visitaaponce.com

Ramadan dan Transformasi Religiositas

Ramadan dan Transformasi Religiositas
Khoiruddin Bashori Dewan Pengawas Yayasan Sukma Jakarta(Dok. Pribadi)

TIDAK terasa sekarang ialah tahun ketiga Ramadan di tengah pandemi. Harapan umat untuk menyambut Ramadan dengan gegap gempita tampaknya masih belum dapat diwujudkan. Meski aneka pembatasan sudah tidak lagi seperti dua tahun sebelumnya, umat tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Pandemi belum pergi. Protokol kesehatan (prokes) tetap harus ditegakkan. Omikron atau entah varian apa lagi namanya, tidak boleh dipandang sebelah mata. 'Tuhan menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya’ (QS 67:2).

Berpuasa, sebagaimana diperintahkan kepada umat-umat terdahulu, dimaksudkan agar manusia semakin bertakwa (QS 2:183), semakin dekat dengan Tuhan dan baik kepada sesama. Kualitas demikian dapat dicapai manakala terjadi transformasi spiritual. Perbaikan keberagamaan sebagai buah dari puasa yang dilakukan dengan imanan wahtisaban, penuh keyakinan dan harapan. Sebuah laku spiritual yang tidak terjebak dalam formalitas ritual, tetapi lebih pada penghayatan dan pemaknaan yang mendalam dan kontekstual.

 

Kesadaran moral baru

Manusia diciptakan untuk memakmurkan dunia (QS 11:61). Tugas berat ini dapat terlaksana jika semangat awalnya ialah lillah. Setiap karya kemanusiaan yang dilakukan, tidak ada maksud lain kecuali sebagai wujud ibadah, bakti hamba kepada Yang Mahakuasa (QS 51:56). Kesalehan pribadi yang dibangun dilanjutkan dengan kesalehan sosial. Kebaikan hubungan manusia dengan Tuhan harus disertai dengan kepedulian yang kuat kepada kemanusiaan. Keasyikan pribadi dalam mendekatkan diri kepada-Nya, harus diteruskan dengan upaya konkret untuk menghadirkan kesejahteraan bersama.

Orang yang berpuasa semestinya dapat mewarisi kemuliaan akhlak para Nabi. Mengganti egosentrisme yang sering mendominasi aktivitas keseharian dengan semangat berbagi manfaat (al-Ma’un). Berbeda dengan motivasi berprestasi (nAch)-nya McCleland yang mendasarkan prestasi pada kemajuan pribadi, spirit al-Ma’un mengupayakan prestasi dengan mengaitkannya pada pelayanan umat. Orang harus berprestasi tinggi agar dapat menyejahterakan orang lain, agar hidupnya lebih bermanfaat. Motivasi berprestasi ala McCleland sering kali melahirkan egoisme, sementara spirit al-Ma’un mengusung altruisme. Pribadi dengan spirit al-Ma’un memiliki kecenderungan mengganti egoisme dengan keberpihakan yang kuat pada kesejahteraan rakyat.

Dengan berpuasa, kita belajar mentransformasikan kesadaran moral dari heteronom menjadi otonom. Kesadaran moral heteronom ialah sikap seseorang manakala memenuhi kewajiban moralnya bukan karena keinsafan bahwa kewajiban itu memang pantas dipenuhi, melainkan lebih karena merasa tertekan, takut berdosa, takut dikutuk Tuhan. Kesadaran moral heteronom demikian harus dikembangkan menjadi kesadaran moral baru yang lebih autentik.

Manusia perlu terus melatih diri untuk beralih kepada sikap moral yang sebenarnya, yaitu kesadaran moral otonom. Suatu kesadaran untuk menaati kewajiban moral karena yang bersangkutan sadar benar akan makna yang menjadi kewajibannya. Otonomi moral tidak berarti bahwa manusia menolak hukum yang disepakati bersama, tetapi menerimanya karena yang bersangkutan insaf akan perlunya hukum tersebut bagi kehidupan bersama. Manusia melakukan kewajiban bukan karena sesuatu yang dibebankan dari luar, melainkan lebih karena kesadaran diri bahwa itu memang sesuatu yang bernilai.

 

Transformasi religiositas

Religiositas berasal dari kata religi, Inggris: religion, Arab: al-diin, yang berarti agama. Religi menunjuk pada aspek-aspek formal yang berkaitan dengan aturan dan kewajiban agama. Sementara itu, religiositas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati pemeluknya dalam hati. Religiositas ialah internalisasi nilai-nilai agama dalam diri seseorang.

Internalisasi ajaran-ajaran agama ini tidak hanya bersemayam di dalam hati, tetapi juga terlihat dalam ucapan dan tindakan. Ramadan diharapkan menjadi wahana transformasi religiositas menuju derajat takwa yang sesungguhnya. Prosesnya dapat dilakukan dengan tilawah, ta’lim, kitabah, hikmah, dan tazkiyah (QS 2:129).

Tilawah merupakan kebiasan untuk mambaca fenomena secara mendalam. Membaca kitab suci, buku, dan pengalaman dengan permenungan reflektif. Makna tilawah lebih dalam dari sekadar qiro’ah. Meski keduanya sering diterjemahkan dengan membaca, tilawah ialah membaca diikuti dengan memahami maknanya. Pemaknaan mendalam terhadap realitas inilah yang akan menghadirkan kearifan. Tanpa pemaknaan, pengalaman hanya akan dikenang seperti gambar yang tidak cukup memiliki arti.

Ta’lim merupakan proses berbagi inspirasi. Hasil bacaan mendalam sebagaimana dilakukan dalam tilawah tidak hanya dinikmati sendiri, tetapi juga dibagikan kepada orang lain melalui berbagai media. Pengajian, kultum, pembelajaran di kelas, pembaruan status di medsos, dan aneka saluran komunikasi sosial lainnya. Ta’lim tidak saja bermanfaat bagi liyan. Bagi yang membagikan, hal itu dapat berfungsi sebagai afirmasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), afirmasi adalah penetapan yang positif. Afirmasi juga dapat dipahami sebagai penegasan atau peneguhan. Manakala proses berbagi inspirasi sering dilakukan, berarti yang bersangkutan telah melakukan penguatan terhadap internalisasi nilai-nilai luhur ke dirinya. Kitabah adalah membiasakan diri menuliskan gagasan, pemikiran, argumen, dan perasaan hati.

Menurut Suyono (2014), menulis merupakan proses berpikir yang paling sempurna. Melalui menulis, seseorang akan terbiasa menyajikan informasi dan pemahamannya tentang sesuatu dengan selengkap-lengkapnya. Oleh karena itu, selain membaca, kita sebaiknya berusaha membiasakan diri menuliskan apa pun yang sedang dipelajari. Menulis menuntut kita belajar mengurutkan sesuatu secara lebih terstruktur dan mengklasifikasi hal-hal yang akan ditulis secara logis. Alangkah indahnya jika membaca, berdiskusi, merenung, dan menulis berada dalam satu tarikan napas.

Hikmah berarti kebijaksanaan, arti atau makna yang mendalam (KBBI). Ahli hikmah ialah mereka yang selalu dapat menemukan makna terdalam dari setiap kejadian. Seperti kata Ali bin Abi Tholib, "Hiburlah hatimu, siramilah ia dengan percikan hikmah. Seperti halnya fisik, hati juga merasakan letih." Kelelahan mental merupakan keadaan psikologis yang disebabkan aktivitas kognitif yang berkepanjangan dan dicirikan dengan perasaan subjektif, seperti 'letih' dan 'kekurangan energi'. Menjaga kesehatan mental merupakan suatu hal yang sangat penting. Ahli hikmah dapat mengubah lelah menjadi lillah. Mentransformasikan keletihan menjadi pengabdian yang tulus dalam menggapai rida Ilahi.

Pada akhirnya orang yang berpuasa harus melakukan tazkiyah, upaya untuk membersihkan hati. Menghilangkan penyakit hati seperti dengki, iri, dan sombong untuk selanjutnya diganti dengan akhlak mulia. Ramadan ialah bulan 'pembakaran' sampah kehidupan. Memperbanyak istigfar, memohon ampunan Tuhan, semoga menjadi kebiasaan setiap orang yang berpuasa. Kebersihan hati mempermudah masuknya 'cahaya' Ilahi ke hati. Dosa ibarat noda hitam yang mengotori jiwa. Cermin yang kotor sulit untuk mengaca diri. Ya Allah, ampuni dosa-dosa kami. Bersihkan hati ini hingga mudah menerima petunjuk-Mu. Amin.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat