visitaaponce.com

Menkopolhukam Indonesia Masih Hadapi Distorsi Demokrasi

Menkopolhukam: Indonesia Masih Hadapi Distorsi Demokrasi
Menkopolhukam Mahfud MD(Antara)

INDONESIA sebagai negara demokrasi masih menghadapi distorsi demokrasi. Kondisi tersebut menurut menteri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD merupakan dilema yang selalu dihadapi oleh negara demokrasi baru.

Hal itu, tutur Mahfud, karena negara demokrasi baru perlu membangun dua hal dalam sekali proses meskipun ada konflik terbuka yaitu demokrasi dan integrasi. Hal tersebut disampaikan Mahdfud dalam diksusi daring Facing Current Challenges on Democracy, Peace and Security, Kamis (7/1).

"Demokrasi diperlukan tidak hanya menempatkan orang di posisi sentral tetapi juga mekanisme dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan negara. Meskipun integrasi diperlukan sehingga negara plural tetap bersatu di dalam ikatan nasional," jelasnya.

Dilema tersebut berada dalam arah berlawanan karena memiliki kontradiksi karakter. Demokrasi membuka spektrum kebebasan seluas-luasnya termasuk kebebasan primordial, sementara integrasi to corrup freedom sehingga negara tetap bersatu dan tidak pecah belah.

"Banyak negara bisa menghadapi ini tetapi juga banyak tidak. Kita saat ini sedang mencari format yang ideal yang akan mengharmonisasikan demokrasi dan integrasi. Dalam parameter ektrim, melihat sejarah selama ini kita memiliki dilema," terangnya.

Pada awal perubahan politik yang ditandai dengan semangat demokrasi pemerintah juga menghadapi berbagai interpretasi berbeda mengenai kebebasan. Oleh sebab itu pemerintah perlu mengambil tindakan represif di era reformasi.

"Kita sukses mehentikan orde lama yang dikategorikan sebagai otoriter rezim. Sejak 1998 dimulai dengan reformasi sistem politik, revisi regulasi, menghapus dwi fungsi militer dan membentuk institusi baru untuk mengontrol kinerja pemerintah"

Awalnya sambung Mahfud, demokratisasi berjalan lancar dan pemilu 1999 dikategorikan sebagai pemilihan yang demokratis. Pada sektor legal pemerintah mendirikan KPK, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi juga membentuk otonomi daerah untuk menguatkan civil society.

"Di awal demokratisasi mengubah politikal sistem secara fundamental. Namun kemudian, demokratisasi ini menyebabkan masalah karena itu menciptakan interpretasi dan praktek kebablasan termasuk kebebasan untuk menipu dikombinasikan dengan transaksi politik oleh level elit yang menumbuhkan oligarki," tegasnya.

Baca juga: Dai Habib Husein Ja'far: Ormas Seharusnya Pengayom Persatuan

Sementara itu dinamika publik sulit dikontrol sehingga integrasi wilayah dan ideologi mengalami distrupsi, polarisasi dan kontardiksi dalam prosesnya disebabkan semangat primordial. Situasi tersebut juga didukung oleh perkembangan teknologi digital yang mengarah ke digital yang ditentukan oleh kebetulan, kemauan mendadak (abritrariness).

Masyarakat menerima dan menyepakati kebebasan bernegara dengan mengambil distorsi demokrasi yang mengancam integrasi dan keamanan. Pemerintah mengambil aksi dan langkah terukur untuk menjaga keseimbangan demokrasi dan kewajiban menjaga integrasi tersebut.

"Perdebatan terjadi melalui proses politik yang kuat, yang menarik satu sama lain, yakni menjaga spirit kebebasan di satu sis dan keharian negara untuk menjaga integrasi negara di sisi lain," imbuhnya.

Upaya yang dilakukan pemerintah kemudian diwarnai oleh berbagai disinformasi khususnya melalui media digital saat ini. Hal ini lanjut Mahfud menyulitkan pemerintah untuk menemukan batasan dan pilihan dalam membangun demokrasi serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

"Ketika integrasi dipaksakan pemerintah dianggap otoriter, sementara jika terlalu bebas, pemerintah dianggap membiarkan demokrasi terancam. Normalnya kita mengetahui batasannya adalah law supremacy, namun lebih mudah mengatakannya dibanding melakukannya," tukasnya. (OL-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat