visitaaponce.com

Depolarisasi Politik Identitas

Depolarisasi Politik Identitas
Ilustrasi MI(MI/Seno)

PEMILU 2024 disambut antusias oleh masyarakat Indonesia. Salah satu pesta demokrasi langsung terbesar di dunia. Bukan hanya sekarang, sejak awal 2020 publik telah mendiskusikannya. Antusiasme partai pendukung pemerintah untuk meneruskan kemenangannya, sedangkan partai oposisi berharap menjadi gilirannya untuk menang pemilu. Bahkan, siapa calon presiden berikutnya menjadi bahan diskusi publik sejak Presiden Joko Widodo dilantik untuk periode keduanya. 

Namun, kekhawatiran polarisasi masyarakat yang dialami pascadua pesta demokrasi terakhir menjadi keprihatinan bersama. Polarisasi yang diakibatkan politik identitas yang digunakan para kontestan dan partai pendukungnya. Persatuan dan kesatuan bangsa terancam. Kondusifitas politik yang dibutuhkan agar ekonomi tumbuh berkurang dan meningkatkan peluang Indonesia masuk dalam middle income trap. Meskipun ada bonus demografi, polarisasi politik akan menghambat kita menjadi negara maju pada 2045. Bagaimana cara melakukan depolarisasi politik identitas tersebut? 

 

Indeks demokrasi Indonesia

Kajian yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peringkat ke-54 dunia pada Democracy Index 2022. Indek itu menggunakan lima dimensi, yakni proses pemilihan dan pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Posisi Indonesia di bawah Jepang (#16), Korea Selatan (#24), Malaysia (#40), Timor-Leste (#44), India (#46), dan Filipina (#52). 

Dalam 15 tahun terakhir, pemeringkatan Democracy Index oleh EIU Indonesia memiliki skor tertinggi pada 2014-2016, kemudian turun naik sesudahnya. Bahkan, Indonesia dikelompokkan negara-negara yang flawed democracy. Meskipun pemilunya diselenggarakan secara adil, bebas, dengan kebebasan sipil, terdapat beberapa catatan. Salah satunya mungkin terkait dengan polarisasi akibat intensnya politik identitas dalam dua pemilu terakhir. 

 

Polarisasi dan depolarisasi

Polarisasi politik berfungsi sebagai proses, strategi politik, dan ekuilibrium (McCoy dkk, 2022). Polarisasi sebagai proses menyederhanakan politik yang mengarahkan masyarakat dalam kubu yang berlawanan, tapi saling membutuhkan. Polarisasi politik itu menunjukkan sehatnya demokrasi untuk mediferensiasi platform perjuangan antarparpol sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat di dalamnya. 

Untuk memperkuat diferensiasi platform yang diperjuangkan, sering digunakan identitas sosial untuk memperkuatnya, seperti etnik, agama, bahasa, atau kelas sosial. Seiring waktu, polarisasi itu mempertebal garis 'kami' dan 'mereka'. Dalam jangka panjang, loyalis akan bertindak dengan segala cara untuk menang dan berprasangka jelek pada kelompok yang berlawanan. 

Polarisasi sebagai strategi politik digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Mendiskreditkan lawan politik akan memperkuat identifikasi loyalis pada partai atau figur politik yang diperjuangkan. Garis yang dibangun biasanya memanfaatkan keretakan bangsa pada masa laludan biasanya dihubungkan dengan etnik, agama, bahasa, atau kelas sosial. 

Polarisasi memasuki ekuilibrium ketika masyarakat terbelah dan tiap-tiap pihak (parpol) memandang tidak adanya manfaat untuk bersatu kembali. Semakin parah ketika sesama anak bangsa saling menganggap musuh ketika pilihan politiknya berbeda. Polarisasi tersebut sangat berbahaya dan susah dikembalikan sebagaimana kondisi sebelum politik identitas digunakan. 

Depolarisasi ialah penurunan polarisasi politik dan reunifikasi bangsa. Dalam banyak studi, depolarisasi sulit dilakukan dan membutuhkan waktu. Akselerasi depolarisasi dapat dilakukan jika terdapat musuh bersama yang dapat menyatukan sebuah bangsa atau kondisi eksternal yang mengejutkan (seperti pandemi covid-19) atau memperkuat tujuan nasional sebuah bangsa (Lieberman dkk., 2021). 

 

Superordinate goal

Platform politik yang diusung partai dan figur yang diusung dan diperkuat identitas memperkuat diferensiasi yang dibangun. Diferensiasi itu akan diamplifikasi media televisi dan surat kabar pendukungnya. Amplifikasi diferensiasi semakin kuat ketika media sosial beserta para buzzer selama 24 jam 7 hari merajai traffic diskusi publik di dunia maya. 

Di AS, acara TV dan akun media sosial yang diikuti pendukung Partai Republik tentunya berbeda dengan pendukung Partai Demokrat. Hal itu mempertajam polarisasi politik yang ada dan tiap-tiap kubu memiliki mega-identity yang semakin kuat. Ketika mega-identity yang terbangun bertemu dengan kubu yang berseberangan, polarisasi menguat. Yang dapat menyatukan kembali hanyalah 'superordinate goals(Kolbert, 2021) atau 'purposeful collective action(Lieberman dkk, 2021) atau tujuan pendirian negara. 

Tujuan negara Indonesia terdapat dalam alenia ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 dan diperbarui konteksnya menjadi negara maju pada 2045. Ketika tiap-tiap parpol dan figur calon pemimpin (baik nasional maupun daerah) yang diusungnya memfokuskan pada gagasan dan strategi bagaimana menjadikan Indonesia negara maju 2045; polarisasi politik berdasarkan identitas akan semakin berkurang dan hilang dengan sendirinya. 

Sebagai ambisi kolektif bangsa, Indonesia Maju 2045 akan menyatukan semua energi dan sumberdaya bangsa. Parpol dan figur yang diusung harus dapat mengomunikasikannya secara efektif ke konstituten. Contoh visi efektif disampaikan Presiden JFK agar NASA 'mendaratkan manusia di bulan sebelum dekade ini (1960-an) berakhir'. Imajinasi manusia berjalan-jalan di bulan menjadi imajinasi publik AS sejak pidato di Kongres pada 25 Mei 1961. Akhirnya terjadi pada 20 Juli 1969ketika Neil Armstrong dan Buzz Aldrin dengan Apollo 11 mendarat di bulan. Mendaratkan manusia di bulan menjadi ambisi kolektif bangsa Amerika yang berhasil diwujudkan. 

Visi efektif menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan divisualisasikan publik (Carton dkk, 2015, 2022). Efek itu semakin superior ketika proyeksi masa depan (temporal projection) digunakan. Sebagaimana dicontohkan JFK bahwa dalam dekade 1960-an NASA akan mampu mendaratkan manusia di bulan. Hal itu mendorong diskusi, energi, dan sumber daya publik untuk mewujudkan ambisi kolektif tersebut. 

Publik membutuhkan visi dengan visualisasi yang jelas, khususnya pada 2029 Indonesia akan menjadi seperti apa. Misalnya, GDP per kapita Indonesia akan mencapai US$8.000 atau ranking PSSI menjadi 30 dunia atau mobil listrik asli (desain, produksi, dan merek) Indonesia memiliki pangsa pasar 25% di jalanan domestik. Yang tidak kalah penting tentunya bagaimana strategi untuk mencapainya. 

Agar Indonesia memiliki GDP per kapita US$8.000, apa strategi transformasi ekonomi yang perlu dilakukan? Strategi apa yang perlu dilakukan agar seperempat jalanan Indonesia dipenuhi mobil listrik lokal? Semakin dini publik mengetahuinya, semakin mudah penilaian visi dan strategi tiap-tiapfigur maupun partai dilakukan. Hasil akhirnya, polarisasi berdasarkan politik identitas akan berkurang karena diskusi di ruang publik didominasi bagaimana mencapai tujuan nasional Indonesia. 

 

Rekomendasi 

Dalam empat tahun terakhir, media massa dan media sosial didominasi pemberitaan dan diskusi terkait parpol dan figur calon pemimpin yang diusungnya. Ketika bahan untuk mendiskusikan pilihan semakin terbatas dan cenderung diulang-ulang, politik identitas yang mengedepankan isu etnik, agama, bahasa, dan kelas sosial akan terjadi. Depolarisasi perlu dilakukan dengan memfokuskan kembali diskusi di ruang publik tentang visi dan strategi tiap-tiap parpol dan figur calon pemimpin untuk mencapai tujuan nasional, Indonesia Maju 2045.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat