visitaaponce.com

Merawat Keberlangsungan DBON

Merawat Keberlangsungan DBON
(MI/Duta)

KEBERLANGSUNGAN desain besar olahraga nasional (DBON) belakangan ini semakin santer memanas menjadi topik di tengah pembicaraaan publik olahraga di Tanah Air. Berbagai spekulasi publik pun muncul mengaitkannya dengan sikap Menpora Zainudin Amali yang mengundurkan diri agar lebih fokus sebagai Wakil Ketua Umum PSSI periode 2023-2027. Selain itu untuk menghindari conflict of interest.

Spekulasi utama pengunduran diri Zainudin dikaitkan dengan kekhawatiran akan  keberlangsungan DBON, yang terlahir melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2021. DBON tak dapat dipisahkan dengan kiprah Menpora yang telah membidani sekaligus untuk mengawal dan, mestinya, mengasuh. Hanya, perencanaan strategis terkait keolahragaan nasional tersebut, terancam ‘mati suri’ karena belum adanya kejelasan dengan anggaran khususnya dari APBN (CNN Indonesia, 22/2).


Bukan sekadar program akselerasi

Indonesia sebelum ada DBON, pernah memiliki pengalaman panjang dan berlapis dalam membuat program akselerasi prestasi olahraga nasional, seperti Garuda Emas, Program Atlet Andalan (PAL), Indonesia Bangkit, serta Program Indonesia Emas (Prima).  Prima dihapus karena alasan untuk memangkas birokrasi tata kelola olahraga.

Setelah itu, terbitlah Perpres Nomor 95 Tahun 2017 tentang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON). PPON dalam perjalanannya mengalami komplikasi, terkendala secara teknis dalam implementasi di lapangan. Hal itu terjadi karena terkesan meniadakan peran KONI, yang secara faktual berperan sebagai organ penghela olahraga prestasi, khususnya di Indonesia.

Program-program akselerasi prestasi olahraga nasional yang pernah ada tersebut, tentunya lahir karena didasari oleh niat mulia meningkatkan performa olahraga prestasi nasional. Semua diniatkan untuk perencanaan jangka panjang walaupun kemudian dalam perjalanannya terkendala persoalan teknis, terutama atas nama pertimbangan efisiensi dalam implementasinya. Efisiensi tentu lebih berhubungan dengan aspek kecukupan dan ketersediaan penganggarannya. Di samping berbagai kendala tata kelola seperti adanya tumpang tindih dengan peran lain yang sudah ada, pergeseran nilai relevansi, serta aspek disfungsi. Bagaimana dengan sisi keunikan Perpres Nomor 86 Tahun 2021
tentang DBON? 

Pertama, DBON terlahir dan hadir sebagai hasil metamorfosis program sebelumnya. Namun, DBON semestinya bukan dimaknai sekadar program akselerasi percepatan prestasi olah raga nasional secara ansich. Pengalaman sebelumnya tentu menjadi feed back yang berharga bahwa keinginan fokus pada akselerasi menimbulkan fenomena eksklusif, yang menyebabkan produk performa olahraga justru terpisahkan dari wujud keunggulan ekosistem keolahragaan.

Prinsip ekosistem selalu memadukan komponen ABC, yakni A = lingkungan abiotik, B= lingkungan biotik, serta C = culture. Dalam hal ini tidak terlalu salah ketika ada klaim bahwa DBON itu sebuah perencanaan strategis ke olahragaan yang sebelumnya belum pernah ada.

Kedua, DBON sebagai sebuah rencana besar sebenarnya telah on the right track, karena memiliki tujuan komprehensif keolahragaan nasional. Tujuan yang mengikat komponen-komponen ekosistem  keolahragaan dalam sebuah kekuatan terpadu, yang dalam jangka menengah dan panjang akan saling me nguatkan. Tujuan tersebut meliputi: 1) meningkatkan budaya olahraga, 2) meningkatkan kapasitas, sinergitas, dan produktivitas olahraga prestasi, dan 3) meningkatkan ekonomi nasional berbasis olahraga.

Ketiga, sebagaimana telah termaktub sangat jelas dalam Pasal 2 Ayat 2 PP 86/2021, DBON berfungsi untuk memberikan pedoman bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, organisasi olahraga, induk organisasi cabang olahraga, dunia usaha dan industri, akademisi, media, dan masyarakat dalam penyelenggaraan keolahragaan nasional sehingga pembangunan keolahragaan nasional dapat berjalan secara efektif, efisien, unggul, terukur, akuntabel, sistematis, dan berkelanjutan. Poin pentingnya adalah, DBON hadir sebagai sebuah haluan yang menggerakkan seluruh stakeholder olahraga. Hal tersebut sekaligus menjadi koreksi pada program akselerasi sebelumnya yang condong pada kinerja ‘kepanitiaan besar  olahraga prestasi’ yang tanpa sengaja acapkali ‘memarjinalkan’ peran-peran komponen olahraga lain yang dianggap kurang relevan untuk tujuan capaian prestasi.


Mengupayakan keberlangsungan

Pertama, penguatan simbiosis tata birokrasi terkait dengan irisan peran strategis terbaik yang bisa dimainkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Dalam serangkaian acara sosialisasi DBON di beberapa kota besar, terdapat berbagai respons penting yang diperoleh dari para pemangku kepentingan yang berada di daerah, termasuk juga beberapa respons dari unsur akedemisi di perguruan tinggi setempat.

Bahkan ada beberapa koreksi dan pertanyaan kritis terkait dengan perlunya harmonisasi dan sinergitas regulasi. Hal teknis termasuk tupoksi dan penganggaran APBN/APBD di daerah, acapkali terkendala oleh aneka regulasi yang belum ‘bersimbiosis’, meskipun DBON itu lahir oleh sebuah perpres.

Kedua, implementasi awal DBON dengan melibatkan peran perguruan tinggi keolahragaan (PT-Kor) pantas diapresiasi. Setidaknya sudah ada empat PT-Kor, yakni UNJ Jakarta, UPI Bandung, Unnes Semarang, dan Unesa Surabaya. Keempat PT-Kor tersebut dipercaya untuk mengemban fungsi sebagai Sentra Latihan Olahragawan Muda Potensial Nasional (SLOMPN). Bahkan mulai 27 Juli 2022, PT-Kor menjadi lebih sibuk karena harus menjalani fungsi baru sebagaimana pusdiklat cabor-cabor prioritas DBON.

Ke depan, PT-Kor sebaiknya lebih diperankan sebagai kontributor tahap ‘pelatihan performa tinggi atlet’ melalui pembuktian peran Ilmu pengetahuan dan teknologi terdepan yang berhasil dikembangkan oleh PT Korse Indonesia. Tim Koordinasi DBON sebaiknya melakukan kerja sama dengan Kemdikbudristek dan BRIN. Pasalnya, akademisi dan peneliti produktif iptek olahraga sangat mungkin tersebar di berbagai fakultas dan universitas di Indonesia.

Ketiga, memperbaiki formula sumber pendanaan olahraga secara nasional, yang tidak mengerucut pada ketergantungan di postur
APBN/APBD semata. Tatkala mandatory spending (MS) olahraga dari APBN sangat sulit terwujud (karena faktanya MS sudah di atas 70 %), kreativitas penganggaran olahraga perlu dibangkitkan formulanya. Tujuan DBON yang ketiga, yakni menumbuhkan ekonomi berbasis olahraga dengan pengembangan sport industry dan sport tourism, agaknya memang sangat relevan dengan persoalan pemerolehan anggaran mandiri
olahraga. 

Dana perwalian sebagaimana telah cukup sukses di pendana bidang kebudayaan, perlu diimplementasikan di olahraga. Sumber dana corporate social responsibility (CSR) di kedepankan seiring dengan penguatan peran para pengusaha/industri.

Dalam pandangan masyarakat awam, kemungkinan buruk ‘mati surinya’ DBON tentu merupakan fakta yang sulit untuk dipercaya. Pasalnya, DBON itu bukankah sudah sangat luar biasa dalam mengerahkan segenap kekuatan terkuat bangsa untuk olahraga? Tim Koordinasi Pusat diketui langsung Wakil Presiden, wakil ketua adalah Menko PMK, ketua pelaksana merangkap anggota adalah Menpora, sedangkan anggota tim terdiri dari 12 menteri terkait. Tim Koordinasi provinsi diketuai gubernur, sedangkan di kabupaten/kota diketuai bupati/wali kota. Artinya, keberlangsungan DBON di daerah pun semestinya di-back up secara full team oleh 34 gubernur dan 500-an bupati/wali kota. Merawat keberlangsungan DBON merupakan sikap menerima tantangan dan effort kebangsaan yang semestinya tumbuh secara optimis, siapa pun yang nantinya akan menjadi ketua pelaksananya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat