visitaaponce.com

Domino Perang Gaza dan Masa Depan Timur Tengah

Domino Perang Gaza dan Masa Depan Timur Tengah
Purkon Hidayat Dosen Tamu Universitas Tehran, Anggota Asosiasi Futuris Iran (ISFS)(Dok. Pribadi)

PENULIS dan komedian terkemuka Amerika Serikat (AS) Samuel Langhorne Clemens (1835-1910), yang dikenal dengan sebutan Mark Twain, pernah melontarkan satire terkenal, ‘Sejarah tidak terulang lagi, tetapi memiliki sajak’. Bisa jadi, Twain sedang bercanda, tapi sebagian kalangan memandangnya cukup serius. Bagi mereka, pengulangan kebijakan yang gagal selama puluhan tahun disebabkan tidak mengambil pelajaran dari sejarah kegagalan sebelumnya.

Di AS sendiri sebagai tempat kelahiran Twain, salah satu isu santer yang disoroti para analis politik internasional saat ini mengenai kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Misalnya yang terbaru, peneliti RAND Alexandra Stark mengkritisi serangan militer AS terhadap Yaman, sebagai tanggapan Washington terhadap aksi Houthi menyerang kapal-kapal Israel dan kapal-kapal lain yang menuju pelabuhan-pelabuhan Israel.

Stark dalam bukunya berjudul The Yemen Model: Why US Policy Has Failed in The Middle East yang akan dirilis tiga bulan lagi menyelisik kegagalan pendekatan AS terhadap Yaman. Pasalnya, meskipun sering terlibat dalam konflik di Yaman, AS belum meraih tujuan kebijakan luar negerinya. Itu karena AS hanya berfokus pada isu kontraterorisme dan persaingan geopolitik regional ketimbang masalah kesejahteraan masyarakat Yaman.

 

Insiden di Laut Merah dan serangan ke Yaman

Sejak akhir Desember 2023, Houthi menembakkan sejumlah rudal dan drone ke arah Israel sebagai tanggapan atas agresi militer Israel ke Jalur Gaza. Tidak hanya itu, mereka menyita kapal kargo yang diklaim terkait dengan Israel di Laut Merah dan membawa kapal tersebut ke lepas pantai Yaman.

Kelompok yang berkuasa di Yaman itu juga menyerang sejumlah kapal komersial di Laut Merah milik Israel, atau kapal-kapal lain yang menuju pelabuhan-pelabuhan Israel menggunakan drone dan rudal balistik.

Laut Merah merupakan pintu masuk kapal-kapal menuju Terusan Suez. Hampir 15% perdagangan maritim dunia, termasuk 8% perdagangan gandum dunia, 12% perdagangan minyak, dan 8% perdagangan gas alam cair di dunia dilakukan melalui Laut Merah. Oleh karena itu, Laut Merah menjadi jalur perairan penting yang digunakan untuk mentransfer barang antara Asia dan Eropa.

Berlanjutnya aksi Houthi di Laut Merah memicu reaksi dari AS dan sejumlah negara lain. Pada 3 Januari, AS mengumumkan pembentukan koalisi angkatan laut yang mencakup 20 negara untuk melawan operasi Houthi di Laut Merah. Namun, tak lama kemudian negara-negara seperti Prancis, Spanyol, Italia, dan Australia, menolak menyerahkan kapal perang mereka kepada komando AS. Selain Bahrain, aliansi angkatan laut ini mendapat tanggapan dingin dari negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab serta Mesir yang menolak bergabung dengan aliansi itu.

Pada Jumat pagi, 12 Januari, pasukan AS bersama Inggris melancarkan serangan terhadap sejumlah target di Yaman, terutama di Provinsi Hudaydah dan Saada. Gedung Putih mengeklaim serangan tersebut dilancarkan sebagai tindakan pencegahan terhadap berlanjutnya aksi Houthi menyerang kapal-kapal di Laut Merah.

 

Opsi militer bukan solusi

Keputusan AS melancarkan serangan militer ke Yaman berpijak pada konsepsi pemulihan pencegahan. Para pendukung pandangan ini meyakini serangan militer bisa melemahkan kekuatan Houthi dalam melancarkan aksinya. Namun, masalahnya, mereka tidak bisa menjelaskan apa yang akan terjadi setelah serangan dilancarkan ke Yaman.

Pertama, lembaran sejarah konflik di Yaman dan keterlibatan AS dalam dua dekade terakhir menunjukkan kebalikan dari asumsi tersebut. Tampaknya, sulit untuk melihat bagaimana serangan udara koalisi AS akan menghalangi serangan Houthi saat ini, ketika sebelumnya terbukti gagal melakukan hal tersebut selama dua dekade terakhir.

Tentu saja, serangan udara terhadap sasaran-sasaran Houthi di Yaman akan sedikit mengikis kemampuan Houthi untuk meluncurkan rudal dan drone. Namun, serangan tersebut tidak efektif menargetkan kapal-kapal kecil, murah, berawak, dan tak berawak Houthi.

Kedua, kekuatan militer dan dukungan ekonomi yang besar mungkin bisa melemahkan sebuah kekuatan gerakan seperti Houthi, tapi tidak bisa menghancurkannya. Itu disebabkan kelompok tersebut berdiri dari gerakan ideologis yang memiliki basis dukungan massa dari rakyat Yaman yang tidak kecil sehingga gerakan itu tidak bisa ditumpas.

Dianne Pfundstein Chamberlain, peneliti Arnold A Saltzman Institute of War and Peace Studies, menilai serangan militer AS ke Yaman tidak akan membuahkan hasil yang diharapkan. Chamberlain memandang AS memiliki keunggulan besar di bidang militer dan ekonomi, tapi tidak akan bisa membuat kelompok perlawanan semacam Ansarullah Yaman bertekuk lutut. Menurutnya, serangan AS dan Inggris ke Yaman, alih-alih memaksa Houthi menghentikan aksi mereka, justru akan memicu demonstrasi luas pendukung Palestina di Yaman, yang akan meningkatkan popularitas Houthi di tengah masyarakat.

Ketiga, keterlibatan Amerika Serikat dalam agresi militer yang dipimpin Arab Saudi di Yaman selama lebih dari enam tahun menunjukkan bukti sejarah kegagalan opsi militer terhadap Yaman. Pada awal invasi militer dilancarkan koalisi pimpinan Arab Saudi di Yaman pada 2015, otoritas Riyadh optimistis bisa menguasai Yaman dalam hitungan hari. Namun, faktanya di lapangan, operasi militer gagal dan perang berlarut-larut hingga bertahun-tahun. Bahkan, Houthi yang sebelumnya tidak memiliki kekuatan militer besar bisa melancarkan serangan balik terhadap target-target strategis di Saudi, termasuk ARAMCO dengan rudal dan drone.

Pada akhirnya, biaya besar dan korban jiwa yang tidak kecil selama perang berlangsung tidak membuahkan hasil apa pun. Meskipun belum sesuai dengan harapan banyak pihak internasional, pada akhirnya konflik di antara pihak yang berseteru di Yaman, termasuk Arab Saudi dengan Houthi, bisa diselesaikan dengan damai melalui diplomasi. Tampaknya, tidak keliru yang ditegaskan, profesor hubungan internasional dari Kanada, Jennifer Wesh, ‘Sejarah mengulangi dirinya sendiri karena tidak ada yang mendengarnya untuk pertama kali’.

Keempat, krisis di Laut Merah tidak bisa dilepaskan dari masalah Gaza. Tekanan dan acaman AS terhadap Houthi tidak akan bisa menghentikan aksi mereka menargetkan kapal-kapal Israel atau yang menuju pelabuhan-pelabuhan Israel. Dengan demikian, masalah utama yang menjadi kunci justru berada di tangan AS sendiri yang selama ini menjadi pendukung utama Israel.

Pada akhirnya AS harus mendorong diakhirinya perang antara Israel dan Hamas, serta secara umum konflik antara Israel dan Palestina. Selama ini hal tersebut sulit dilakukan Gedung Putih karena posisinya yang memihak Tel Aviv. Selama tidak ada ketegasan Washington terhadap Tel Aviv, dan rendahnya perhatian terhadap hak Palestina serta mengurangi pembelaan berlebihannya terhadap kepentingan Israel di arena internasional seperti Mahkamah Internasional (ICJ), harapan itu masih jauh panggang dari api.

Menghadapi kondisi demikian, dibutuhkan peran lebih tegas dari organisasi internasional, terutama PBB dan negara-negara dunia untuk menyuarakan penyelesaian yang adil bagi penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina.

 

Agenda baru: Diplomasi dan pembangunan

Berlanjutnya krisis di Laut Merah dan Yaman sebagai domino dari konflik Palestina-Israel di Gaza. Selama masalah itu tidak diatasi, konflik lain akan terus muncul yang membayangi wajah suram Timur Tengah.

Di sisi lain, kawasan kaya minyak dan strategis ini menjadi tumpuan pertumbuhan dan kemajuan, terutama bagi negara-negara di dalamnya. Perlombaan ekonomi di antara negara Timur Tengah mendorong rivalitas ke arah yang lebih positif.

Kini, serangan militer AS ke Yaman memicu kekhawatiran banyak kalangan. PBB mengkhawatirkan peningkatan korban warga sipil dan eskalasi konflik yang akan menghalangi pemulihan Yaman dari krisis yang mendera negara ini.

Bagi banyak negara di Timur Tengah, konflik ini dianggap sebagai batu sandungan untuk mewujudkan ambisi kemajuannya. Misalnya, Arab mengumumkan Riyadh memantau operasi militer AS di Yaman dengan penuh kekhawatiran. Kementerian Luar Negeri Arab Saudi menyerukan untuk menjaga keamanan dan stabilitas di Laut Merah serta menahan diri dan menghindari peningkatan ketegangan.

Arab Saudi membutuhkan kondisi Kawasan Timur Tengah yang stabil dan aman demi mewujudkan visi 2030. Sementara itu, Yaman juga membutuhkan investasi dan bantuan internasional, terutama dari negara-negara tetangganya untuk membangun masa depan mereka.

Selain itu, faktor lain seperti pemulihan hubungan antara Arab Saudi dan Iran dengan mediasi Tiongkok membuka ruang baru untuk menata kawasan Timur Tengah yang lebih baik dan masa depan yang lebih cerah. Krisis Gaza dan efek dominonya, terutama krisis Laut Merah dan Yaman, menjadi kabut tebal yang menyelimutinya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat