visitaaponce.com

Sufisme tanpa Tarekat ala Muhammadiyah

Sufisme tanpa Tarekat ala Muhammadiyah
(Dok. Pribadi)

MELALUI karya berjudul Sufisme tanpa Tarekat, Praksis Keberagamaan Muslim Puritan (2013), Khozin memaparkan tipologi sufisme muslim puritan dalam mewujudkan kehidupan keagamaan yang spiritualistik. Perspektif Khozin dalam buku ini menarik untuk mengamati praksis spiritualitas aktivis Muhammadiyah sebagai kelompok yang sering dikategorikan puritanis. Label puritanis memang acapkali disematkan kalangan outsider tatkala mengamati pandangan dan praktik keagamaan Muhammadiyah.

Puritanisme Muhammadiyah terutama sekali tampak melalui doktrin di bidang akidah dan ibadah. Dalam bidang akidah dan ibadah, Muhammadiyah mencukupkan pandangan keagamaannya dengan merujuk Al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad Saw. Bermula dari sinilah spirit kembali pada Al-Qur’an dan sunah (al-ruju’ ila Al-Qur’an was-sunnah) menggelora di kalangan aktivis Muhammadiyah. Sementara itu, dalam bidang muamalah duniawi Muhammadiyah menekankan pentingnya berijtihad.

Spirit berijtihad dalam urusan muamalah duniawi menjadikan Muhammadiyah mengalami kesuksesan luar biasa di berbagai bidang amal usaha, terutama pendidikan, kesehatan, dan sosial. Cerita sukses Muhammadiyah di berbagai amal usaha itu menjadikan Muhammadiyah dikenal luas sebagai gerakaan keagamaan berwajah modernis. Kesuksesan Muhammadiyah telah mengundang testimoni berbagai pihak. Salah satunya dari cendekiawan ternama, Nurcholish Madjid (Cak Nur).

Sebagai outsider, Nurcholish Madjid (2005) menyatakan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern yang terbesar di dunia, lebih besar dari organisasi mana pun di dunia Islam. Bila dilihat dari segi kelembagaan Muhammadiyah juga sangat mengesankan, lebih dari organisasi Islam di mana pun dan kapan pun. Cak Nur juga menegaskan bahwa Muhammadiyah merupakan salah satu cerita sukses di kalangan organisasi Islam, tidak saja secara nasional, tetapi juga internasional.

Pernyataan Cak Nur merupakan sebagian dari pandangan yang memuji kiprah Muhammadiyah dalam panggung sejarah pergerakan organisasi Islam. Aktivis Muhammadiyah penting menjadikan pernyataan positif Cak Nur sebagai penyemangat. Apalagi, Muhammadiyah kini telah melampaui usia lebih dari satu abad. Testimoni senada juga dikemukakan Azyumardi Azra (1985). Menurut Azra, Muhammadiyah selayaknya memang disebut gerakan pembaru (tajdid), terutama karena kiprahnya di berbagai amal usaha. Perkembangan amal usaha Muhammadiyah juga sangat membanggakan.

Testimoni bernada positif pada Muhammadiyah juga datang dari peneliti luar negeri. Sebut saja, misalnya, Mitsuo Nakamura (2012) melalui karya berjudul Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Sekitar 1910-2010. Dalam buku ini Nakamura menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak diragukan lagi merupakan organisasi Islam yang paling berjasa membangun masyarakat Islam yang maju di Indonesia. Testimoni profesor emeritus dari Chiba University, Jepang, itu terasa sangat membanggakan warga Muhammadiyah.

Melalui penelitiannya, Nakamura juga mengkategorikan Muhammadiyah dalam tiga gerakan yang multiwajah (dzu wujuh). Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan, yaitu gerakan pemurnian ajaran Islam dari berbagai budaya luar Islam. Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial. Perspektif ini menekankan kiprah Muhammadiyah dalam aktivitas sosial melalui berbagai amal usaha. Ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan ideologi, yaitu sikap Muhammadiyah yang tidak pernah menolak budaya Jawa. Yang dilakukan Muhammadiyah adalah menyaring intisari dari ajaran Islam dari budaya Jawa.

MI/Seno

 

Sufisme dan Islam berkemajuan

Dalam observasi antropologisnya berjudul Sufi Elements in Muhammadiyah (1980), Nakamura menyatakan bahwa Muhammadiyah sejatinya memiliki perhatian terhadap kehidupan sufistik. Nakamura menjelaskan, meski menampilkan wajah puritanis dalam doktrin dan pandangan keagamaannya, melalui kehidupan keseharian tokoh-tokohnya Muhammadiyah telah menampilkan wajah yang sufistik. Sufisme yang dipraktikkan tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam perspektif ini tentu berbeda dengan sufisme pada umumnya.

Dalam pengertian yang umum, sufisme dipahami sebagai usaha untuk mendekatkan diri pada Tuhan sedekat-dekatnya, bahkan bersatu dengan Tuhan. Untuk mencapai kondisi itu, seorang sufi dituntut menempuh berbagai laku dalam tahapan-tahapan ruhaniah yang sangat ketat (maqamat dan ahwal). Berbeda dengan pengertian ini, Muhammadiyah memahami sufisme secara lebih praktis. Muhammadiyah menekankan pentingnya berakhlak mulia dalam kehidupan keseharian.

Bagi Muhammadiyah, akhlak mulia merupakan indikator yang sangat penting untuk menilai kualifikasi sufistik seseorang. Dimensi sufistik ini penting agar umat mampu menjalani kehidupan keagamaan yang bermakna (meaningful).

Bahkan, semua agama sejatinya memiliki ajaran berdimensi mistik-spiritual. Karena itulah praktik keagamaan bercorak mistik-spiritual dapat dengan mudah ditemukan dalam berbagai agama. Di dalam Islam, ajaran berdimensi akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah duniawi juga menjadi satu kesatuan.

Pada konteks itulah sufisme dalam berbagai ekspresinya, termasuk tarekat, terus berkembang di dunia Islam, tetapi harus diakui, wacana sufisme dan tarekat terasa sekali kurang populer di kalangan warga Muhammadiyah. Sebagian aktivis Muhammadiyah, bahkan memerpersepsikan bahwa sufisme merupakan salah satu penyebab kemunduran dan keterbelakangan umat.

Apalagi fakta sejarah menunjukkan bahwa selama abad pertengahan, sufisme telah menjadikan umat kehilangan etos kerja dan semangat mengembangkan ilmu pengetahuan. Padahal kemajuan umat sangat ditentukan oleh etos kerja dan ilmu pengetahuan.

Berdasarkan nalar itulah, maka sufisme, apalagi dalam bentuknya sebagai tarekat (sufi order), dinilai kurang menarik bagi aktivis Muhammadiyah. Hal itu dapat dipahami karena Muhammadiyah lahir dalam suasana kebangkitan. Muhammadiyah sejak awal juga mengenalkan diri sebagai gerakan yang mendakwahkan Islam berkemajuan sekaligus pemurnian di bidang akidah dan ibadah. Pendiri dan ideolog Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, mengatakan bahwa Islam merupakan agama berkemajuan.

Ungkapan Islam berkemajuan juga pernah dikemukakan Presiden Pertama RI, Sukarno. Senada dengan Kiai Dahlan, Sukarno juga menentang kekolotan, kejumudan, takhayul, dan kemusyrikan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pandangan Sukarno tersebut merupakan buah dari interaksinya dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, terutama Kiai Dahlan dan KH Mas Mansur. Saat masih tinggal di kampung Peneleh, Surabaya, Sukarno muda sangat rajin mengikuti pengajian Kiai Dahlan.

Di mana pun Kiai Dahlan berdakwah di Surabaya, Sukarno selalu hadir. Salah satu tempat pengajian Kiai Dahlan adalah masjid di kampung Plampian, Peneleh, Surabaya. Arek Surabaya asli, Ruslan Abdul Ghani (Cak Rus), menyampaikan testimoni yang ditulis dengan tulisan tangan dan ditempel di dinding Masjid Plampitan. Cak Rus menyatakan bahwa di masjid ini dulu Kiai Dahlan sering hadir memberikan ceramah. Salah satu pendengar setianya ialah Sukarno. Karena itulah, Sukarno selalu mengidentifikasi dirinya sebagai kader ngintil Kiai Dahlan.

 

Tasawuf dan tarekat

Meski perbincangan sufisme terasa asing di Muhammadiyah, realitasnya sufisme telah menyita banyak perhatian umat. Secara teologis, sufisme juga merupakan ekspresi ajaran agama di bidang akhlak. Sufisme menjanjikan pelakunya memperoleh pengalaman keagamaan, ketenangan, dan kehidupan yang penuh makna.

Istilah sufisme, biasanya digunakan untuk menamai praktik keberagamaan yang bercorak mistik dalam tradisi Islam. Secara umum, tujuan sufisme ialah membangun hubungan yang bersifat dialogis, antara hamba dengan Tuhan, melalui cara mengasingkan diri dan berkontemplasi.

Karena itu, jangan heran jika seorang sufi berdasarkan pengalaman spiritualnya, dapat merasakan kedekatan dirinya dengan Tuhan. Beberapa sufi melalui pengalaman individualnya mengaku sangat dekat dengan Tuhan, bahkan, bersatu (ittihad) dengan-Nya. Corak tasawuf yang bersifat individual dengan permenungan yang bebas itu, selanjutnya berubah menjadi tarekat.

Tarekat adalah organisasi atau tempat berhimpunnya para pelaku tasawuf. Sejak itulah, tasawuf kemudian berubah menjadi gerakan yang bersifat massal. Pelaku sufisme juga tidak lagi bebas melakukan kontemplasi secara individual.

Sementara itu, dalam pandangan Muhammadiyah sufisme dipahami dalam pengertian yang lebih substansif. Praktik sufisme dalam bentuk tarekat yang senantiasa menekankan pentingnya ketaatan berlebihan pada guru (syaikh atau mursyid), dipahami Muhammadiyah tidak sejalan dengan paham Islam Berkemajuan. Apalagi, budaya itu kemudian berubah menjadi kultus individu, sehingga mengabaikan aspek dialogis antara guru dan murid. Praktik keagamaan dalam tarekat yang cenderung berpusat pada guru (saint worship) terasa tidak sejalan dengan faham Islam berkemajuan dalam perspektif Muhammadiyah.

Budaya beragama yang menekankan ketaatan pada elit agama hingga menuju kultus individu itu pun tidak populer di kalangan warga Muhammadiyah. Pola keberagamaan dalam ajaran Muhammadiyah selalu mengedepankan penggunaan nalar tatkala memahami ajaran agama. Budaya menggunakan nalar dalam beragama itulah yang kemudian turut mengobarkan spirit pembaruan (tajdid) di kalangan aktivis Muhammadiyah. Meski tanpa dibimbing guru-guru tarekat, tokoh-tokoh dan aktivis Muhammadiyah telah mempraktikkan substansi ajaran sufistik dalam kehidupan keseharian.

 

Sufisme tanpa tarekat

Kurang populernya wacana tentang sufisme dalam Muhammadiyah bukan berarti bahwa ulama yang berhimpun dalam persyarikatan ini melarang warganya untuk menjalani kehidupan yang bercorak sufistik. Dalam buku Tanya-Jawab Agama (2016), Muhammadiyah secara tegas menyatakan bahwa berperilaku sufistik sangat dianjurkan sepanjang bersendikan akhlak mulia, yang pelaksanaannya didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Sementara corak tasawuf yang didasarkan pada interpretasi seseorang, apalagi yang menjurus pada ajaran menyimpang, seperti ajaran yang menyatakan bahwa dengan membaca bacaan tertentu seorang hamba akan bertemu dengan Tuhan (al-Khaliq), maka corak tasawuf demikian dipahami Muhammadiyah jauh dari ajaran Islam. Dengan demikian, pandangan Muhammadiyah mengenai tasawuf sangat bergantung pada rujukan yang digunakan.

Jika ajaran tasawuf merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah, hal itu berarti dapat dibenarkan sehingga harus dijalankan. Sebaliknya, jika sandaran yang digunakan adalah ijtihad seseorang, apalagi kemudian diketahui bahwa ijtihad itu sesat, corak tasawuf demikian harus dijauhi. Pandangan positif terhadap tasawuf ini menginspirasi warga Muhammadiyah untuk menempuh kehidupan bercorak sufistik.

Penting dikemukakan bahwa yang menjadi tekanan dalam kehidupan sufistik perspektif Muhammadiyah adalah terwujudnya akhlak mulia. Prinsip inilah yang ditampilkan tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam kehidupan sehari-hari. Praktik hidup sederhana, bersahaja, welas asih, filantropis, suka menabung untuk dunia sini dan dunia sana, serta jauh dari budaya memamerkan kemewahan (flexing), telah menjadi karakter para pendiri, ideolog, dan tokoh Muhammadiyah.

Kesahajaan mereka tentu berbanding terbalik dengan kekayaan Muhammadiyah yang luar biasa. Melalui keteladanan pendiri, ideolog, dan tokoh-tokohnya itulah seharusnya aktivis Muhammadiyah dapat menyelami kehidupan sufistik mereka. Karena sangat menekankan pada akhlak mulia, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa corak sufisme Muhammadiyah adalah tasawuf akhlaki. Karakter tasawuf akhlaki itu sekaligus menjadi kekhasan sufisme yang diajarkan Muhammadiyah.

Dalam pandangan Muhammadiyah, untuk menempuh kehidupan sufistik, maka seseorang juga tidak harus menjadi bagian dari tarekat tertentu. Yang terpenting ialah praktik dalam kehidupan sehari-hari yang sepenuhnya dilandasi nilai-nilai akhlak mulia. Doktrin ini menegaskan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan keagamaan yang mempraktikkan kehidupan sufistik dengan tanpa tarekat.

 

tiser

Praktik sufisme dalam bentuk tarekat yang senantiasa menekankan pentingnya ketaatan berlebihan pada guru (syaikh atau mursyid), dipahami Muhammadiyah tidak sejalan dengan paham Islam Berkemajuan. Apalagi, budaya itu kemudian berubah menjadi kultus individu, sehingga mengabaikan aspek dialogis antara guru dan murid.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat