visitaaponce.com

Bahasa Indonesia di Pusaran Peradaban Rusia

Bahasa Indonesia di Pusaran Peradaban Rusia
()

DARI kolong penyeberangan jalan di kawasan Culture Park, pakar Bahasa Indonesia di Rusia, Victor Pogadaev, menengok arlojinya yang melingkari tangan kiri. Waktu menunjukkan pukul 09.35 pagi. Masih tersisa 25 menit sebelum dia memulai sesi kelas Bahasa Indonesia, pagi itu.

Matanya tajam melirik ke arah kanan dan kiri. Memastikan dia aman menyebrangi lampu merah. Suara kendaraan beroda empat sedikit bising. Berlalu-lalang di jalanan. Sebuah rutinitas di pagi hari, selalu dia lakoni sebagi dosen.

“Saya senang Anda lebih duluan hadir di sini. Saya tidak menyangka ada orang Indonesia yang datang lebih awal sebelum pukul 10.00,” canda Victor membuka pembicaraan di Moskow, Federasi Rusia, pekan lalu.

“Lebih baik menunggu daripada ditunggu, bukan?” balas saya. “Anda benar! Saya senang sekali. Saat di Jakarta dulu, banyak orang yang bikin janji, tetapi ada saja alasan: macet atau apalah,” sambung Victor. “Saya pikir, sebuah janji harus ditepati. Ini sesuai kesepakatan bersama, ha ha,” timpal saya.

Hanya lima menit berjalan, kami pun sampai di gedung Akademi Diplomasi, sebuah perguruan tinggi di bawah naungan Kementerian Luar Negeri Rusia. Di depan pintu, penjagaan cukup ketat. Ada dua petugas sekuriti berkumis melotot ke arah kami.

Victor nampak bercakap-cakap dalam bahasa Rusia kepada mereka. Dia memastikan agar kami boleh masuk bersama. Namun, ternyata tidak semudah itu. Petugas keamanan belum memperbolehkan. “Kami sudah memiliki janji dengan ketua jurusan,” jelasnya kepada petugas keamanan. “Silakana nelepon ke jurusan dulu, Pak,” jawab salah satu petugas tersebut.

Percakapan pun berlanjut di ujung gagang telepon. Victor mengontak staf di jurusan untuk memastikan agar saya bisa masuk. Tak berapa lama, dia pun menyodorkan gagang telepon ke petugas keamanan. Sejurus, petugas itu pun kikuk. Dia ramah mempersilakan masuk. Kami melangkah dan menaiki anak tangga demi anak tangga untuk menuju ke lantai atas.

“Inilah birokrasi di sini. Semua harus jelas. Saya dosen tapi perlu nunjukin kartu pas untuk bisa masuk ke dalam,” celoteh Victor. “Itu biasa ya, Pak. Ini kan juga demi keamanan kampus. Ini sistem pencegahan agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, bukan.”

Di ruangan kerja, Prof Aslambek T Mozloev, Ketua Jurusan Bahasa-bahasa Ketimuran, sudah menunggu. Kami pun bersapa dan saling bercakap dalam bahasa Rusia. Maklum, di kampus tersebut hanya Victor yang bisa berbahasa Indonesia. Untuk itulah, kami pun menggunakan bahasa Rusia sebagai cara untuk lebih akrab.

Mozloev pun menjelaskan tentang hal menarik pagi itu. Dia bersama jajaran tertinggi di Akademi Diplomasi baru saja membuka kelas berbahasa Indonesia di kampus tersebut sejak Februari lalu. Itu sebagai bentuk untuk memperkenalkan lebih dalam lagi perihal budaya Indonesia kepada para calon diplomat.

Maklum, ini adalah kampus bergengsi dalam mencetak para diplomat muda sebelum terjun bekerja di lapangan. “Indonesia itu negara Muslim terbesar di dunia. Rusia juga memiliki daerah dengan penduduk asli yang bermayoritas Muslim. Ini satu alasan kenapa kami membuka kelas Bahasa Indonesia,” ujar Mozloev, sedikit adigung.

Tidak berapa lama, Victor pun menengok lagi arlojinya. Tepat pukul 10.00. Dia pun meminta diri untuk masuk kelas. Saya pun ikut bersamanya. Sementara, Mosloev balik kanan seraya bergegas mengambil sebuah map biru. Dia juga harus mengajar. “Sampai jumpa lagi, ya. Saya harus memberikan ujian kepada murid-murid dulu,” sambung Mosloev, pria berkepala plontos, itu.

Pengajar pertama di Rusia
Tak diayal, Bahasa Indonesia pertama kali diajarkan di bekas negara Uni Soviet ini selepas Perang Dunia II di Institut Ketimuran Moskow, namun dibubarkan. Lalu, berlanjut di Universitas Negeri Moskow pada 1956 dengan nama Institut Bahasa-bahasa Ketimuran, Institut Hubungan Antarbangsa Moskow, dan Universitas Negeri Saint Petersburg.

“Waktu itu, ada seorang tokoh Indonesia, Semaun. Dia tinggal di sini agak lama. Jadi dia adalah penggagas pengajaran Bahasa Indonesia pertama di Rusia. Dia juga menyusun beberapa buku pelajaran. Waktu itu, Bahasa Indonesia disebut sebagai bahasa Melayu,” kisah Victor.

Selain Semaun (1899-1971), yang tak lain adalah Pemimpin Partai Komunis Indonesia saat itu, tokoh kedua adalah Ludmila Mervart (1888-1965). Dia pernah belajar Bahasa Indonesia di Negeri Belanda. Kemudian, ada Prof Intoyo, Prof Syarif, dan sastrawan Utuy Tatang Sontani. Dari semua tokoh ini, Utuy adalah pengarang yang paling banyak karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.

Di lorong kelas, langkah kaki dan ketukan sepatu berhak di lantai, jelas terdengar. Suara tertawa di ruangan-ruangan kelas juga terngiang di telinga. Victor pun bergegas masuk karena kelas akan dimulai tepat pukul 10.45.

Victor menerapkan metode pembelajaran yang sama seperti pada murid-murid umumnya. Kebetulan, di kelas Bahasa Indonesia terdapat empat murid. Dua murid sudah pandai berbahasa Indonesia. Mereka adalah Jantay Jumabekov dan Serik Shalmagambetov. Sisanya masih belum begitu lihai dan apik.

“Selamat pagi! Apa kabar?” sapa Victor. “Kabar baik!” suara murid-murid serempak. Pagi itu Victor membuka pelajaran dengan membacakan beberapa ungkapan (peribahasa) yang menari. “Saya pikir ungkapan ini sangat berguna untuk dihafalkan. Misalnya, 'Besar periuk, besarlah keraknya. Besar mangkuk, besarlah isinya. Besar maksud, besarlah harapannya. Besar bentuk, beratlah bebannya',” tutur Victor di depan kelas.

Murid-murid duduk termanyun. Mereka mendengar secara seksama. Ada yang mengerutkan dahi. Mungkin karena sulit untuk mengartikan maksud peribahasa tersebut. Seusai baca dengan suara sedikit paruh, giliran Victor membuka sebuah buku notesnya. Dia meminta murid-muridnya untuk membaca kata-kata baru.

Tak berapa lama, suasana sudah sedikit membosankan. Victor pun meminta murid-muridnya untuk bernyanyi. Nah, pada sesi ini, semua anak meneriakan sebuah lagu “Bunga Kenangan” milik Bimbo. Mereka memang sudah menghafal di luar kepala sehingga cukup lancar saat bernyanyi ria.

Tentu, tidaklah mudah untuk mengajar. Maklum, murid-murid itu baru mengenal Tata Bahasa Indonesia selama dua bulan. Pengucapan dan pelafalan mereka masih belum sempurna. Namun, keinginan mereka keras untuk belajar budaya Nusantara. Ini sebagai isyarat bahwa mereka memang tidak main-main di dalam mengejar cita-cita sebagai diplomat kelak.

Lagu paling populer
Di Rusia, untuk urusan lagu, ada dua tembang yang sangat populer sejak usai Perang Dunia II. Pertama lagu 'Rayuan Pulau Kelapa' (ciptaan Ismail Marzuki) dan kedua adalah 'Ayo Mama' (lagu daerah Maluku). Kedua lagu itu punya versi dalam bahasa Rusia. Dahulu jika musim panas tiba, kabarnya orang-orang Moskow selalu membuka jendela setiap sore. “Dari situ, terdengar alunan merdu lagu 'Rayuan Pulau Kelapa'. Itu jadi populer di tahun 60-an” kenang Victor.

Entah, siapakah yang menerjemahkan lagu 'Rayuan Pulau Kelapa' ke dalam bahasa Rusia? Victor tidak dapat memastikannya. Memang sulit, meski dia sudah belajar bahasa Melayu (kemudian menjadi Bahasa Indonesia) sejak tahun 1960-an. Namun, kemungkinan besar tokoh yang mengalihbahasakan lagu tersebut adalah Semaun.

Sebagai tambahan saja. Untuk penerjemah lagu 'Indonesia Raya' ke dalam bahasa Rusia, orang Rusia pasti tahu. Lagu kebangsaan itu dialihbahasakan oleh Prof. Vilen Vladimirovich Sikorsky, penulis buku berjudul 'Tentang Sastra dan Budaya Indonesia' (Moskow, 2014) dalam bahasa Rusia. Sikorsky sendiri sudah meneliti sastra Indonesia selama lebih dari setengah abad.

Tepat pukul 13.00, kelas Bahasa Indonesia pun selesai. Victor pun memberikan pekerjaan rumah kepada murid-muridnya. “Ayo, ulangi lagi pelajaran hari ini di rumah! Pertemuan berikutnya harus lebih baik! Kalian harus mahfuz banyak kata, supaya bisa bercakap-cakap,” tegas lelaki berambut putih itu. “Baik, Pak. Terima kasih,” ucap Jantay kilat, seraya diikuti murid lainnya.  

Langkah kaki beradu kencang. Mungkin saja perut murid-murid sudah keroncongan. Beberapa menuju ke kantin, sementara lainnya bergegas pulang. Sebuah pertemuan yang cukup menyenangkan. Ada metode jitu yang Victor terapkan di kelas. Baginya, inti penguasaan sebuah bahasa adalah menghafal sebanyak mungkin kata demi kata. “Ini sederhana, tapi butuh ketekunan agar bisa lancar berbicara, toh,” bebernya.

Pembukaan kelas baru Bahasa Indonesia membuat perguruan tinggi ini merasakan ada manfaat ke depannya. Bahkan Wakil Rektor Akademi Diplomasi, Tatyana A Zakartseva percaya bahwa lewat diplomasi budaya bisa menjaga kemesraan di antara Rusia dan Indonesia. “Sekarang kami membuka kelas ini karena ada kebutuhan penguasaan bahasa lain, selain bahasa Inggris,” jelasnya.

Lewat bahasa-bahasa ketimuran, termasuk Bahasa Indonesia, kaum akademisi ingin meneruskan visi Presiden Vladimir Putin. Yaitu, melihat ke timur sebagai arah politik Rusia. “Timur sebagai cara untuk melihat masa depan,” tambah Tatyana.

Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan menjadi penting. Dahulu, para pendahulu kita telah menanamkan Bahasa Indonesia di setiap penjuru mata angin, termasuk Rusia, sebagai cara untuk menunjukkan rasa nasionalisme. Semua sebagai cara mengekspos dan menduniakan Bahasa Indonesia.

Dosen senior Alexey Drugov dari Institute of Oriental Studies, Russian Academy of Sciences, di tempat berbeda, sebelumnya menilai bahwa bahasa ketimuran menjadi penting. Apalagi, menurutnya, bahasa-bahasa itu sebagai bagian untuk menjaga hubungan agar lebih erat antar bangsa-bangsa timur. “Bahasa Indonesia itu mudah dipahami dan dimengerti. Ini juga yang kami terapkan di institusi kami,” papar penulis buku 'Agama, Masyarakat dan Kekuasaan Kontemporer di Indonesia' (2014), itu.

Matahari sudah condong ke barat, saya dan Victor buru-buru meninggalkan kampus itu. Kami pun berpisah di Stasiun Metro Park Culture. Dia melambaikan tangan, saya pun mengangguk dengan senyuman. Sebuah perguruan tinggi di Rusia kembali membuka kelas Bahasa Indonesia. Ini memang demi tujuan mulia: memanusiakan dan membumikan bahasa oriental di Tanah Tsar. (OL-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat