visitaaponce.com

Inses, Petaka yang Diam-Diam Mengancam Anak Perempuan di Keluarga

Inses, Petaka yang Diam-Diam Mengancam Anak Perempuan di Keluarga
()

TINDAK pemerkosaan inses kembali terjadi di Tanah Air. Kali ini kejadian yang memilukan tersebut terjadi di Lampung. Seorang anak perempuan yatim berinisial AG (18) menjadi korban inses atau hubungan sedarah yang dilakukan ayahnya, M (45), kakaknya, SA (24), dan adiknya, YF (15).

Menurut laporan kepolisian, para tersangka sudah menyetubuhi korban berulang kali sejak 2018. Kakak korban menyetubuhi korban hingga 120 kali dalam setahun, sedangkan adiknya 60 kali. Ayah kandung korban juga mengaku telah berkali-kali tega memperkosa anak yang seharusnya ia lindungi dan sayangi. Korban tidak kuasa melawan karena takut dan mengalami keterbelakangan mental.

Di luar kasus yang terjadi di Lampung, daftar terjadinya inses di Tanah Air dapat terus diperpanjang. Studi yang dilakukan LPI Universitas Airlangga (2018), dari hasil pemberitaan media massa menemukan paling tidak telah terjadi 137 kasus inses (2012-2017). Sementara itu, Komnas Perempuan mencatat sepanjang 2017, dari 9.409 kasus kekerasan seksual, 1.210 kasus di antaranya merupakan kasus inses.


Penyebab inses

Inses ialah salah satu bentuk tindak kejahatan kemanusiaan yang paling merugikan anak-anak perempuan yang menjadi korban. Berbeda dengan pemerkosaan pada umumnya yang biasanya terjadi dalam satu kesempatan, inses biasanya berlangsung dalam kurun waktu yang lama, bahkan bisa bertahun-tahun.

Inses secara sederhana dapat diartikan sebagai hubungan seksual antara kerabat dekat yang ilegal secara yurisdiksi dan/atau dianggap tabu secara sosial. Kata inses dipergunakan untuk menggambarkan tindak kejahatan seksual dalam keluarga, yang dilakukan biasanya oleh seorang ayah kepada anak perempuannya. Kata inses berasal dari bahasa Latin, yaitu insesus atau insesum, yang secara substantif diartikan sebagai ‘tidak suci’.

Di berbagai komunitas, tindakan yang dikategorikan inses umumnya agak berbeda-beda. Namun, semua komunitas umumnya sepakat bahwa inses ialah tindakan yang dikategorikan tabu dan tidak pantas dilakukan. Meski reaksi masyarakat berbeda-beda dalam menyikapi tindakan inses, tetapi secara umum masyarakat cenderung tidak memperbolehkan, bahkan mengutuk keras pelaku inses. Terlebih, jika kasusnya ialah seorang ayah yang melakukan pemaksaan kepada anaknya untuk bersedia melayani hubungan seksual. Perkosaan inses ialah tindakan yang dikutuk semua komunitas (Kathleen, 1993).

Dari hasil studi yang dilakukan Finkelhor & Browne (1985) dan La Fontaine (1990), diketahui salah satu pelaku tindak pemerkosaan inses terhadap anak perempuan ternyata tidak hanya ayah kandung dan ayah tiri korban, tetapi juga kakek, paman, atau kakak laki-laki korban. Namun demikian, jika dibandingkan dengan kakek dan kakak korban, sebagian besar kasus inses umumnya pelakunya ialah ayah kandung atau ayah tiri korban.

Kasus inses yang terjadi di berbagai daerah, peristiwa ini baru terbongkar biasanya setelah selang beberapa tahun kemudian tatkala korban sudah benar-benar tidak bisa menoleransi penderitaannya. Dalam kasus inses, perlakuan tidak senonoh umumnya dilakukan terus-menerus hingga bertahun-tahun dan baru terhenti ketika korban telah berhasil mengalahkan rasa ketakutannya atau pada saat peristiwa terkutuk itu diketahui orang lain.
Sejumlah faktor yang menjadi penyebab kenapa inses sulit dideteksi.
Pertama, sering terjadi. Kasus inses dibiarkan terpendam dan menjadi aib yang tersembunyi karena korban terus dibayang-bayangi ancaman pelaku atau karena ibu kandung korban sendiri enggan membuka kasus yang dialami putrinya ke publik dengan dalih demi nama baik keluarga.

Kedua, tingkat ketergantungan korban dan ibunya yang tinggi pada pelaku, baik secara sosial maupun ekonomi, sering kali membuat mereka harus berpikir puluhan kali sebelum melaporkan orang yang menghidupinya ke aparat kepolisian.  Tidak jarang terjadi, seorang ibu sudah lama mengetahui putrinya diperkosa ayah kandungnya memilih bungkam karena ketakutan terhadap ancaman dan kepastian kelangsung­an kehidupannya.


Peran ibu

Bagi siapa pun yang menjadi korban, tindak perkosaan sesungguhnya sebuah penderitaan yang jauh lebih dahsyat dari sekadar kehilangan harta benda. Perempuan korban perkosaan biasanya akan mengalami trauma psikologis yang tak terperikan dan pula mereka akan memperoleh stigma sebagai korban perkosaan dari masyarakat. Jika korban perkosaan ialah anak-anak, kemungkinan mereka dapat pulih justru akan jauh lebih sulit.
Mereka cenderung akan menderita trauma akut (Geiser, 1979).  Di berbagai kejadian, tindakan inses yang dilakukan ayah kepada anak perempuannya merupakan salah satu bentuk pelecehan pada masa kanak-kanak yang paling menyengsarakan, sering kali menjadi trauma psikologis yang serius dan berkepanjangan. Terutama dalam kasus inses yang dilakukan ayah yang semestinya melindungi dan menyayangi anak kandungnya sendiri (Kluft, 1990).

Berbagai studi telah membuktikan bahwa anak-anak yang menjadi korban inses, ketika tumbuh dewasa, mereka biasanya akan menderita rasa rendah diri, sering kali menemui berbagai kesulitan dalam hubungan interpersonal, bahkan mengalami disfungsi seksual. Anak korban inses juga berisiko tinggi mengalami gangguan mental, termasuk depresi, kecemasan, reaksi penghindaran fobia, gangguan somatoform, penyalahgunaan zat, gangguan kepribadian garis-batas, dan gangguan stres pascatrauma yang kompleks (Courtois, 1988; Trepper, 1989).

Untuk meningkatkan perlindung­an agar anak-anak perempuan tidak menjadi korban inses, sudah tentu ada banyak hal yang harus dilakukan. Kunci penting untuk mencegah kemungkinan terjadinya inses ialah pada peran ibu. Meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan ibu terhadap kemungkinan anaknya menjadi korban inses sangat penting disosialisasikan, baik melalui organisasi keagamaan dan kemasyarakatan maupun melalui jalur-jalur lain yang relevan.

Inses adalah tindak pemerkosaan yang terjadi dan tersembunyi di ruang-ruang privat keluarga. Tidak ada kata lain untuk mencegah kasus ini kecuali melalui pengembangan peran ibu.

Cara berpikir kaum ibu yang terlalu percaya kepada suami dan anak-anaknya tentu sah-sah saja dilakukan. Namun demikian, dalam beberapa hal, ibu juga perlu untuk sesekali melihat lebih kritis kondisi keluarganya untuk melihat apakah ada perubahan sikap yang janggal dari anak perempuan maupun pasangannya.

Ibu yang terlalu percaya kepada keluarganya tanpa mau jeli melihat kemungkinan buruk yang dapat terjadi pada anak perempuannya, jangan heran jika mereka akan menyesal di belakang hari.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat