visitaaponce.com

Era Vuca HAM Dalam Wilayah Gaya Hidup

 Era Vuca HAM Dalam Wilayah Gaya Hidup
Aji Sakti Pramono(Dok pribadi)

HAK hidup (hak asasi) lebih baik, nyaman, aman adalah hak setiap individu untuk melangsungkan kehidupannya. Namun, perubahan sosial, ekonomi, gaya hidup, dan regulasi dapat saja menekan, memengaruhi bahkan menghancurkan semua kenyamanan-kenyamanan tersebut. Posisi hak asasi sering kali berdiri dalam wilayah abu-abu, bahkan terkadang sulit sekali dihindari. Kadang hadir begitu saja dalam kehidupan, apakah ini benar, cocok, atau tidak dapat mengetahui nilai-nilai baru yang hadir begitu saja, tanpa dikehendaki. 

Perjalanan kehidupan dan waktu saling menggerus dan menghancurkan nilai-nilai masa lalu, itu pun tanpa kita sadari. Dengan demikian perubahan dan fenomena sosial menghempaskan eksistensi individu dalam ranah era VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity), terbelah. Tidak menutup kemungkinan akan tercabut dari akar-akar muatan lokal yang ratusan tahun telah menjadi mitos kehidupan leluhurnya. 

Setiap individu pastinya akan terikat dan terkoneksi oleh tiga hal, yakni kondisi geografis, lingkungan, dan nilai tradisi (muatan lokal). Kondisi geografis yang dimaksudkan adalah sebuah tempat seseorang individu dilahirkan pada sebuah kondisi tertentu terkait tempat itu. Dia akan memiliki kenangan mendalam dan terus selalu diingat sampai kapanpun. Oleh sebab itu, fenomena mudik sebagai contoh penting yang selalu berulang (menjadi budaya), terus dan akan terjadi sampai kapan pun (kontinuitas). 

Kampung halaman (geografis) merupakan makna penting bagi masyarakat Jawa khususnya. Di sana ada sanak keluarga, orang tua, atau makam orang tua. Di sinilah ikatan emosional telah terbangun sejak lama. Oleh sebab itu jika di 'hari baik' mereka tidak mudik, ada sesuatu yang hilang dalam hidup. Ada sejumlah alasan untuk memenuhi kenangan-kenangan indah. Fenomena tersebut menjadi lebih jelas ketika pikiran, hasrat yang tumbuh secara alami akan terawat dengan baik, dan selalu tumbuh subur di alam bawah sadar manusia (laten). 

Dengan demikian dapat dipahami kerinduan itu hadir dan mengganggu terus menerus untuk kembali kepada apa yang pernah dialami di masa lalu. Tradisi selalu dihubungkan dengan partisipasi individu yang berkaitan dengan komunitas dalam membentuk nilai-nilai. Tidak saja pada kepentingan praktis akan tetapi juga pada kelangsungan mitos-mitos (nilai-nilai kesakralan) pada masa lalu (yang telah dilakukan oleh leluhur). Nilai-nilai itu menjadi suatu panutan (teladan) yang menjadi inspirasi dan aspirasi kolektif untuk kepentingan bersama dan dapat belajar bertoleransi antarindividu.
 
Generasi kontemporer

Setiap jaman akan memiliki anak jaman. Demikian juga pada selera hidup, cara hidup, pikiran hidup, juga tantangan hidup. Masyarakat yang masih setia dan memilih hidup dengan mitos-mitos lama, akan segera punah dengan desakan-desakan dan perubahan sosial yang demikian cepat bahkan berubah terus menerus (kontemporer). 

Generasi hari ini telah mengubah dan memasuki tradisi baru yang disebut kontemporer, semuanya serbacair. Mereka tidak perlu susah-susah, instan, minta dilayani, semuanya menyangkut bagaimana memanjakan diri. Sedangkan anak-anak yang dilahirkan dari tradisi masa lalu, menganggap leluhur mereka sebagai artefak historis. Pendek kata mereka telah menjadi bagian dari masyarakat global, yang memiliki spirit generalisasi dan transaksional dalam memaknai kehidupannya. 

Sekali lagi ini menjadi fenomena ketika semua jadi prosedur massal, bahkan individual. Identitas mulai lagi dipertanyakan tentang eksistensi manusia hidup yang jauh dari makna-makna batiniah jika dilihat lebih jauh. Persoalan identitas adalah hal yang mendasar dari produk kebudayaan yang sebenarnya (HAM).

Spirit wilayah, seperti dalam prolog di atas, keterikatan individu sangat kuat. Sebab di dalam wilayah tidak saja terkait dengan ruang visual, ada juga ruang-ruang emosional yang terjalin dengan kuat. Dengan demikian setiap individu akan membentuk karakter yang dapat dilihat dari mana dia berasal, karena logat bicara, cara berpakaian, pola berfikir, dan seterusnya. 

Namun, dengan banyaknya waktu spirit wilayah yang melekat tersebut dapat saja bergeser bahkan tercerabut dari akarnya sebagai akibat proses adaptasi, kepentingan, arus besar (gaya hidup) lebih dominan, bahkan lebih dibutuhkan. Hal itu sepertinya dapat memberikan kepuasan dengan pelayanan-pelayanan yang lebih mempesona sebagai ilustrasi kejadian pada sebuah wilayah pinggiran, yang masyarakatnya adem ayem. 

Mereka hidup dalam keseharian dengan nilai-nilai tradisi yang masih sangat kental. Toleransi tinggi dalam hubungan sosial sangat kuat sebagai masyarakat agamais. Desa selalu memesona dalam dimensi hubungan sosial yang secara tiba-tiba dibangunlah supermarket sebagai pusat perbelanjaan modern. Isu tentang gaya hidup tidak saja berurusan dengan hal-hal kebutuhan batin saja. Pola ini sudah mewabah hampir di keseluruhan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang sedang mengenal dan dipengaruhi oleh teknologi informasi. 

Dunia menjadi ruang transaksional ketika urusan nilai tidak dipentingkan lagi dengan kehilangan nilai-nilai humanitas. Kekacauan ini merupakan perumpamaan simbol-simbol baru yang menjadi keniscayaan. Walaupun HAM, hak privat telah memorak-porandakan sendi-sendi keluhuran budi manusia di masa lalu. Individu menjadi bagian perubahan tanpa perlu merendahkan perlunya identitas.
 
Bourdien (Beurdriev, 1984:370) menyebut, "Diklasifikasikan, dideklasifikasikan, bercita-cita mencapai kelas lebih tinggi, mereka menganggap dirinya tidak dapat diklasifikasikan, tercampakan, dikeluarkan, marginal, dan tidak dapat tertera, terekam, termasuk dalam satu kelas, menduduki suatu tempat di ruang sosial."
 
Karakter dan identitas adalah simbol HAM yang paling utama. Seorang individu akan dianggap memiliki eksistensi jika memiliki daya juang hidup, dihormati lingkungan karena kemampuan. Hal tersebut dapat terbaca dengan melihat cara berfikirnya, dari mana dia berasal dan punya peradaban.

Modernitas dan teknologi komunikasi memberikan pengaruh sangat kuat. Dapat mengubah gaya hidup yang lama dan terpesona untuk hidup dengan gaya hidup baru yang memberikan ruang selalu saja dapat membelokan nilai-nilai tradisi masa lalu, untuk memperoleh status sosial baru. Dengan demikian individu akan dapat tercabut dari identitas lama. Sedangkan identitas baru belum tentu tepat dan benar, sebab terlalu instan dan tidak dipahami, sehingga individu tersebut dapat membunuh hak-hak asasi lamanya.

Kecuali dapat menjadikan seorang individu mengalami kemiskinan serius jika tidak kreatif dan tidak mampu memilih jalan hidup. Sebab tidak ada regulasi yang secara utuh memberikan kebaikan-kebaikan yang maksimal dan humanis. Identitas merupakan sesuatu yang utama dalam kehidupan individu. Diperlukan sikap toleransi, empati dari semua pihak utamanya pelaku niaga (kapital) agar tidak terus menerus mementingkan kepentingan semata. Perlu kesadaran kolektif agar dapat menciptakan kepentingan bersama demi terwujudnya hidup lebih berkualitas.

Teknologi adalah alat bahkan jebakan, apalagi bila diperlakukan sebagai mitos sempit (pemujaan berlebihan) terhadap keberadaannya. Regulasi yang ideal adalah yang berbasis nilai-nilai kemanusiaan, memahami makna hidup dan selalu kreatif agar dapat hidup tidak bergantung pada ketidakpastian.

Peserta Workshop Membangun Citra Kehumasan BPSDM Kementerian Dalam Negeri 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat