visitaaponce.com

Mengambil Hikmah dari Kebangkrutan Silicon Valley Bank

Mengambil Hikmah dari  Kebangkrutan Silicon Valley Bank
(MI/Seno)

KENAIKAN agresif suku bunga acuan the Fed selama setahun terakhir tampaknya mulai memakan korban. Silicon Valley Bank (SVB) kolaps pada Jumat (10/3) setelah 48 jam bank tersebut bangkrut dan mengalami krisis modal. Keruntuhan SVB sontak memicu kepanikan nasabah menarik uang dari bank tersebut.

Kepanikan itu bisa dimaklumi, lantaran SVB merupakan bank yang berspesialisasi dalam pembiayaan usaha rintisan di bidang teknologi (startup), dan berstatus bank AS terbesar ke-16 berdasarkan aset. Kegagalan SVB juga menjadi yang terbesar selepas Washington Mutual bangkrut pada 2008.

Spekulasi pun muncul. Peristiwa SVB dianalogikan dengan keruntuhan perusahaan investasi Lehman and Brothers yang memicu krisis keuangan global 2008. Trauma atas dampak krisis keuangan yang sempat melumpuhkan perekonomian dunia selama beberapa tahun berselang agaknya belum sirna betul.

Kebangkrutan lembaga keuangan, dalam tinjauan konseptual memang memberikan implikasi yang panjang. Lembaga keuangan menjalankan fungsi intermediasi finansial antara pihak yang berlebih dana dan pihak yang butuh dana. Pihak berlebih dana mempercayakan pengelolaan dana pada lembaga keuangan.

Lembaga keuangan lantas menyalurkan kepada pihak yang butuh dana. Persoalan informasi tak simetri muncul di sini. Di satu sisi, pemilik dana tidak mengetahui ke mana lembaga keuangan menyalurkan dananya. Di sisi lain, lembaga keuangan juga mengalami keterbatasan informasi atas pihak yang butuh dana.

Oleh karena itu, dalam tataran yang paling sederhana, kebangkrutan sebuah lembaga keuangan bisa berawal dari hasrat tinggi dalam menyalurkan dana nasabah kepada debitur. Semakin besar dana yang disalurkan, akan semakin besar pula ekspektasi imbal hasil yang bakalan didapat lembaga keuangan.

Namun, sudah menjadi hukum alam, imbal hasil yang besar senantiasa diikuti oleh risiko yang tinggi pula. Ekspektasi imbal hasil yang besar sering menggulung perhitungan rasional atas semua potensi risiko yang muncul. Jelasnya, kesalahan manajemen dana menjadi sumber kebangkrutan lembaga keuangan.

Penjelasan di atas agaknya cocok untuk kasus Lehman and Brothers. Tumbangnya Lehman and Brothers lebih didorong dari persoalan yang muncul dalam lembaga keuangan itu sendiri. Ketidakseimbangan dalam mengelola risiko keuangan diklaim sebagai musabab utama kejatuhan Lehman and Brothers.

Kalaupun manajemen risiko sudah ketat dilakukan, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Sumber kegagalan bank dalam menjalankan fungsi intermediasi bisa karena kinerja buruk pihak yang butuh dana. Debitur tidak mampu menunaikan kewajiban finansialnya sehingga lembaga keuangan ikut terdampak.

Pada titik ini, kebangkrutan Washington Mutual menjadi contoh kasus yang amat pas. Washington Mutual banyak mendanai kegiatan usaha yang mengandalkan pada teknologi internet. Bisnis ‘dotcom’ yang ketika itu boom, pada akhirnya, membawa gejolak pada sektor keuangan. Catatan sejarah itu agaknya berulang.

 

Titik kulminasi

Runtuhnya SVB merupakan titik kulminasi dari rentetan kejadian sebelumnya. Perusahaan rintisan berbasis teknologi informasi debitur SVB pada awal berdiri getol menerapkan strategi ‘bakar uang’. Mereka ‘bersedia’ menanggung kerugian untuk sementara guna membangun ekosistem bisnisnya.

Strategi ‘bakar uang’ itu belakangan terbukti tidak efektif dalam menarik minat calon konsumen. Sementara, penyandang dana dari usaha rintisan sudah ‘gatal’ ingin menikmati imbal hasil dari dana uang diinvestasikan. Kredit macet dalam jumlah besar di sektor ini, agaknya menjadi bukti yang meyakinkan.

Kredit seret disiasati dengan perampingan usaha, bahkan pemutusan hubungan kerja terhadap sebagian besar karyawannya. Ikhtiar itu agaknya tidak banyak menolong. Perusahaan rintisan masih saja tidak mampu membayar kewajiban kepada lembaga keuangan dan penyandang dananya.

Beban bunga akibat kebijakan moneter ketat the Fed kian memperburuk kesenjangan finansial yang dialami SVP. Pembayaran bunga simpanan yang harus disediakan SVP semakin tinggi. Demikian pula, tanggungan bunga pinjaman yang harus dipikul perusahaan rintisan debitur SVP juga semakin besar.

Dari mana pun pokok persoalan yang dirujuk, kejatuhan lembaga keuangan akan berdampak sistemik pada lembaga keuangan lain. Usaha inti lembaga keuangan toh adalah bisnis kepercayaan. Ketidakpercayaan atas satu lembaga keuangan akan berimbas pada lembaga keuangan lain yang melaksanakan fungsi intermediasi tadi.

Dampak sistemik terjadi pula pada sektor hulu. Pemilik dana yang menyimpan dana di lembaga keuangan akan bergegas menarik simpanannya (rush), dalam waktu yang bebarengan pula. Lembaga keuangan lain yang tidak mengalami persoalan finansial pun, ikut menanggung efek berantai semacam ini.

Persoalan yang lebih berat terjadi pada sektor hilir. Buntut dari debitur yang mengalami kesulitan bisnis akan panjang. Seluruh mata rantai jaringan kegiatan usahanya juga akan mengalami seret usaha. Akibatnya sudah bisa diduga, efisiensi usaha dan pemutusan hubungan kerja akan massal.

Kendati penutupan SVB tidak berdampak sistemik pada lembaga keuangan di Indonesia, beberapa hikmah patut dicatat. Bank dan lembaga keuangan di Tanah Air harus konsisten menerapkan prinsip manajemen risiko yang standar, tidak terkecuali dalam menghadapi proposal pembiayaan usaha rintisan.

Pelaku usaha rintisan juga harus mampu mengalkulasi dengan cermat prospek usaha ke depan, beserta semua ongkos yang harus ditanggung. Pemosisian diri di antara bisnis sejenis yang sudah ada, juga harus jelas. Hal ini, terlepas dia akan pinjam ke lembaga keuangan atau mendanai sendiri usahanya.

Usaha rintisan yang memiliki aspek keberlanjutan niscaya lebih prospektif, alih-alih bersifat musiman. Pilihan bidang usaha rintisan yang mengikuti tren dalam jangka pendek boleh jadi sangat menggiurkan. Namun dalam jangka menengah-panjang, dia akan surut tatkala tidak lagi menjadi kegemaran.

Pada akhirnya, usaha rintisan yang mengandalkan teknologi informasi tetap layak dijadikan representasi jiwa kewirausahaan kaum milenial. Hanya, karakter serba instan yang menempel pada generasi Z itu hendaknya harus diubah, bahwa tidak ada bisnis yang seketika langsung gede. Semua musti melewati proses. Bukan begitu?

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat