visitaaponce.com

RUU PPRT, Membayar Utang Nilai kepada Kaum Sarinah

RUU PPRT, Membayar Utang Nilai kepada Kaum Sarinah
(MI/Duta)

PADA 21 Maret 2023 Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) secara resmi dibawa ke sidang paripurna untuk diusulkan sebagai RUU Inisiasi Dewan Perwakilan Rakyat, setelah menggantung selama dua dekade. Itu perkembangan yang luar biasa meskipun tergolong sangat terlambat.

Namun, setidaknya, satu langkah upaya membayar utang nilai kepada 'kaum' Sarinah telah ditempatkan. Sarinah ialah nama pengasuh Bung Karno di masa kecil, yang kepadanya ia begitu berterima kasih hingga menjadikan nama tersebut sebagai judul salah satu bukunya dan nama pusat perbelanjaan di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.

Kita biasa menyebut mereka dengan 'pembantu', 'asisten rumah tangga', bahkan 'babu' atau 'jongos' di beberapa waktu silam. Sebutan pekerja rumah tangga (PRT) ialah sebuah kehendak untuk mengangkat martabat mereka satu derajat di atas sebutan-sebutan sebelumnya. Mereka sejatinya ialah entitas pengganti dari kerja-kerja harian anggota rumah tangga, yaitu kita semua.

 

Dinding bisu dan kesendirian abadi

Setidaknya ada 5 juta orang yang menjadi PRT saat ini. Angka itu tentunya hanya angka resmi. Angka sebenarnya bisa jadi lebih besar. Itu bukan saja karena lemahnya sistem pencatatan tenaga kerja yang ada, tetapi dunia PRT lebih sering ditemui lewat jalur-jalur nonformal dalam rekrutmen mereka. Jalur-jalur itulah yang pada gilirannya melestarikan relasi 'kekeluargaan' antara mereka dan pemberi kerja.

Dalam kasus Indonesia, sebagian besarnya masih menempatkan pekerjaan domestik itu terpisah dari sektor formal. Kenyataan itu membawa kita ke fakta bahwa menjadi PRT tidak pernah menjadi pilihan sadar, apalagi cita-cita dari seseorang. Lebih seringnya, ia ialah situasi keterpaksaan atau 'daripada tidak bekerja'.

Sebagai sebuah pekerjaan yang mengambil alih posisi sentral di keluarga, PRT hampir-hampir merupakan status yang tersembunyi (hidden), tidak terlihat (invisible), dan terabaikan (ignored). Di sisi yang lain, PRT inilah yang melampaui batas-batas daerah, keyakinan, dan etnisitas melebur berada di pusat-pusat perkotaan. Sebagai manusia, diri mereka telah menjadi kosmopolitan karena perlintasan mereka.

Namun, secara sosial, ekonomi, dan psikologis, mereka kerap terpinggirkan, bahkan tidak dihitung sebagai faktor yang berarti. Padahal, keberadaan mereka kerap mengambil peran sentral dalam ruang dan konteks rumah tangga modern bagi tetap terjaganya kesejahteraan hidup mereka. Namun, itu selalu luput dihitung sebagai kontribusi 'peningkatan ekonomi' dan 'pemerataan kesejahteraan'.

Sejauh praktik yang berlaku dan kenyataan yang terjadi, PRT kemudian hanya mampu mengadu pada tembok yang dingin dan bisu. Pengaduan yang berbalik sama kerasnya kepada sumber suara. Bahkan tembok-tembok peraduan mereka kerap gagal memberi perlindungan paling minimal sekalipun. Di sinilah PRT benar-benar mendapati diri mereka berada dalam kesendirian yang abadi. Keberadaan negara, bahkan keluarga sekalipun, tidak menjadi jalan perlindungan, tetapi acap kali menjadi marabahaya baru bagi mereka.

Di sisi lain, kita juga mendapati beberapa kasus dengan PRT begitu 'terberkati' karena relasi kekeluargaan yang berlaku. Sebut saja, misalnya, mereka yang bekerja pada beberapa pesohor seperti Raffi Ahmad atau Andre Taulany. Dalam kasus dua sosok tersebut, beberapa PRT mereka justru mampu naik 'derajat' dan menjadi pesohor baru. Hal yang kurang lebih sama mungkin berlaku ketika seorang PRT mendapatkan majikan atau pemberi kerja yang begitu menghargai dan mengayomi mereka.

Pada kasus yang lain, pemberi kerja justru yang kerap merasa terbebani atau tercurangi oleh beberapa perilaku PRT mereka. Mulai kasus mereka yang kabur begitu saja, tindak kekerasan terhadap anak, hingga kasus pencurian. Kenyataan itu juga harus kita akui terjadi. Namun, segala teks itu justru semakin menguatkan dan mengantarkan kita pada kebutuhan pada lahirnya suatu payung hukum demi terbangunnya suatu relasi yang manusiawi dalam berbagai dimensinya antara PRT dan pemberi kerja.

 

Fajar baru dunia PRT

Jenis pekerjaan yang dilakukan PRT mungkin bukan jenis pekerjaan produktif pada umumnya. Output pekerjaannya pun sulit untuk diukur. Akan tetapi, ia sangat memberikan kontribusi positif terhadap karier dan kesuksesan si pemberi kerja. Itu disebabkan PRT ialah pihak yang mengerjakan kerja-kerja 'kerumahtanggaan' yang tidak bisa dilakukan si pemberi kerja. Karena itu, PRT sesungguhnya ialah bidang pekerjaan yang melakukan fungsi reproduksi sosial sekaligus memberikan dukungan langsung kepada reproduksi ekonomi para pemberi kerja.

Dalam bahasa yang lebih teknis, sosiolog Robertus Robet menyebut peran PRT dalam fungsi ekonomi-perawatan seseorang. Dalam fungsi tersebut, PRT telah membantu memenuhi kebutuhan, terutama dalam bidang pengasuhan dan perawatan di dalam keluarga. Pekerjaan itu berperan penting karena menunjukkan fungsi yang sangat beragam dalam pekerjaanya.

Hal itu pula yang sebenarnya membuat nilai kerja mereka menjadi sangat tinggi. Namun, karena fungsi dan nilai kerja semacam itu sifat praktikalitasnya menyatu di dalam keluarga, ia dianggap sebagai fungsi domestik 'yang wajar' yang akibatnya tidak dihitung sebagai kerja yang sifatnya 'produktif'.

Domestifikasi pekerjaan yang kebanyakan dilakukan perempuan itu, dalam realitasnya, membuat PRT berada dalam logika subordinasi. Dalam kasus Indonesia, profesi sebagai PRT tidak diakui dan tidak dapat dicatatkan di dalam KTP atau SIM, misalnya. Secara kultural, masyarakat umum pun lebih sering memandang peyoratif atas profesi itu lewat berbagai atribusi khasnya. Karena kerentanan status dan posisi mereka, PRT juga kerap mengalami tindak kekerasan para majikan mereka.

Sementara itu, jutaan PRT migran kita (TKI) yang berada di beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, dan Hong Kong, justru sudah diangap sebagai sektor formal. Keberadaan mereka yang diakui sebagai pekerja itu membuat mereka jauh lebih terlindungi jika dibandingkan dengan di negara-negara yang tidak mengakui PRT sebagai pekerja.

Keberadaan payung hukum negara yang mengakui dan melindungi mereka sebagai pekerja akan semakin melindungi keberadaan mereka di negara tempat mereka bekerja. Logika sederhananya, jika kita ingin warga kita dihargai di luar, hargai dulu mereka ketika di dalam.

Karena itu, keberadaan RUU PPRT yang telah disahkan sebagai hak inisiatif DPR menjadi fajar baru bagi dunia PRT di dalam maupun luar negeri. Di dalam, RUU ini akan menjadi payung pengakuan dan perlindungan terhadap profesi yang selama ini dipandang miring dan kerap terjerat dalam logika subordinasi.

Di luar, RUU ini akan membangun harga diri para TKI yang berada di luar hingga mereka bisa berkata, "Negaraku sudah mengakuiku sebagai pekerja maka hormati aku di sini sebagai pekerja, bukan jongos, apalagi budakmu!"

Meski mengakui PRT sebagai pekerja, RUU itu tetap berasas kekeluargaan dan tetap mengedepankan relasi kultural-sosiologis masyarakat Indonesia. Relasinya tidak akan kaku sebagaimana hubungan industrialis pada umumnya. Apalagi dalam faktanya, kehidupan para pekerja di Indonesia pun ternyata tidak benar-benar dalam hubungan industrialis yang saklek. Selalu ada hubungan kultural yang terjadi. Praktik uang kerahiman sebagai santunan perusahaan terhadap pekerjanya yang mengalami kecelakaan ialah contoh paling sederhananya.

Walhasil, sebagaimana Pancasila yang digali dari taman sari berbagai kebudayaan Nusantara, RUU itu juga disusun dengan berbagai sudut pandang dan senantiasa memperhatikan aspek kultural masyarakat Indonesia. RUU PPRT disusun sebagai manifestasi dari upaya membangun kehidupan yang berdasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebuah relasi pihak-pihak yang terlibat tidak saling mencurangi atau mengkhianati, tetapi saling menopang dan menghargai satu sama lain.

Kaum Sarinah telah banyak membantu kita; kini saatnya kita yang membantu mereka mendapatkan pengakuan dari negara. Itulah nilai yang patut mereka dapatkan.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat