visitaaponce.com

Kaum Muda, Toleransi, dan Pancasila

Kaum Muda, Toleransi, dan Pancasila
Halili Hasan Akademisi Politik di Fishipol UNY, Direktur Eksekutif SETARA Institute(Dok. Pribadi)

DAYA lenting Pancasila, sebagai dasar negara dan landasan filosofis pokok (philosofische grondslag) bagi Indonesia tak terbantahkan. Pancasila telah dipilih sebagai ideologi terbaik yang dirumuskan secara seksama, dan diwariskan oleh para pendiri bangsa kepada kita semua.

Secara yuridis, rumusan tersebut tertuang dalam konstitusi negara, terutama pada alinea terakhir Pembukaan UUD 1945, yang hingga kini tak tergoyahkan. Sementara itu, perjalanan sejarah bangsa menunjukkan bahwa Pancasila terbukti tangguh sebagai dasar negara yang tidak tergantikan dalam berbagai gejolak politik apa pun.

Namun demikian, beberapa tantangan besar menghadang di depan mata. Salah satu di antaranya mengenai daya juang generasi kini untuk membumikan Pancasila. Bung Karno pernah mengingatkan, “Pancasila harus menjadi realiteit!” Menghadirkan nilai-nilai Pancasila dalam realitas tentu membutuhkan perjuangan yang simultan juga spartan.

Pada saat yang sama, terjadi fenomena penurunan dukungan publik terhadap Pancasila. Survei LSI pada 2018 menjelaskan penurunan drastis dukungan publik terhadap Pancasila, yaitu di angka 75,3 %. Padahal, dalam survei tahun 2005 dukungan kepada Pancasila mencapai 85,2%. Artinya, dukungan terhadap Pancasila mengalami penurunan sekitar 10% selama 13 tahun terakhir. Jika tren tersebut berlanjut, ke depan tantangan kebangsaan kita akan semakin berat.

 

Potret toleransi kaum muda

Selain itu, agenda pemajuan toleransi dalam tata kebinekaan Indonesia juga menjadi pekerjaan rumah bersama. Terlebih lagi, di kalangan generasi muda yang merupakan cadangan utama bangunan masa depan Indonesia. Dalam konteks itu penting untuk menelisik dan mengulik potret toleransi di kalangan pemuda.

Beberapa waktu lalu SETARA Institute menyelenggarakan survei dalam kerangka kerja konsorsium Inklusi yang terdiri atas INFID, Maarif Institute, Yayasan Inklusif, Media Link, Fatayat NU, dan Unika Soegijopranata. Survei dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan baru mengenai status toleransi dan juga respons atas dinamika intoleransi yang mengemuka dalam beberapa dekade terakhir.

Dalam berbagai isu kunci toleransi, survei ini mengungkap kecenderungan yang positif. Tingginya penerimaan perbedaan keyakinan (99,3%), penerimaan perbedaan ras dan etnik (99,6%), empati terhadap kelompok yang berbeda agama/keyakinan (98,5), dukungan pada kesetaraan gender (93,8%) dalam kepemimpinan OSIS ialah tren yang sangat positif di kalangan pelajar. Dengan kata lain, ekspresi intoleransi di sejumlah sekolah sesungguhnya tidak memperoleh dukungan signifikan dari para siswa di area penelitian ini.

Namun demikian, jika diuji dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih ideologis, apalagi yang berdimensi politik, kecenderungan toleransi semakin menurun. Misalnya, soal apakah kaum muda berbasis sekolah itu akan menahan diri untuk melakukan kekerasan dalam merespons penghinaan terhadap agama yang dianut, 20,2% responden menyatakan tidak bisa menahan diri. Sekalipun angka yang bisa menahan diri masih cukup besar di 79,8%.

Terkait sikap responden terhadap penggunaan jilbab di sekolah, sebanyak 61,1% menyatakan bahwa mereka merasa lebih nyaman jika semua siswi di sekolah menggunakan jilbab. Hal ini tentu saja problematik karena dalam tata kebinekaan Indonesia, atribut sebagai penanda identitas diri dan kelompok pasti beragam. Dalam konteks itu, idealnya kaum muda kita merasa nyaman dengan atribut tertentu atau yang tak menonjolkan atribut apa pun.

Temuan lain yang menarik, terkait syariat Islam sebagai landasan bernegara, mendapat dukungan dari 56,3% kaum muda responden survei tersebut. Tampaknya, dukungan terhadap landasan agama sebagai dasar bernegara tersebut berkaitan pula dengan persepsi mereka terhadap Pancasila, sebagai dasar negara. Dalam survei yang sama, 83,3 % responden mempersepsikan bahwa Pancasila bukanlah ideologi permanen, artinya bisa diganti. Dalam perspektif tertentu, kita mesti sudah membunyikan alarm tanda bahaya pada level ini.

Dengan mengakumulasi data dari 12 pertanyaan kunci dalam survei disimpulkan, bahwa sebanyak 70,2% kaum muda di SMA sederajat itu masuk ke kategori toleran, 24,2% intoleran pasif, 5% intoleran aktif, dan 0,6% terpapar ideologi ekstremisme-kekerasan.

Jika menggunakan baseline data survei yang dilakukan oleh SETARA Institute pada tahun 2016, tren toleransi menunjukkan peningkatan dari 61,6% di tahun 2016 menjadi 70,2% pada tahun 2023. Tentu saja, hal ini merupakan kabar baik dan menunjukkan hasil kinerja dari berbagai kelompok-kelompok moderat dan kebangsaan dalam tata kebinekaan Indonesia.

Meskipun demikian, kecemasan kolektif sebagian remaja pada kategori intoleran pasif juga bertransformasi menjadi intoleran aktif, sebagaimana digambarkan dari angka 2,4% di tahun 2016 menjadi 5% di tahun 2023. Demikian juga pada kategori terpapar, mengalami peningkatan dua kali lipat dari 0,3% menjadi 0,6%.

Dengan demikian, kebinekaan Indonesia berdasarkan Pancasila masih berhadapan dengan tantangan serius. Kaum muda yang kita harapkan menjadi elemen terpenting masa depan Indonesia Emas mesti menjadi penerima manfaat terbesar dalam agenda-agenda pembangunan sumber daya manusia, dan penguatan modal sosial kita. Sejarah mendedahkan betapa pentingnya peran kaum muda, sejak awal sekali negara-bangsa ini terbentuk.

 

Warisan dan anugerah

Para pendiri negara-bangsa kita, selain seluruh mereka kaum terdidik, sebagian besar mereka alah kaum muda. Usia muda tersebut dapat kita lihat pada dwitunggal proklamator kita, anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, juga para pimpinan partai politik existing pada zaman itu. Kaum muda pula, yang pada waktu itu merumuskan elemen-elemen dasar pembentukan negara, dan mengonsolidasikan anasir pembentuk kebangsaan Indonesia jauh sebelumnya.

Merekalah yang berikhtiar keras merumuskan dasar negara. Dengan inspirasi dan kepemimpinan Bung Karno, para tokoh generasi awal Republik menggali Pancasila dari falsafah, nilai-nilai luhur, dan perilaku-perilaku baik yang tecermin dalam ajaran, ritual, dan praktik-praktik kebudayaan masyarakat tradisional Nusantara.

Pancasila mereka rumuskan berdasarkan kepercayaan akan nilai-nilai baik yang tumbuh subur di rahim Nusantara. Sekaligus, keyakinan akan kemampuan bertahan falsafah dan nilai-nilai tersebut dalam situasi negara-bangsa mengisi kemerdekaannya, dan dalam situasi masyarakat dunia yang bergerak dengan dinamis dan berubah dengan cepat.

Warisan para pendiri negara berupa Pancasila merupakan bentuk kesyukuran atas berkat rahmat Allah, Tuhan yang Mahawelas Asih. Tuhan mengasihi kita, selain dalam bentuk anugerah kualitas hebat para pendiri Indonesia, juga dengan kekayaan sosiokultural. Indonesia memiliki kurang lebih 1.128 etnik atau suku bangsa yang mendiami sekitar 17.500 pulau-pulau besar dan kecil, yang saking banyaknya sebagian di antara pulau-pulau itu belum kita beri nama atau memiliki kemiripan nama.

Terdapat 3.384 sub-etnik jika masing-masing etnik memiliki tiga subetnik. Jumlah kelompok manusia sebanyak itu menggunakan 746 bahasa ibu (bahasa daerah), yang terdata oleh Pusat Bahasa Kemendikbud. Kalau setiap bahasa memiliki tiga dialek, ada 2.238 cara manusia- manusia Indonesia berkomunikasi satu sama lain. Seluruh kekayaan Indonesia tersebut, pasti tak tertandingi oleh negara-mana pun di dunia!

Kekayaan sosiokultural itu merupakan bahan dasar untuk membuat peradaban Indonesia yang hebat. Dalam setiap entitas kebudayaan, terkandung nilai-nilai kebajikan dan keutamaan, di samping prasasti dan ritual. Di balik kekayaan bahasa, terkandung kehalusan budi dan keluhuran watak.

Bersamaan dengan itu, Indonesia mendapat anugerah alamiah yang luar biasa: sumber energi dan sumber daya mineral yang beragam dan mahal, kekayaan tambang yang melimpah, daratan yang subur, lautan yang kaya dan luas, iklim tropis, dan karenanya kekayaan biodiversity yang tak tertandingi oleh negara-bangsa mana pun.

 

Kembali kepada Pancasila

Semua itu merupakan modal besar bagi negara-bangsa Indonesia untuk menjadi negara-bangsa hebat di dunia. Modal ekonomis (economic capital) dan modal sosial (social capital) tersebut, akan semakin lengkaplah dengan kualitas sumber daya manusia (human capital) yang hebat.

Sesungguhnya, lengkaplah modal dan potensi negara-bangsa Indonesia menjadi negara-bangsa maju yang sejajar dengan negara-negara maju di dunia. Kini, untuk mewujudkan impian menjadi Indonesia Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur membutuhkan desain kebijakan ideologis-strategis pemerintahan negara yang mengoptimalkan seluruh modal dan potensi yang ada, yang berorientasi pada kepentingan nasional, baru kemudian internasional.

Selain itu, implementasi falsafah, nilai dasar, dan arahan konstitusional yang telah dipancangkan sebagai fondasi untuk membangun negara-bangsa Indonesia merdeka. Implementasi tersebut dalam dua aras; kebijakan strategis yang disebutkan pertama dan dalam kehidupan sosial bangsa Indonesia. Tanpa komitmen kuat dan keseriusan untuk mewujudkan falsafah, nilai dasar, dan arahan konstitusional dimaksud, yakinlah kita hanya akan seperti ‘buih sangat besar’ di lautan pergaulan masyarakat dunia.

Visi Indonesia 2045 menjadi negara maju baru bukanlah target muluk, realistis, dan sangat logis. Kini, sebagian besar harapan untuk mewujudkan impian tersebut terletak di pundak kaum muda. Dapatkah kita solidkan modal manusia dan modal sosial yang kita miliki saat ini dengan modal sosial untuk tidak berkonflik, rukun, dan saling melindungi antarelemen kebangsaan yang beragam ini? Toleransilah salah satu kata kuncinya. Itulah mengapa para pendiri negara-bangsa memilih Pancasila, bukan yang lain. Jadi, kembalilah kepada Pancasila

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat