visitaaponce.com

Kompleksitas Problem Stunting

Kompleksitas Problem Stunting
Ilustrasi MI(MI/Seno)

ALOKASI dana pengentasan stunting (tengkes) besarannya cukup signifikan. Pada 2022, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung program percepatan pencegahan stunting. Dana tersebut terdiri atas Rp34,1 triliun yang tersebar di 17 kementerian dan lembaga, Rp8,9 triliun pemerintah daerah melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik, dan Rp1,8 triliun DAK nonfisik. 

Presiden Jokowi baru-baru ini menyampaikan temuannya terkait anggaran program penurunan stunting. Presiden mencermati APBD yang ada di Kemendagri. Terungkap bahwa dari Rp10 miliar anggaran stunting di suatu wilayah terpakai untuk perjalanan dinas sebesar Rp3 miliar, rapat-rapat Rp3 miliar, penguatan pengembangan dan lain-lain Rp 2 miliar. Yang benar-benar untuk beli telur hanya Rp2 miliar. Seharusnya yang dipakai beli telur, ikan, daging, sayur ialah Rp8 miliar dan bantuan pangan didistribusikan ke penderita stunting, demikian pesan Presiden.

Dengan melibatkan 17 kementerian dan lembaga, upaya pengentasan stunting memerlukan sinergi dan harmonisasi program agar daya ungkitnya terasa. Konvergensi penanganan stunting level rumah tangga perlu mendapat perhatian khusus, bukan hanya konvergensi level wilayah (kabupaten/kecamatan/desa).

Berdasarkan Studi Baseline Intervensi Stunting di Karawang (Khomsan dkk: 2022), diketahui bahwa program gizi sensitif pada konvergensi level rumah tangga masih lemah. Hal itu ditandai dengan rendahnya angka persentase keluarga balita stunting yang menerima program gizi sensitif di dua desa di Karawang. Hanya sebesar 2,4% keluarga balita stunting yang menerima bantuan penyediaan air bersih, 4,7% penerima bantuan bibit pekarangan KRPL (kawasan rumah pangan lestari), 4,7% penerima program bantuan jamban sehat, 9,4% penerima PKH (program keluarga harapan), dan 23,5% penerima BLT (bantuan langsung tunai).

Keluarga balita stunting yang menerima bantuan program gizi sensitif harus memenuhi beberapa kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria yang dimunculkan berfokus pada kemiskinan dan tidak secara spesifik menyebutkan rumah tangga dengan anak stunting sebagai calon penerima manfaat.

Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting anak balita di Indonesia ialah 21,6%. Angka itu turun sebesar 2,8% dari angka SSGI 2021 (24,4%). Capaian Indonesia dalam menurunkan stunting harus diapresiasi. Angka penurunan stunting di Indonesia ini memang lebih baik ketimbang penurunan rata-rata di Peru dari 2005-2016 (29,8% menjadi 13,1%, atau sekitar 1,5% per tahun) dan Vietnam 2005-2015 (33,2% menjadi 24,6% atau hanya sekitar 0,9% per tahun). Bahkan, penurunan di Peru dari 2014 ke 2015 (14,6% ke 14,4%) dan dari 2015 ke 2016 (14,4% ke 13,1%) hanya sekitar 1%.

Meski capaian penurunan stunting relatif baik, mengejar target prevalensi menjadi 14% pada 2024 bukanlah hal mudah. 

 

Intervensi

Studi menyebutkan bahwa anak baduta yang mengonsumsi telur sebutir sehari pertumbuhan tinggi badannya lebih baik. Studi tersebut bisa menjadi landasan intervensi stunting. Ianotti dkk (2017) dalam artikelnya di Jurnal Ilmiah Pediatrics, Eggs and Complementary Feeding Child Growth: A Randomized Controlled Trial, menyimpulkan bahwa intervensi sebutir telur sehari selama enam bulan menurunkan stunting sebesar 47%.

Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah pusat telah mengalokasikan dana desa sebesar kurang lebih Rp1 miliar per desa dan bahkan akan ditingkatkan mendekati Rp2 miliar per tahun. Sebagian dana tersebut harus dialokasikan untuk pengentasan stunting. Intervensi bantuan telur sebutir sehari kepada anak stunting hanya memerlukan Rp750.000/anak/tahun. Bila jumlah anak stunting per desa 40 anak, hanya dibutuhkan dana Rp30 juta/tahun atau 3% dari dana desa.

Terdapat beberapa program yang dapat dijadikan lesson learned terkait program penurunan stunting, contohnya inovasi di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan yang mengimplementasikan program pemberian makanan tambahan (PMT) terfokus kepada balita stunting dan bumil KEK (kurang energi kronis) selama 90 hari berturut-turut berdasarkan Peraturan Bupati Sinjai No 10/2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Stunting di Desa. 

Lesson learned selanjutnya, yaitu dari Kabupaten Karawang. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karawang mewajibkan seluruh kepala organisasi perangkat daerah (OPD), termasuk camat, menjadi bapak asuh bagi anak stunting dengan menyumbangkan dana sebesar Rp450 ribu per bulan per anak stunting dan tiap-tiap kepala OPD dan camat menjadi bapak asuh untuk 10 anak stunting.

 

Faktor risiko

Faktor risiko stunting dapat disebabkan anemia pada remaja putri dan ibu hamil. Prevalensi anemia di Indonesia sejak 2007 selalu mengalami peningkatan. Pada 2018, prevalensi anemia remaja putri mencapai 32%. Tingginya angka anemia pada remaja memerlukan perhatian khusus, salah satu program pemerintah yang dilaksanakan untuk menekan angka anemia, yaitu pemberian tablet tambah darah (TTD). 

Akan tetapi, implementasi program pemberian TTD menemukan beberapa tantangan, di antaranya, ialah siswi (remaja putri) tidak mau mengonsumsi TTD sehingga TTD terbuang mubazir. Selain itu, monitoring kepatuhan minum TTD di kalangan siswi tidak dilakukan secara baik oleh guru.

Problem lain yang perlu menjadi perhatian ialah pernikahan dini. Hal itu terjadi karena rendahnya pendidikan pelaku pernikahan dini atau telanjur hamil sebelum menikah. Edukasi di kalangan remaja dan orangtua diperlukan agar dapat menekan angka pernikahan dini di masyarakat.

Selain anemia pada remaja, anemia pada ibu hamil juga masih menjadi sorotan. Anemia pada ibu hamil merupakan kekurangan berbagai macam zat gizi mikro yang menyebabkan masalah dalam kehamilan dan berpengaruh terhadap outcome kehamilan. Perbaikan status besi dengan pemberian suplementasi zat besi perlu penambahan zat gizi lainnya (multivitamin) karena penyebab anemia tidak hanya disebabkan defisiensi zat besi, tetapi juga rendahnya zat gizi mikro, seperti asam folat, vitamin A, vitamin B12, vitamin C, dan riboflavin. 

Di Sulawesi Selatan, tim dosen Universitas Hasanuddin bekerja sama dengan beberapa pemda kabupaten telah melakukan uji coba pemberian MMS (multi-micronutrients supplementation) yang mengandung 15 unsur gizi sebagai pengganti tablet tambah darah. Dari telaah focus group discussion dengan ibu-ibu hamil, petugas gizi dan kesehatan dapat diketahui bahwa derajat penerimaan dan kepatuhan minum MMS lebih baik daripada tablet penambah darah.

Target penurunan stunting menjadi 14% pada 2024 merupakan pekerjaan rumah yang tidak ringan. Perlu upaya luar biasa untuk menjadikan isu stunting sebagai persoalan bangsa dan untuk itu optimalisasi berbagai program harus dikawal dengan ketat sehingga waktu yang tersisa dapat digunakan sebaik-baiknya untuk melaksanakan program pengentasan stunting. Namun, bila stunting dapat diturunkan hingga <20%, sebenarnya Indonesia sudah meraih pencapaian yang luar biasa.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat