visitaaponce.com

Bagaimana Sikap ASEAN terhadap Krisis Myanmar

Bagaimana Sikap ASEAN terhadap Krisis Myanmar?
(Musa Maliki Pengajar Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta Doktor lulusan Charles Darwin University (CDU), Australia)

PADA 1 Februari militer Myanmar (Tatmadaw) mengambil alih pemerintahan. Alasannya, pemilu ada kecurangan. Lalu, terjadi keributan protes sehingga Tatmadaw punya legitimasi untuk melakukan pengamanan dan penguatan pemerintahan yang dikuasainya.

Sebaliknya, respons dunia internasional, Tatmadaw melakukan kudeta atas pemerintah sipil. Mereka mengutuk tindakan militer Myanmar yang kini semakin brutal. Mereka tampaknya merasa berkewajiban mengutuk tindakan mereka atas nama perikemanusiaan dan perikeadilan. Mengutuk atau berseru atas nama ketidakadilan ialah kewajiban moral bagi setiap manusia (negara) ketika melihat ketidakadilan dan tindakan kekerasan.

Namun, apakah cara pengutukan itu sebenarnya menyelesaikan permasalahan tersebut atau faktanya, mereka ingin menampilkan pribadi yang suci dan yang dikutuknya ialah pribadi yang jahat dan kotor? Ada harapan besar bahwa krisis politik Myanmar bisa cepat terselesaikan. Namun, apakah dengan cara mengutuk dan memberi sanksi ekonomi bisa menyelesaikan masalah?

Kini, korban meninggal bertambah di atas 60-an orang, yang dipenjara ribuan, dan yang luka-luka ratusan. Yang mengerikan, kini tentara sudah mulai melakukan teror. Para demonstran ditembak kepalanya dengan sniper-sniper. Para penjahat dan tahanan politik yang melakukan kekerasan, justru dikeluarkan dari penjara untuk mengacau masyarakat pedemo. Permasalahan menjadi semakin rumit.

 

Barat menambah masalah

 

Sukma (2021) berargumen bahwa negara-negara Barat hanya melakukan pengutukan dan nonton CNN dan mengutuk lagi. Hal ini tidak bisa menyelesaikan masalah, tetapi justru memperkeruh masalah. Demikian pula Rosyidin (2021) dan Yhome (2018) yang membuktikan bahwa hukuman sanksi ekonomi atas Myanmar dari negara-negara Barat tidak akan efektif berdasarkan fakta-fakta sejarah.

Hal ini senada dengan pernyataan Kishore Mahbubani (2021) sering berdialog dengan mantan Sekjen PBB, Kofi Annan. Mereka berargumen bahwa sanksi negara-negara Barat, termasuk pengucilan terhadap negara yang berkonflik, dalam konteks ini Myanmar, tidak akan dipedulikan, tetapi justru menyengsarakan rakyat Myanmar.

Menurut Nyun (2008), tindakan sanksi unilateral, khususnya AS, terbukti gagal di mana-mana. Tindakan AS hanya memuaskan para aktivis demokrasi dan HAM serta menampilkan pribadi AS yang moralis. Namun, masalah justru bertambah runyam. Karena daerah konflik justru menjadi lahan proyek bagi aktor-aktor internasional dan media Barat.

Perwakilan reporter PBB (2021) menyarankan sanksi embargo senjata terhadap Myanmar, sekaligus menginvestigasi dan menghukum kejahatan perang dan kemanusiaan, seperti pelaku genosida. Kekuatan Barat, telah berkali-kali memberi sanksi kepada para Jenderal Myanmar, khususnya 41 negara telah melakukan embargo militer ke Myanmar. Namun, diperhatikan dengan saksama, Tatmadaw justru semakin brutal terhadap para sanderanya (warga negaranya), yakni dengan terus membunuh para demonstran secara bertahan dengan cara-cara teror. Cara ini tidak dilakukan pada saat Gerakan 888 Upraising (1988).

Konteks sekarang pun berbeda dengan perlawanan 1988 sebab keduanya tampaknya sama-sama keras kepala dan keduanya sangat militan dan solid. Jika diteruskan dan dibiarkan, tragedi berdarah pasti akan terjadi lebih masif.

 

Harus bijak

 

Warga Myanmar ‘disandera’ Tatmadaw seharusnya kita menenangkan terlebih dahulu pihak yang kuat, emosional, dan memiliki senjata dengan mengajak bicara. Jadi, bukan memprovokasi keadaan, khususnya media Barat sehingga Tatmadaw justru akan lebih brutal.

Tindakan para pegiat demokrasi dan HAM, para pengutukan Tatmadaw, PBB, negara-negara Barat, dan para sarjana HI yang berpandangan liberal benar bahwa semua tindakan Tatmadaw ialah salah dan perlu hukuman. Namun, penyelesaian masalahnya bukan dengan cara-cara gegabah, sama-sama dengan kekerasan atau sanksi-sanksi yang represif yang kurang bersahabat.

Problem tragedi Myanmar dapat dicegah sedini mungkin demi keselamatan warga Myanmar. Pilihannya tentunya bukan dengan cara-cara coboy AS dan sekutunya, seperti yang dilakukan di Irak dan Suriah.

Namun, pilihannya ialah dengan cara-cara ASEAN way, yakni berdialog secara persuasif terus-menerus dengan Tatmadaw. Jangan sampai ASEAN terjebak pada cara-cara Barat yang secara idealis-moralis justru memperpanjang urusan.

Problem krisis Myanmar ialah masalah yang perlu diatur, diredam, karena konflik kekuasaan sulit dihapus sama sekali. Menuju pintu demokrasi perlu perjuangan panjang dan melelahkan seperti sejarah revolusi Amerika, Prancis, dan Inggris.

 

Solusi alternatif

 

Apa yang paling realistis dilakukan dalam menyelesaikan krisis Myanmar? Utamanya ialah keselamatan warga Myanmar dari tindak brutal Tatmadaw. Pertemuan informal para Menteri Luar Negeri ASEAN pada 2 Maret 2021 merupakan lompatan awal penyelesaian konflik Myanmar. ASEAN masih berusaha menahan diri dalam pernyataannya.

Hal itu berbeda dengan cara-cara masyarakat (Barat) internasional, termasuk medianya. Hal ini tidak berarti ASEAN lembek. Di sini ASEAN jelas bijak dalam berkata-kata, tetapi memang mendapat tantangan dari pejuang demokrasi dan HAM, khususnya para demonstran prodemokrasi yang mendemo KBRI di Myanmar.

ASEAN selalu memulai dengan kerangka besarnya: ASEAN ialah keluarga besar yang saling menjaga, peduli, dan damai bersama dalam sebuah kawasan. Jika dalam keluarga besar ini terdapat keluarga yang bermasalah, sebaiknya dibicarakan dengan baik-baik secara pribadi terlebih dahulu.

Dalam hal ini, pembicaraannya tidak perlu didengar publik (internasional) sebelum masalah mereda. Jika ada campur tangan semua pihak dan media Barat justru berbisnis berita dalam konflik ini, masalahnya menjadi lebih rumit dan kompleks.

Secara publik, ASEAN mengeluarkan pernyataan: ASEAN peduli atas situasi Myanmar dan sebaiknya semua pihak yang bersengketa menahan diri agar tidak terjadi tindak kekerasan. Semua pihak harus mencari solusi damai, bukan malah terus bentrok. Cara-cara dialog konstruktif dan rekonsiliasi demi keberlangsungan kehidupan bersama ialah penting.

Oleh sebab itu, ASEAN membuka pintu lebar-lebar untuk membantu Myanmar secara positif, damai, dan tindakan konstruktif.

Terkait dengan ringkasan pernyataan ASEAN di atas, solusi ASEAN bukanlah memaksakan implementasi demokrasi dan penghukuman secepat mungkin. Namun, utamanya ialah keselamatan para warga Myanmar (‘sandera’) dan normalisasi kondisi menjadi stabil terlebih dahulu apa pun bentuk sistem negaranya.

Niatan baik ASEAN ini memang sering kali disalahpahami banyak pihak, seolah-olah jika bernegosiasi dengan Tatmadaw, ASEAN, menurut pejuang demokrasi dan HAM, pro-Tatmadaw. Permasalahan krisis Myanmar perlu diselesaikan dengan proses yang lama, panjang, dan penuh kesabaran.

ASEAN selama ini sudah cukup mengalami berbagai urusan politik domestik dan bilateral anggotanya. Dengan niatan baik berdialog, dari hati ke hati, ASEAN bisa membawa kembali ke meja perundingan. Solusi terbaiknya ialah stabilitas dan perlindungan warga Myanmar lebih utama.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat