visitaaponce.com

Di Rusia Kecil itu Hebat

Di Rusia Kecil itu Hebat
()

HATI saya berbunga karena negara kecil, Belgia, membuat sejarah baru di Piala Dunia 2018. Negara berpenduduk 11,5 juta itu masuk empat besar, bahkan meraih peringkat ketiga, menumbangkan negara besar, Inggris, yang berpenduduk 55,6 juta jiwa.

Sejak Piala Eropa 2016 saya mengedepankan Belgia sebagai unggulan, tapi tidak terwujud. Saya tidak jera karena memang Belgia punya pemain-pemain kelas atas yang merata di semua lini.

Dengan mayoritas pemain yang relatif sama yang diturunkan di Piala Eropa, Belgia di Piala Dunia Rusia ini menjungkirbalikkan berbagai prediksi dan analisis, terutama ketika berhasil menumbangkan Brasil, negara sangat besar dalam sepak bola. Apa rahasia mereka?

Jawabnya gamblang. Prestasi itu diraih berkat sentuhan manajer asal Spanyol Roberto Martinez yang berpengalaman sebagai manajer di Liga Primer Inggris (Swansea City, Wigan Athletic, dan Everton), serta asisten manajer Thierry Henry, penyerang andal asal Prancis
yang berkiprah di Inggris (Arsenal) dan Spanyol (Barcelona).

Mereka bermain terbuka, menganut attacking football at all cost. Belgia konsisten menerapkan filosofi itu dalam menghadapi siapa pun, bahkan menaklukkan Brasil. Saya tidak keliru mengangkatnya dan menyukainya.

Piala Dunia 2018 berakhir juga dengan sejarah baru bagi negara kecil Kroasia. Negara berpenduduk 4,3 juta yang baru merdeka pada 1991 karena Yugoslavia pecah belah itu sampai final untuk kali pertama. Pertanyaan yang sama, apa rahasia mereka?

Bila Belgia menjulang, terutama berkat sentuhan manajer dan asisten, jawaban yang pokok bagi Kroasia ialah keunggulan pemain tengah, khususnya Luka Modric, sang kapten, yang bermain di Real Madrid, dan Ivan Rakitic yang bermain di Barcelona. Keduanya membuat Kroasia menguasai bola serta menciptakan berbagai peluang.

Di usia 32 tahun, Modric mampu meliput lapangan di Rusia sepanjang 63 km, pergerakan yang menurut CNN tidak ada tandingannya di Piala Dunia ini. Bahkan, ia bergerak 22,7 km ketika tidak membawa bola.

Ivan Rakitic, 30, pun demikian. Liputan pergerakan pemain tengah-menyerang (attacking midfielder) itu hanya kalah 0,2 km dari Modric. Penting dikemukakan, Rakitic juga berperan memasok bola bagi Lionel Messi di Barcelona.

Publik sepak bola dunia, penggemar Inggris, boleh kecewa karena idaman mereka ditumbangkan Belgia. Supremasi sepak bola dunia tidak kembali ke tanah kelahiran, Inggris. Namun, manajer Inggris Gareth Southgate sesungguhnya dan senyatanya tengah menyiapkan pemain-pemain muda yang kiranya bakal membawa kisah gemilang di masa depan.

Mereka ialah Marcus Rashford, 20, Dele Ali, 22, Raheem Sterling, 23, Eric Dier, 24, Harry Kane, 24, dan Jesse Lingard, 25. Yang paling kecewa tentu pemuja sepak bola Amerika Latin. Tidak satu pun negara dari benua itu masuk delapan besar. Inilah Piala Dunia rasa Piala Eropa, yang membuat kecewa siapa pun penggemar Brasil dan Argentina.

Sepak bola Eropa berjaya, dengan memakan anak-anak sendiri, yaitu dua negara juara dunia, Spanyol dan Jerman. Spanyol korban arogansi pengurus federasi sepak bola negara itu yang mengganti manajer hanya sehari sebelum Piala Dunia dibuka. Jerman korban kemapanan sang manajer, Joachim Loew, yang mempertahankan pemain stok lama yang sukses meraih Piala Dunia 2014, padahal mereka mulai mengendur dan merosot.

Demikianlah, dari sudut pandang benua maupun negara, di Rusia rasanya terjadi keadilan kekecewaan publik sepak bola dunia atas tersingkirnya negara-negara besar dalam sepak bola. Lupakan Argentina, Brasil, Jerman, dan Spanyol. Senyatanya inilah era kejayaan negara-negara kecil, Belgia, dan Kroasia. Mereka kecil dalam dimensi apa pun, tapi sungguh hebat dalam sepak bola.

Tidak hanya negara-negara besar yang tumbang. Di Rusia nama-nama besar pun meredup. Saya termasuk yang memprediksi memudarnya Messi dan Ronaldo. Bahkan, saya menjadikan Lupakan Messi dan Ronaldo judul tulisan di hari pertama Piala Dunia, di surat kabar ini (Kamis, 14/6).

Pengagum dua superstar itu boleh sama-sama kecewa karena keduanya sama-sama gagal mengukir sejarah dunia untuk negara mereka. Lagi pula di Rusia, semua nama besar sepertinya habis begitu saja. Tidak kecuali seorang Neymar, yang bahkan dikritik keras karena dinilai beraksi teatrikal ketika menang melawan Meksiko.

Kecil itu hebat, itulah moral besar sepak bola Piala Dunia 2018. (R-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat