini. 

LSM-LSM yang mendukung program ini berkomitmen untuk mengembangkan pangan lokal di Pulau Flores, termasuk Manggarai Timur. Selain mendampingi pembudidayaan, mereka juga mengadakan Manggarai Youth Local-foodpreneur Camp yang melibatkan pemuda lintas agama sebagai wadah pelatihan dan membangun visi usaha pangan lokal berbasis sorgum. Upaya ini penting demi memasyarakatkan kembali pangan lokal yang memiliki kandungan gizi sangat tinggi dan masyarakat tidak bergantung pada beras dan pangan dari luar. 

"Pangan lokal itu sesuatu yang sangat penting bagi Indonesia, kenapa, secara alami Indonesia itu dianugerahi alam yang memiliki keanekaragaman pangan yang sangat tinggi. Jadi sangat disayangkan kalau kita hanya konsumsi nasi. Jadi kita bisa mengkonsumsi sorgum, konsumsi umbi-umbian, mengkonsumsi pisang, dan sumber karbohidrat lainnya sebagai sumber pangan," kata Direktur Program Yayasan KEHATI, Rony Megawanto. 

Gereja Katolik Keuskupan Ruteng menyebut budidaya sorgum tak hanya untuk mengatasi stunting akibat krisis pangan dan gizi tetapi juga sebagai upaya merawat bumi agar tidak dicemari zat-zat kimia. Pengembangan sorgum dipastikan tidak menggunakan pupuk kimia karena kemampuan adaptasinya dengan tanah dan iklim. Keuskupan Ruteng pun sudah menggerakkan umatnya untuk menyambut program itu. 

Gereja juga berharap memperbaiki kualitas gizi keluarga, sorgum juga bisa meningkatkan taraf ekonomi masyarakat. Untuk itu, pendampingan petani pasca panen perlu dilakukan secara serius sehingga petani bisa memproduksi berbagai jenis makanan dari hasil olahan sorgum dan produk tersebut bisa menjangkau konsumen lebih luas melalui pasar. 

"Kami sangat mengharapkan supaya dari pangan lokal ini, melalui berbagai pelatihan, itu diolah supaya bisa menghasilkan berbagai jenis produknya supaya bisa dipasarkan juga ke luar. Bukan hanya dipakai untuk konsumsi warga, memang itu tujuan utamanya supaya kita bebas dari berbagai masalah stunting. Tetapi juga untuk peningkatan ekonomi dengan menjualnya ke pasar nasional dan internasional," Vikjend Keuskupan Ruteng, Romo Alfons Segar. 

Petani menyambut baik program ini. Bagi mereka, sorgum merupakan makanan yang sudah lama dan dikonsumsi sejak nenek moyang dahulu namun hampir punah karena pangan didominasi oleh beras. Meski untuk pengolahan pasca panen, sorgum membutuhkan proses yang cukup sulit namun persiapan lahan dan perawatannya sangat mudah dan tidak membutuhkan pupuk kimia seperti ketika mereka mengolah sawah. Tanaman yang bermanfaat untuk kesehatan ini ternyata hemat biaya namun hasil panennya lebih banyak dibandingkan ketika membudidayakan tanaman pangan jenis lainnya. 

"Memang sorgum ini sudah ada dari dulu. Nenek moyang dulu ada (sorgum) tetapi sudah mulai punah karena maunya makan itu beras saja. Terus (beras itu) habis panen langsung (jadi) uang. Kalau sorgum katanya prosesnya lama. Harus melalui proses lama baru menghasilkan uang. Tetapi kalau dari segi kesehatan, sorgum ini lebih," ujar Katarina Lymsa, salah seorang petani sorgum asal Dampek, Kecamatan Lamba Leda. (OL-8)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat